Pada tahun yang sama, duo pasak bumi telah berpulang keharibaan-Nya, Anregurutta Haji Sanusi baco, dan KH. Abdul Hayyong, keduanya sosok ulama kharismatik, perkataannya meneduhkan setiap jiwa yang mendegarkan, ilmunya melangit, lakunya membumi, mesti keduanya telah kembali ke asal, pahatan pesan, kesan tak lekang diingatan dan jiwa. Begitulah kira-kira saya mengenang keduanya.
Hampir seluruh penduduk seantero Sulawesi Selatan mengenal AGH. Sanusi Baco, ulama berdarah Bugis itu, merupakan ulama besar, beliau juga pendakwah, pendidik, dan organisatoris, semua kalangan takzim padanya. Menurut mantan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, sosok AGH. Sanusi Baco, merupakan ulama besar, bukan hanya di Sulawesi Selatan, namun di seluruh nusantara. Lebih lanjut, SYL mengenang dirinya dan AGH Sanusi Baco sudah lama saling mengenal, semenjak dirinya memulai kariernya dari bawah, hingga menjadi gubernur, setiap kebijakannya selalu dibicarakan, khususnya berkaitan dengan kepentingan umat. “Beliau dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat.” Jelasnya.
Bagi saya, mengenang sosok AGH. Sanusi Baco memutar kembali ingatan saya. Saat itu, saya aktif sebagai remaja masjid di kompleks, mukim kami di Kota Makassar. Suatu ketika beliau diundang mengisi ceramah takziah di sala satu rumah warga. Pertama kali melihat sosok beliau, saya jatuh terkesima, meski sebelumnya saya sudah mendengar nama besar beliau melalui media cetak dan elektronik.
Setiap mendengar lantunan ceramah beliau, ibarat mata busur melesat ke mata hati, memecah kebuntuan alam sadar, dan meneduhkan jiwa kering. Saya pun teringat suatu ungkapan, maa kharaja minal qalbi waqa’a fil qalbi: wamaa kharaja minal lisan laa yatajaawazu al aadzaana. ”Dakwah ulama yang keluar dari hatinya, akan menyentuh hati pendegarannya, dakwah yang hanya keluar dari mulut tidak akan melampaui telinga.”
Di persamuhan malam itu, saya pun ikut takzim kepadanya, langsung saja saya mencium tangan beliau, hendak mengambil berkah darinya. Sependek ingatan saya, di kemudian hari, saya diajak oleh imam mesjid berkunjung ke rumah beliau, di bilangan Kelapa Tiga, kebetulan saja si imam masjid, pengurus Darul Dakwah Wal-Irsyad (DDI), Kota Makassar. Tujuan malam itu hendak meminta nasihat perihal keorganisasian DDI. Masa itu, saya masih remaja tanggung, belum mengerti tentang keorganisasian, sehingga saya menjadi pendengar setia malam itu.
Kini ulama besar itu, telah meninggalkan orang-orang dicintainya, pun mencintainya. Sabtu, 15 Mei 2021, sekitar pukul 20.00 Wita. Bersileweranlah berita duka dari gawai ke gawai, seakan tak percaya, saya lantas mencari kebenaran berita tersebut, ternyata benar adanya, beliau telah berpulang keharibaan-Nya.
Esok harinya, di mukim saya, Jeneponto, saya terus membarui urita-urita tentang beliau. melalui gawai, terlihat gambar dan video jenazah sang kiai diarak ribuan manusia keluar dari Mesjid Raya Makassar, lalu di makamkan di tempat pembaringan terakhir, di tanah kelahirannya Kabupaten Maros.
Sementara melalui Whatsapp Group, seorang anggota group mengirim paper berjudul, Pandangan Hidup KH. Sanusi Baco, ditulis oleh Abd. Kadir Ahmad, di dalam tulisan itu AGH. Sanusi Baco mendedahkan perihal ilmu.
Menurutnya, ada dua cara porelehan ilmu, yaitu, dengan proses belajar (allama bi al-qalam) dan ilmu ladduni atau pemberian langsung dari Allah (allama al-insana maa lam ya’lam). Untuk jenis pertama, seorang penuntut ilmu harus mengikuti proses belajar mengajar, sebagaimana biasanya di sekolah, sedangkan untuk mendapat ilmu langsung dari Allah, syaratnya hanya satu, yaitu dengan cara mengamalkanya. Beliau mengutip hadis Nabi yang artinya. “Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, maka Allah mengajarkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.” Itulah sebabnya menurut AGH. Sanusi Baco, banyak orang yang tidak memiliki titel akademik, tetapi ilmunya banyak.
****
Sejalan dengan pembabaran AGH. Sanusi baco, tentang ilmu, saya pun ingin mengaitkan pesan yang sering diulang oleh seorang kiyai kampung di mukim saya, Jeneponto, KH. Abdul Hayyong, mungkin kisanak bertanya, siapakah KH. Hayyong? pantaskah kiyai kampung itu disetarakan dengan AGH. Sanusi Baco? Jawabannya, tergantung perspektif kita masing-masing. Bagi sahaya, keduanya mempunyai kesamaan, setidaknya keduanya sama-sama pimpinan pondok pesantren Nahdlatul Ulum di Maros dan Jeneponto.
Bila kita merujuk pada maqam keilmuan, dalam tradisi ulama Bugis-Makassar, tentunya keduanya berbeda. Sebagaimana diketahui, dalam tingkatan makam tersebut, dikenal sebutan anregurutta, gurutta, dan ustadz. Maka disematkanlah KH, Hayyong sebagai gurutta, sebagaimana orang di kampung mengelarinya.
Terlepas dari perbedaan maqam dalam tradisi Bugis-Makassar, bukankah AGH. Sanusi baco menabalkan “banyak orang yang tidak memiliki titel, tetapi ilmunya banyak.” Mesti KH. Hayyong seorang kiyai kampung, pesan dan ilmu-ilmu beliau berpengaruh dalam kehidupan orang-orang kampung
Ada sesuatu berkelindan, setiap mengingat sosok ulama, keduanya mengelayut di hati dan pikiran. \Lantas, saya pun mencoba mencari kesamaan kedua ulama yang saya kagumi itu. Teringat pesan KH. Hayyong, setiap menutup kajian kitabnya, sering mengulang-ulang pesannya “Teruslah belajar, Allah akan memberikan ilmunya, meski ilmu tersebut mustahil dicapai.” Mungkin itulah ilmu laduni menurut AGH. Sanusi Baco.
Menurut beberapa sumber informasi, kiyai Hayyong merupakan murid langsung AGH. Ahmad Bone, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Sulawesi Selatan, juga pendiri Mesjid Raya Makassar, muridnya tersebar di pelosok-pelosok desa, termaksud Jeneponto, Bantaeng, Selayar, dan wilayah selatan lainya. Kini keduanya banar-benar berpulang, meninggalkan ilmu dan pesan hidup berharga.
Pertanyaan selanjutnya, akankah ada pengganti beliau-beliau? Suatu waktu KH. Hayong berujar “Tidak akan meninggal seorang ulama, sebelum ada penggantinya.” Siapakah penganti keduanya? Biarlah zaman menjawab .