Diskriminasi Rasial Bukan Hal Baru

Beberapa hari ini, dunia dihebohkan dengan fenomena diskriminasi rasial di Amerika Serikat yang dilakukan oleh aparat keamanan. Kematian George Flyod menjadi trending pembicaraan hangat di platform media sosial.

Juga ditandai dengan aksi vandalisme sebagai reaksi masyarakat sipil bahwa diskriminasi ras bukanlah hal yang sepatutnya dilakukan. Tagar #BlackLivesMatter digemakan. Fenomena tersebut diikuti dengan munculnya tagar #PapuanLivesMatter di Indonesia. Dengan alasan yang sama “Diskriminasi rasial terhadap minoritas.” Apa iya? Mari kita simak.

Peristiwa yang menimpa George Flyod hanyalah pertikel kecil dari beberapa peristiwa diskriminasi rasial di beberapa negara-negara dunia, tak terkecuali Indonesia. Namun yang membedakan adalah jumlah korban jiwa atas peristiwa tersebut.

Pada Agustus 2019, wilayah bagian timur Indonesia, Papua tepatnya di Sorong, Monokwari dan Jayapura kembali mengalami keriuhan. Ledakan senjata menjadi saksi bisu atas peristiwa itu. Hal itu diawali atas tindakan rasisme yang dilakukan aparat kemanan dan beberapa ormas reaksioner terhadap mahasiswa Papua yang sedang menggali ilmu di rantau, tepatnya, kota Surabaya. Setelah kejadian tersebut, chaos antara aparat keamanan dan masyarakat sipil pun terjadi.

Indonesia yang dikenal sebagai negara plural, yang rakyatnya menerima segala jenis perbedaan: ras, agama dan suku-suku, juga memiliki basis moral dan etika yang kuat agar tetap menjalankan roda kehidupan yang harmonis, berubah menjadi warga yang rasis. Bukan maksud menggeneralisir, karena tidak semua warga negara melakukan hal itu.

Hal tersebut bukanlah hal baru dalam pengalaman hidup dalam negara yang tengah berkembang ini. Beberapa di antaranya, tahun 1999-2004, konflik antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan; di tahun yang sama, konflik antara Ambon dan Poso; dan beberapa konflik-konflik lain yang berbau ras maupun suku.

Peristiwa di atas ialah gambaran fenomena konflik berbau ras adalah hal lumrah terjadi, juga disusul peristiwa diskriminasi rasial. Bukan hal baru, namun sepesimis itukah kita sebagai warga negara? Bukankah dengan melakukan perlawanan kolektif dengan basis cinta dan kepedulian dibalut rasa empati atas kemanusiaan akan menghapuskan tindakan-tindakan berbau diskriminasi rasial?

#PapuanLivesMatter atau Papua Merdeka

Kisruh di beberapa kota besar di Papua akan menjadi catatan buruk rezim yang tengah berkuasa, karena darah yang tumpah, ruh yang telah memisah dengan jasad seolah hal biasa saja, sehingga tak diupayakan untuk dicarikan jalan keluar dengan menyentuh akar permasalahan yang seharusnya diselesaikan.

Komnas HAM mencatat, sejak tahun 1970 hingga tahun 1998 beberapa rentetan peristiwa konflik vertikal (antara negara dan warga) marak terjadi di Papua, tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat Papua tidak menggambarkan penerapan pendekatan humanistik terhadap rakyat Papua yang notabenenya merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Opini publik yang bergulir juga bermacam-macam dan paling parah ialah stigma terhadap masyarakat Papua bahwa hal itu merupakan langkah separatis, dengan dalih mereka orang asli papua (OAP) ingin merdeka.

Banyak yang mengaggap, tagar #PapuanLivesMatter ialah wujud perlawanan kolektif nitizen peduli kondisi Papua untuk menunjukkan pada dunia bahwa rakyat Papua benar-benar ingin merdeka dan melepaskan diri dari rangkulan NKRI. Namun bukan itu poinnya.

