Surat untuk Anakku

Di tengah malam seperti ini, hal yang paling Ibu suka adalah membaca sambil mendengarkan lamat-lamat musik dari radio. Buku setebal 150 halaman sanggup Ibu baca dalam suasan malam yang hening. Sesekali jika ada ide yang melintas, bergeraklah jari-jari ini menari di atas tombol-tombol huruf notebook. Walaupun hadirnya tak pernah bisa bertahan hingga hitungan jam. Karena bagaimanapun Ibu sekarang tak kuat lagi begadang hingga melewati batas kemampuan tubuh ini. Sehingga kendati semangat untuk menulis itu terkadang menderu-deru, namun pikiran dan tenaga harus pula Ibu siapkan untuk urusan lain keesokan harinya.

Kali ini tiba-tiba saja Ibu ingin merenungi dan memutar kembali episode-episode kehidupan kita yang telah lama lewat. Dalam rangkaian ingatan yang tak pernah utuh menghadirkan penggalan-penggalan kisah masa kecil kalian. Sesekali ingatan yang sudah bolong di sana-sini kalian tambal dan lengkapi dengan kenangan atas peristiwa-peritiwa kecil yang tentu saja masih lebih segar bercokol dalam kepala kalian.

Dan dari serpihan-serpihan tersebutlah Ibu banyak menyadari betapa masa lalu kalian yang Ibu anggap sudah mendekati sempurna, ternyata masih menyimpan banyak kekurangan akibat pengetahuan dan pemahaman kami orangtuamu yang juga masih jauh dari kesempurnaan. Seperti kenangan pada sebuah masa sekolah awal yang tentu saja masih banyak meninggalkan dampak buruk pada sikap dan perasaan kalian. Tentang teman-teman sekolah yang tidak selevel ekonominya, beserta gaya hidup setengah mewah yang mereka peragakan. Rupanya meninggalkan kesan kurang nyaman di hati kalian. Bukan menyesali hidup kita yang sederhana saja, melainkan pada sikap-sikapa asosial yang tak bersahabat yang teman-temanmu tampilkan.

Dalam hal ini Ibu tak cukup menanamkan kekuatan rasa yang dalam tentang kehidupan sederhana yang seharusnya kalian jalani. Yang terbaca adalah kalian tampaknya baik-baik saja dan cukup menikmati sekolah dengan segala varian suka-dukanya. Riang gembira berangkat pagi pulang siang bahkan sore, terkadang diselingi dengan kegiatan les pelajaran di sekolah. Sesekali mungkin kalian pernah bercerita tentang teman A, B, dan C. Lalu Ibu dengan kondisi yang sibuk seolah mendengarnya, tetapi faktanya tidak mampu berempati sepenuhnya. Tetapi itu cukup memuaskan perasaan kalian walaupun masalah tidak serta-merta berakhir hanya lewat obrolan yang bertabur interupsi kesibukan.

Bagi Ibu itu sebuah kekurangan di tengah semangatku yang berusaha menguasai cukup teori dan seluk-belum mendidik serta membesarkan anak. Tetapi rupanya semua itu belum maksimal usaha yang kami kerahkan. Namun nanti kita akan melihat perbandingannya dengan usaha sebagian besar ibu-ibu di luar sana. Saat itulah Ibu akan mengucap syukur yang tak terhingga.

Lalu seperti itulah manusia, yang hanya ingin mengingat segala kenangan yang baik saja yang telah ia lakukan, dan cenderung melupakan yang sebaliknya. Ibu pun mengalami hal yang sama. Hingga pada suatu cerita di antara kalian mengingat dengan jelas penggalan-penggalan peristiwa menyedihkan yang cukup berbekas di hati hingga hari ini. Cerita tentang keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi atau deretan hasrat yang harus berakhir kecewa. Kami pun sesekali pernah berjanji tetapi ternyata tidak mampu kami penuhi. Tentu saja kalian menjadi kecewa. Kami juga pernah marah kecil hingga marah besar yang di usia kanak-kanak kalian bahkan berencana untuk minggat dari rumah. Oh, betapa menggemaskannya episode itu. Orang dewasa mungkin saja tertawa bila mendengar kisah ini, tetapi dalam benak dan jiwa kalian, peristiwa tersebut pastinya sangat menyinggung perasaan hingga di usia balita pun kalian tampak kompak dalam kesedihan dan rencana. Lucunya kejadian itu.

