Langit malam ini begitu kalem juga sendu, seperti seorang gadis yang saban hari duduk sendiri di taman Pakui Sayang. Awan mendung sejak petang tadi bergelayut di langit kota, tangisnya hendak pecah. Rindu tak tertangguhkan itu, kini tumpah menjadi hujan.
“Alif, ba, ta, tsa, jjj..ja. Ba, ta, kh..kha. Tsa, jjj..ja, da.” Sebuah suara merambat di antara rintik hujan dan gemuruh guntur yang sesekali menyapa. Meski terbata-bata, pemilik suara jelas mengeja huruf-huruf dari negeri para Nabi.
Di selasar masjid al-Markaz, Faisal sedang duduk bersila dengan peci hitam melingkari kepalanya. Telunjuknya bergerak pelan di atas Iqro. Sesekali tangan kirinya menggaruk-garuk kepala, mimik wajahnya menegang. Ia mencoba mengingat nama huruf yang mirip kail pancing dengan titik di atasnya. Karena lupa, senyum malu-malu mengembang. Tatapannya diarahkan kepada sang Guru yang berada tepat di hadapannya.
“Dza..dza,” ucap sang Guru lembut sembari memerlihatkan letak ujung lidahnya yang bersentuhan dengan ujung gigi. Senyum hangat dilemparkan kepada Faisal yang mencoba mengikutinya.
Faisal seorang pemuda rupawan dengan kulit kecoklatan. Matanya agak sipit dengan alis tebal. Wajahnya yang tirus dilengkapi kumis tipis dan lesung pipi sehingga kian menawan. Usianya semenjana, kisaran 27 tahun.
Ia bekerja sebagai kepala keamanan pasar, meski itu hanya pekerjaan sampingan saja. Pekerjaan pokoknya adalah menjalankan semua bisnis gelap di pasar. Mulai dari yang paling receh, memalak pedagang, mengelola tempat parkir, hingga bisnis narkoba.
Ia dikenal dengan nama daeng Ical, bos preman yang merajai tiga pasar besar di Makassar. Pasar Sentral, pasar Terong, dan Butung, semua dalam kendalinya. Anak buahnya tersebar di setiap pasar, jadi wajar para pedagang amat takut kepadanya.
Faisal menjalankan bisnis gelapnya dengan tenang, sebab banyak pejabat penting pemerintahan di belakangnya. Mereka umumnya para anggota dewan yang terikat kontrak politik. Ada juga pejabat-pejabat yang merupakan langganan obatnya.
Tapi malam ini, bertepatan dengan diperjalankannya Rasulullah ke Sidratulmuntaha, daeng Ical begitu khusyuk belajar mengaji pada gurunya. Seolah lupa kalau dia seorang bos preman yang berdarah dingin.
Yah.. Fatimah musababnya. Perempuan itu mampu menariknya keluar dari dunianya yang gelap. Walaupun belum sepenuhnya meninggalkan kebiasaan dan pekerjaan kotornya itu.
“Weh Marni, lihat di sana? Toba’mi premannya pasar Sentral,” bisik seorang perempuan bertubuh jangkung yang kebetulan lewat usai sembahyang Isa.
“Maumi kiamat daeng Rannu, jadi toba’mi. Tapi besok-besok, adami lagi itu di warung ballo’, di ruko-ruko memalak pedagang. Di tempat pelacuran bermain dengan para gundik. Tidak akan diterima tobatnya, Rampe. Tetapji neraka tempatnya. Adami kaplingnya di sana, hahaha..” celetuk Marni sinis.
Begitulah manusia hari ini. Selalu merasa suci dari yang lainnya. Merasa lebih bertakwa dan beriman dari siapapun. Surga hanya untuk dirinya. Dan bukan untuk orang-orang seperti Faisal. Manusia kini, banyak menjual ayat-ayat Tuhan hanya untuk kepentingan dirinya.
Manusia mencoba merongrong Tuhan dari singgasana-Nya. Lalu menjelma menjadi tuhan-tuhan baru, dengan lidahnya yang suci nan fasih mengkafirkan dan mengutuk orang lain ke dalam neraka.
