“…Abad pencerahan, abad sekularisme rasionalis,
menyeret kekelaman modernnya sendiri,
seiring surutnya keyakinan keagamaan,
penderitaan manusia-yang sebagian dapat diringankan
dengan kepercayaan-kepercayaan agama itu-
tetap tidak hilang.
Swargaloka terdisintegrasi; tidak ada hal lain yang membuat
fatalitas terasa lebih sewenang-wenang…”[1]
Bersama dengan cerita agama yang mengeras pada mulanya lalu kemudian tercabik di jalan yang belum sampai, pada periode itu pula sebuah sejarah baru sedang menggeliat di tanah Eropa; renaissance. Di sinilah sebuah epos tentang waktu menjadi rampat dalam arus angka-angka dan rumus yang seakan pasti; sains. Manusia Eropa sedang menggelinding pada tepian dunia baru; rasionalisme. Dan sejak itu berbagai baris penemuan ilmiah membawa manusia Eropa menjelajah dunia baru, juga pada akhirnya menasbihkan kehendak menekuk mayapada dalam konstata yang ringkas; teknologi. Dan sains pun memperoleh momentum untuk mengabarkan suatu zaman gemerlap, atau zaman gelap, yang akan disambangi; modernitas.
Bersama dengan itu, sebuah cerita yang lain sedang terancam, tercabik, dan tersudut; diri.
Modernitas, dalam kata-kata Marshal Berman adalah “…suatu kesatuan yang paradoks…ia melemparkan kita ke dalam prahara disintegrasi dan pembaharuan terus menerus yang kerap begitu menyakitkan, pergumulan dan pertentangan, kemenduaan sikap dan kepedihan yang dalam…”[2] Suatu penggambaran yang barangkali patut dihiraukan. Di sini, era yang dinamai modernitas nampak bagai kelahiran yang menyertakan tangis; rasa gembira dan juga perih yang sangat. Bersama dengan derap renaissance dan pencerahan yang sedang dinikmati Eropa itu, ikut pula menyelinap sebentuk keyakinan sebagai diri dan bangsa yang unggul, yang kemudian menjadi semacam pola yang dipancangkan sebagai patronase kemajuan; sebuah legitimasi mitologis.
Ada yang menguar dan memendar dengan gemerlap, lampu dan suar listrik yang menantang gelap. Dan bumi tak lagi sunyi. Tetapi yang kelam juga sedang mengendap dalam hingar hidup modernisme; kolonialisme. Kolonialisme menjadi semacam cacat bawaan yang harus ditanggungkan dalam perjalanan sejarah modernisme. Ketika kapal Marcopolo memulai pelayarannya, kabar tentang yang adab dan biadab diukur dengan seberapa rela sebuah tanah, atau bangsa, mendekat dan patuh pada titik pusat di mana Marcopolo menarik sauhnya pertama kali; Eropa. Bahkan Karl Marx yang jadi referensi para pembela proletar, menyatakan absah dan perlu bagi Inggris ‘menaklukkan’ untuk ‘memeradabkan’ tanah Hindustan; India. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa sejarah tentang peradaban yang canggih dan maju, dan juga dianggap beradab, adalah sejarah yang merujuk pada tahap-tahap perkembangan yang terjadi dan mengikuti Eropa. Mutu dari sebuah kebudayaan akhirnya terjebak pada hegemoni dan pemusatan tata nilai; universalisme. Dengan begitu pencerahan, atau renaissance, akhirnya tampil menjadi diskursus yang hegemonik. Dalam hal ini universalisme dan hegemoni tata nilai Eropa melalui kolonialisme.
Modernitas bisa pula kita baca sebagai sebuah deru yang bukan hanya menebalkan debu, ia adalah pekik mesin yang menebar kumparan emisi karbon dioksida yang menggelapkan angkasa; asap dan polusi. Modernitas bagai gerak maju yang menyertakan pencerahan dan kutuk secara serempak. Alam ditaklukkan, dan manusia menunggu air yang jadi bah; dan itu berarti bencana. Ia, modernitas itu, akhirnya nampak seperti ulah genit kaum cerdik pandai yang lupa berendah hati, lalu memamer kenes sebuah teori sains yang tak pernah rampung dirumuskan, namun terlanjur dikabarkan sebagai senjata untuk menaklukkan yang terhampar; ibarat pusaka keris gandring yang menebar tulah karena terburu dirampas dan digunakan oleh Ken Arok sebelum tuntas dalam ruwat.
Maka yang dituai adalah cerita tentang angin dan hujan yang jadi badai.
Dan dalam abad kita kini, sejarah modernitas akhirnya membawa manusia bergerak masuk lebih jauh dalam kumpulan dan lapisan, atau struktur masyarakat dengan orientasi yang tunggal; konsumsi.