Tapi tahukan kalian, di tengah perasaan gado-gado kalian itu, ada segunung usaha Ibu dan Bapak untuk melahirkan generasi yang tangguh, teruji, dan terpuji. Untuk itu kami tak sayang-sayang untuk berinvestasi pengetahuan dalam bentuk buku, seminar, pelatihan, dan berbagai kemasan lainnya demi menunjang misi mulia menjadi orangtua terbaik untuk kalian. Dan itu semua Ibu lakukan dengan sepenuh semangat, kegembiraan, keikhlasan, dan cinta. Ibu rela begadang untuk membuat alat peraga demi mengembangkan kecerdasan kalian, sanggup menata dialog yang sehat agar jiwa kalian tumbuh merdeka. Tak ada rasa letih dan bosan menghadapi ulah kanak-kanak kalian yang berbeda-beda dan sering kali tak sejalan antara teori dan praktik di lapangan. Apakah Ibu menyerah? Tentu saja tidak, Sayang. Karena Ibumu ini telah lama jatuh cinta pada kehidupan dan masa depanmu.

Jika ada yang bertanya, apakah pernah tebersit rasa sesal terhadap model pengasuhan kalian? Ibu akan jawab dengan mantap, TIDAK. Karena kami telah memberikan yang terbaik yang kami bisa. Pengetahuan terbaik, pola asuh terbaik, serta contoh terbaik yang mampu kami lakukan. Jika ternyata usaha itu belum mampu menggiring dan mengantar kalian pada tempat tertinggi sebagaimana harapan kami, tentu saja semuanya berpulang kepada Dia Sang Pemilik Kehidupan.

 

  • Kobaran api menyalak, melahap pondok tempat petani berteduh di kala terik matahari mulai menyengat. Kebun yang sedang petani itu garap untuk menghidupi keluarga dirusak. Sebidang lahan tempat petani itu menaruh harapan dan untuk sekedar ingin melihat wajah anak-anaknya tidak mengekspresikan raut wajah kelaparan. Hanya demi itu, dia rela wajahnya bengkak dan memar. Hari itu suasana…

  • Tetiba saja, saya dilanda resah pikir dan gelisah hati. Ada kecamuk dalam pikiran dan perhatian saya, tatkala memasuki tanggal 17 Mei 2017 ini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, selalu adem, riang gembira, bahagia meluap-luap. Sebab, pada momen inilah saya merayakan Hari Buku Nasional. Begitu pentingkah? Wow… amat sangat penting. Mengapa? Karena waktu yang saya mangsa untuk…

  • BUMI PEMBODOHAN /1/ Pada waktu yang paling bodoh kuminta hidupku ditarik kembali ke masa kecil. Menghitung jari dan langkah kaki tiap kali kembali dari bermain-main. Di sore hari. Aku pulang dengan wajah yang basah: menangis. Menjadi tak peduli. /2/ Kadang-kadang aku berlagak sebagai tamu untuk diri sendiri. Pengunjung dan yang dikunjungi adalah sosok yang sama.…

  • Literasi getaran gerakan-gerakan literasi itu makin hari makin terasa, dan akan bergerak menjadi gelombang literasi, yang akan menghasilkan akumulasi: Gempa Literasi percayalah, wahai warga Butta Toa-Bantaeng, jikalau gempa literasi itu melanda negerimu, maka derajatmu akan terangkat sangat tinggi melampaui langit, menghunjam ke dalam menembus perut bumi. anak negeri Butta Toa-Bantaeng ini, ternyata menyimpan potensi-potensi gempa…

  • Bagaimana mungkin manusia di hadapanku itu tak bernama? Baru kali ini aku menemukan makhluk bernyawa tak bernama, manusia tanpa identitas. Sepertinya… *** Sejak usiaku baru menginjak tujuh tahun, aku gemar mengumpulkan kartu nama. Bagiku, kartu nama adalah sebuah kemewahan, tak sembarang orang memiliki kartu bertahtakan nama panjang dan embel-embel titel yang tersemat di sana. Beruntung…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221