“Sudah daeng, abaikan apa kata mereka. Istiqomah saja dengan jalan yang daeng pilih,” kata Fatimah, guru mengaji Faisal. Ia mencoba menguatkan.
“Tapi benar apa yang dibilang mereka ndi. Saya ini lelaki kotor.”
“Daeng, Tuhan itu Maha Pengasih. Maha Pengampun. Kalau bersungguh-sungguh, Dia pasti akan mengampuni dosa-dosata. Daeng Ical perbanyak saja ibadah dan berbuat baik,” ujar Fatimah sembari melemparkan senyum hangat.
“Terima kasih Fatimah. Sejak kita bertemu ndi, saya merasa punya tujuan hidup kembali. Saya ingin memetik kebaikan dari setiap huruf al-Qur’an yang kau ajarkan padaku. Saya berharap bisa seperti Umar bin Khattab, sahabat Rasulullah Saw., yang tempo hari kau ceritakan,” kata Fiasal. Matanya terpaku pada lantai.
“Insyaallah daeng mendapatkan cahaya al-Qur’an. Sebagaimana Umar luluh dan memeluk Islam ketika mendengar ayat yang dibacakan Khabbab bin al-Arat, ketika mengajar Zaid bin Tsabit dan Fatimah binti Khattab, adik Umar bin Khattab.
Lihat daeng hujan sudah reda, kita sudahi dulu belajar mengajinya malam ini daeng. Besok sore kita ketemu lagi di taman masjid al-Markaz ini.” Fatimah beranjak meninggalkan Faisal.
“Fatimah, tunggu! Pammopporanga ndi’ (maafkan saya).” Kata Faisal setelah berhasil menyusul Fatimah.
Fatimah menghentikan langkahnya. Menarik napas panjang, “Maaf untuk apa daeng?”
“Maaf untuk luka yang telah kuberikan padamu ndi. Tiap kali kulihat kau duduk sendiri di taman Pakui Sayang, rasa bersalah datang seperti lebah menyengat daging kecil di dadaku. Aku tahu, tiap sore kau selalu datang di taman itu.”
Sunyi membekap. Faisal kini membatu, lidahnya kaku. Keringat dingin mengalir membasahi keningnya. Hanya semilir angin dan klakson mobil yang memecah sunyi.
“Mhmm.. iye daeng. Saya sudah maafkanki. Yang penting daeng Ical bersungguh-sungguh bertobat. Saya pergi dulu daeng.”
“Tunggu ndi. Setelah saya pintar mengaji, maukah Fatimah menerima saya sebagai suamimu? Bimbing saya ndi dalam kebaikan. Saya ingin mengenal Tuhan lebih dekat, bersamamu ndi.”
Fatimah terhenyak mendengar kalimat Faisal. Langkahnya kembali terhenti tepat di bawah gerbang keluar masjid.
Fatimah menoleh dan melangkah mendekati Faisal yang masih mematung di tempatnya. Ia berhenti satu tombak di hadapan Faisal, menatapnya lekat. Lalu dilihatnya kenangan itu berkeliaran tak terkendali. Dadanya tetiba sesak seperti disayat belati. Air matanya tumpah seirama hujan yang mulai turun lagi. Langit seperti bersepakat menangis bersama Fatimah.
Selang beberapa menit, Fatimah menguasai dirinya kembali. Ia memenangkan pertarungan kali ini. Amarahnya berhasil ditikamnya. Usai meraih ketenangan dirinya, Fatimah kembali menatap Faisal.
“Hafalkan surah Yasin dan datanglah ke rumah bapakku daeng. Setelah itu saya akan menerimamu sebagai suami. Assalamu alaikum.” Fatimah tersenyum. Kemudian meninggalkan Faisal sendiri dibekap sunyi di bawah hujan.
***
Siang itu, matahari begitu terik. Pasar mulai sepi pengunjung. Hanya beberapa orang saja yang masih hilir mudik menenteng keranjang belanjaan. Para pedagang juga sudah mulai mengemas jualannya, lalu meninggalkan pasar dengan sampah berserakan di mana-mana.