Pada osmosa atau racikan budaya konsumsi itu kita sedang mereguk air hidup dari cawan yang disodorkan modernitas, dan dengan mereguk air hidup dari cawan modernitas itu seolah kita, secara simbolik, telah bersedia masuk dalam inisiasi realitas yang digumun tabir, atau diri yang dibalut tempurung. Dalam modernitas hasrat digegas oleh ekspose iklan, membeli citra diri dalam komoditi; sesuatu yang palus. Dengan kata lain, yang kita reguk dalam komoditi dan konsumsi adalah citra diri yang diimajinasikan, dan abai terhadap diri yang otentik.
Agama pun akhirnya, dalam serbuan budaya konsumerisme, seakan kehilangan wewenang untuk mengatakan yang sahih dan yang dusta. Agama terkurung dalam kompleksitas sosial, tak ada yang bisa dengan mudah ditekuk dalam dogma atau dirampat-papatkan dalam fatwa; keruh. Kita berkejaran dalam mimpi yang didiktekan oleh iklan, dan pada umumnya kita tak memiliki keinginan untuk terjaga dan melipat mimpi yang kita sebut kehidupan sehari-hari; banalitas laku. Maka kemudian kita lupa bahwa kini ada suara yang susut dalam hidup, suara yang mungkin memang tak pernah sampai dengan pungkas; suara Tuhan. Dan di abad di mana modernitas semakin pongah, Tuhan nampaknya semakin jauh terhempas ke pinggir pusaran harap, dan optimisme yang dibimbing oleh rasionalitas-material-empirik mengambil posisi sentrum; “Tuhan telah disalib di sini// di hati// oleh kita sendiri// justru tatkala kita// tak berani// menjadi diri sendiri.”[3] Atau kalau pun ia disebut, sendiri atau berkelompok, dalam suara yang lirih atau nyaring, sepertinya hanya untuk memenuhi seruan kita dalam satu soal, tak lebih; do’a agar kiranya diberi ‘hidup layak’.
Karena itu yang senantiasa terdengar di antara kita adalah bujukan untuk terus menerus mematut diri dalam sebuah mantra yang bisa jadi merupakan mantra yang lepas; hidup yang layak itu. Waktu dan ruang dicabik menjadi serpih yang dipenuhi angka-angka; uang. Kita lantas menjadi emoh pada sebuah nasehat, “Belajarlah untuk mengenali tipuan uang// yang mungkin membelikanmu kenikmatan sesaat// namun kemudian menyeret hari-harimu// seperti seorang lelaki yang patah// Di belakang onta yang berkentut.”[4] Dalam mantra ‘hidup layak’ itu, kita menyusun tatanan yang tak sama gigir pijaknya; timpang. Sebuah disparitas mengancam dalam laju ‘hidup layak’ itu. Mungkin kita makin lupa sebuah kearifan, bahwa tak ada yang hendak sudah dalam kutukan hasrat; ia selalu meminta dan enggan berbagi dengan rendah hati.
Di tengah kian susutnya suara Tuhan, suara yang mungkin memang tak pernah sampai dengan pungkas itu, kemakmuran dan kemapanan ekonomi nampaknya bukanlah rempah-rempah yang wanginya hendak dibagi secara adil. Ada yang begitu makmur dengan kapital yang bertumpuk-tumpuk, hingga ia menyisakan hidup yang rudin bagi banyak yang lainnya. Dan bagi yang hidup di bawah garis ambang yang ‘layak’ itu patut diingatkan bahwa, “…melahirkan seorang anak ke dunia yang tidak adil ini adalah tindakan borjuis iseng.”[5]
Pada akhirnya mungkin harus diucapkan dengan takzim dalam suara yang terasa kalah bahwa, ada yang memang kian susut dalam modernitas yang memanjakan kita dengan capaian-capaian teknologi dan laju ekonomi yang bergerak bagai tak terbendung; suara Tuhan, suara yang mungkin memang tak pernah sampai. Dan kita tidak tahu kapan itu akan kembali mengalun dan menyapa hidup yang kian garang, “karena kita juga tak tahu// kapan kita berani// menjadi diri sendiri.”[6] Maka barangkali ada baiknya kita menggumamkan do’a dengan lidah yang tak tersaput oleh mantra ‘hidup layak’ itu; “Tuhan// Beri aku kekuatan// Menguasai diri sendiri, kesunyian// dan keserakahan.”[7]
Semoga.
Catatan Kaki:
[1] Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, ( terj.) hlm; 15.
[2] Terjemahan kata-kata Berman ini di kutip dari Hikmat Budiman, Pembunuhan Yang Selalu Gagal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm, 1.
[3] Bakdi Soemanto, Tuhan di Hari Minggu, dalam Antologi puisi, Kata, hlm; 29.
[4] Daniel Ladinsky, Hafiz; Aku Mendengar Tuhan Tertawa, (terj.) hlm; 21.
[5] Chimamamda Ngozi Adichie, Half of Yellow Sun, hlm; 184.
[6] Bakdi Soemanto, Tuhan Di Hari Minggu, dalam Antologi Puisi, Kata, hlm; 29.
[7] Bakdi Soemanto, Do’a, dalam Antologi Puisi, Kata, hlm;74.