Awal Konflik

Pasca kemerdekaan, awal mula konflik terjadi ketika Belanda dan Indonesia memperebutkan wilayah Papua antara menjadi bagian dari NKRI atau negara sendiri yang dimerdekakan oleh Belanda. Hingga berakhir pada negosiasi di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menghasilkan perjanjian New York (1962) dibawah rezim Sukarno.

Hasil negosiasi tersebut adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Papera): mengembalikan permufakatan kepada rakyat Papua. Antara memilih bergabung dengan Indonesia atau bersepakat dengan Belanda untuk menjadi negara sendiri yang dimerdekakan. Hasil dari Papera (1969) wilayah Papua resmi menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Meski Pepera dimenangkan Indonesia, sebagian besar warga Papua merasa bahwa Pepera tidak dilakukan dengan metode “Satu orang, satu suara.” Tetapi dilakukan dengan musyawarah. Untuk mendukung pernyataan ini, pemilih pada saat Pepera adalah 1025 orang. Sedangkan jumlah warga Papua saat itu adalah 800 ribu penduduk.

Berkaca pada Sejarah

Sukarno pada masa kepemimpinannya, pengamalan mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa boleh dinilai berhasil karena dalam catatan sejarah saat itu sangat minim terjadi konflik karena Pemerintah saat itu menggunakan cara-cara humanistik dengan merangkul warga Papua serta meyakinkan mereka bahwa warga Papua berhak diperlakukan sama.

Selain Pemerintahan Sukarno, pada masa Gus Dur ketika berkuasa juga melakukan hal yang sama, contohnya ialah ketika Gus Dur mengatakan bahwa dirinya ingin melihat matahari terbit di Papua karena orang-orang sekitar Gus Dur kerap membicarakan bahwa sunrise di tanah Papua lebih indah dari wilayah mana pun di NKRI, padahal kondisi mata Gus Dur saat itu tidak bisa melihat alias buta.

Beberapa pengamat menyampaikan bahwa hal itu merupakan strategi politik Gus Dur dalam mengistimewakan rakyat Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak boleh ada diskriminasi. Agar masyarakat Papua yakin bahwa Pemerintah juga memerhatikan mereka, tanpa ada perbedaan sedikitpun antara masyarakat yang lain dalam naungan NKRI.

Hal inilah yang semestinya menjadi acuan Pemerintah yang sedang berkuasa agar senantiasa melakukan tindakan-tindakan humanis. Melansir dari beberapa informasi, upaya Pemerintah saat ini juga melakukan tindakan yang dinilai militeristik, wilayah Sorong, Monokwari dan Wamena, aparat keamanan ditambah sebanyak 2,500 personil aparat keamanan negara. Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut menangani konflik.

Sejarah panjang di masa Orde Baru juga melakukan hal yang sama melakukan pendekatan militeristik yang implikasinya justru resolusi konflik kian menganga dan berujung pada jatuhnya korban jiwa baru yang semakin meningkat. Patut kiranya kita berkaca pada sejarah, apa yang telah dilakukan pada masa Orde Baru tidak boleh dilakukan saat sekarang.

Dalam laporan Komnas HAM, ada sebanyak 10,000 korban jiwa akibat konflik yang dimulai tahun 1970 hingga 1998. Apakah Pemerintahan sekarang akan mengulangi kejadian yang sama dengan tindakan militeristik yang dilakukan? Semoga tidak.

Perlu diingat “Nyawa manusia lebih berharga dibanding kepentingan apapun.” Upaya terbaik yang perlu dilakukan ialah berdialog lalu bernegosiasi dengan masyarakat Papua terkait apa yang mestinya dilakukan bersama-sama.

 

Sumber gambar: https://www.matamatapolitik.com/2-otopsi-temukan-george-floyd-tewas-karena-sulit-bernapas-in-depth/

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221