Di tengah aroma pasar yang khas, bau ikan asin yang masih menyeruak, pak Kadir pun buru-buru mengepak jualannya. Dia harus pulang lebih awal dari biasanya, sebab anak semata wayangnya hari ini yudisium. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
“Selamat menjadi sarjana nak. Amanahlah dan amalkan ilmumu di jalan Allah. Tunggu bapak nak, saya segera ke sana,” tulisnya di pesan whatsApp sebelum menutup ruko.
“Kau mau kemana? Kau belum bayar uang keamanan hari ini,” teriak seorang lelaki dengan wajah garang.
“Tolong nak, besok saya setor. Keuntungan hari ini harus saya pakai membayar biaya wisuda anakku,” jawab pak Kadir dengan wajah pucat pasi.
“Bacot..!!” Lelaki yang tengah mabuk itu, tak pikir panjang. Tinjunya di hantamkan ke muka pak Kadir.
Pak Kadir tak sempat mengelak, bibirnya pecah. Meski terluka, dengan tubuhnya yang renta melakukan perlawan kecil sebelum akhirnya tumbang dengan sebilah badik menancap di perutnya.
***
Pada hari yang sama, seorang mahasiswi berjas hitam, kemeja putih dengan selempang di dadanya tengah bersuka ria bersama teman-temannya. Sibuk berfoto di taman kampus. Ucapan selamat, datang silih berganti. Buket bunga, boneka, dan lain-lain diberikan sebagai ucapan selamat. Senyumnya terus saja mekar, indah seperti bunga mawar. Kebahagiaannya berlipat, selain telah menyelesaikan studi, Ima meraih prestasi cum laude, dengan nilai terbaik di fakultasnya.
Hari beranjak sore, kampus mulai sepi. Ima masih duduk sendiri di taman. Matanya terus tertuju di gerbang masuk kampus.
“Ima kenapa belum pulang?” tegur Zarah yang kebetulan lewat.
“Saya tunggu bapak. Siang tadi kirim pesan katanya mau ke sini,” jawab Ima.
“Oh. Ok! Saya balik duluan yah. Selamat atas gelarnya, Ima,” kata Zarah sembari berjalan meninggalkan taman.
Sepi kembali menyergap. Pandangan Ima kembali tertuju ke gerbang kampus. “Bapak sepertinya tidak jadi datang. Saya pulang saja, mungkin menunggu di rumah,” gumamnya sembari bersiap-siap meninggalkan kampus.
Tetapi dering gawainya menghentikan geraknya. Ia buru-buru mengangkat telpon. “Assalamu alaikum. Ada apa om?”
“Ima ke pasar sekarang. Bapakmu meninggal.”
Tak butuh waktu lama, dengan dada yang sesak, air mata yang mengalir, Ima meninggalkan kampus. Hatinya bah diiris sembilu. Berharap ini hanya mimpi.
Setibanya di pasar, Ima yang masih mengenakan jaz hitam, kemeja putih, dan rok hitam disambut tangis yang pecah dari sanak keluarganya yang lebih dulu sampai. Mendapati jasad bapaknya bersimbah darah di depan ruko, Ima tak kuasa menahan tangis. Tubuh kecilnya rubuh bersimpuh di hadapan jenazah bapaknya.
“Pak.. Ima sudah sarjana. Bapak sudah janji mau datang saat Ima wisuda pak. Bangun, Pak,” Gumamnya lirih.
Suaranya tak berbalas. Ima tak pernah menyangka, hari di mana ia berbahagia juga menjadi hari yang menyakitkan baginya. Lelaki petarung yang berjuang mencari nafkah untuknya, lelaki yang sering memeluknya, mengusap air matanya ketika sedih, akan meninggalkannya dengan cara yang tragis.
Ima tidak menduga sama sekali pesan whatsApp dari Bapaknya siang tadi, menjadi pesan terakhir dari lelaki yang amat dicintainya. Ima meraung sejadi-jadinya, sebelum tumbang tak sadarkan diri.
Dari balik kerumunan orang yang melihat tragedi naas yang menimpa pak Kadir di pasar, sepasang mata terus mengamati peristiwa hari itu. Daeng Ical pergi meninggalkan kerumunan setelah melihat seorang perempuan yang hampir seusia dengannya tak sadarkan diri di dekat jasad yang telah dibunuhnya.
Ilustrasi: Cara Pintar Indonesia