Yang Kita Butuhkan adalah New Attitude, New Ethics

Beberapa bulan terakhir ini Indonesia sangat direpotkan oleh Covid-19. Terlihat kesulitan dalam mengurangi dampak virus tersebut. Entah ini sinyal tanda menyerah atau sebuah strategi baru, pemerintah  akhirnya banting setir: ingin menerapkan skenario new normal.  Terdengar keren. Seolah-olah kita diajak memasuki kehidupan baru. Tapi poin-poin skenario new normal sebenarnya telah beberapa kali disarankan untuk diterapkan.

Indikator-indikator  new normal yang dirilis WHO misalnya, tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan. Menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan Covid-19. Surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif. (https://tirto.id/fCSg)

Pemerintah juga tetap meminta kita untuk tetap mematuhi protokol covid-19, seperti pakai masker, hand sanitizer, jaga jarak, dst. Jadi apa yang baru? Justru semua hal tersebut yang selama ini sering diabaikan dan tidak ditaati.

Bagi saya tidak usah muluk-muluk sebenarnya. Yang kita butuhkan adalah new attitude. Dorong terciptanya new ethics. Perbaruhi sikap dan etika kita di hadapan orang lain. Dorong perasaan hidup bersama dengan orang lain. Yang ingin diubah ada dalam diri kita. Sangat dekat dengan diri kita. Tapi diabaikan.

Kenapa orang-orang tetap keluyuran sana-sini. Tetap berkerumun meski telah dilarang. Karena kita terbiasa peduli dengan kenyamanan dan kepentingan diri sendiri, yang kerap membuat kita abai terhadap kehidupan orang lain. Individualisme khas orang-orang modern masih membayangi, saat kita dituntut untuk memikirkan hidup orang lain di masa pandemik ini.

Bukankah kita memang seindividualis ini? Anda tetap merokok meski ada wanita hamil di samping Anda. Enak-enakan mendengar musik dengan suara keras padahal sang ibu sedang tidur lelap. Tiba-tiba corona menyerang. Anda masih saja pergi beli baju baru buat lebaran. Padahal Anda tidak tahu,  dalam tubuh Anda ada virus yang siap menyebar ke orang-orang yang Anda jumpai.

Toh ketika kita menerapkan protokol Covid-19. Kita menerapkannya atas sebuah perspektif “untuk keselamatan diri”, bukan “untuk keselamatan orang lain”. Misalnya, “saya pakai masker agar tidak tertular”.  Perspektif kita cenderung individualistik khas orang-orang modern. Jika kita merindukan hidup normal yang baru, mari membenahi diri.

Mulai saat ini, mari ubah perspektif  kita: “saya menggunakan masker agar saya tidak tertular dan menulari orang lain”. Di sini ada dua kesadaran yang muncul. Peduli terhadap diri sendiri dan peduli terhadap orang lain. Kesadaran ini bisa muncul kalau sejak awal kita berpandangan bahwa “saya hidup bersama orang lain”.

Ayo, singkirkan sikap individualistik. Mari hidup dalam semangat “ada bersama orang lain”.

Hidup dalam perspektif “ada bersama orang lain” membuat tingkat kepedulian kita meningkat. Karena kita merasa senyawa, bersaudara, sependeritaan, sama-sama menghuni planet yang sama. Anda pasti lebih takut membahayakan orangtua daripada orang-orang asing. Karena orangtua adalah orang yang hidup bersama  dengan Anda sejak dalam kandungan sampai bisa bikin anak.  Perspektif ini bisa diterapkan dalam kehidupan sosial kita.

Berada di tengah pandemik dengan kesadaran hidup bersama akan membuat kita lebih hati-hati menjalin relasi sosial dengan orang lain. Akan ada perasaan untuk tetap di rumah saja agar tak membahayakan orang lain. Akan muncul kesadaran untuk memakai masker dan jaga jarak saat ke luar rumah karena takut menulari orang lain dengan virus. Kesadaran seperti ini kita butuhkan. Dan itu bersemayam dalam diri kita, yang siap untuk dimunculkan ke permukaan. Yang ingin diubah sangat dekat dengan diri kita: ia ada di dalam jiwa.

Sejujurnya saya lelah dengan semua ini. Tulisan ini hadir sebagai buah perasaan dan pikiran saya yang merindukan kehidupan ini kembali seperti sedia kala. Saya rindu warkop, berkumpul bersama teman sejawat, rindu rekreasi, rindu berkeliaran di sebuah kota yang pengap dan tidak ramah seperti Makassar. Anda juga merindukannya? Maka ayo, benahi diri menuju New Attitude, New Ethics.

 

Ilustrasi: https://www.everydayhealth.com/coronavirus/isolation-the-hidden-risk-of-social-distancing/

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221