Pro-Kontra Masuk Gereja dan Sikap Bijak Kita

Penduduk dunia maya kembali dibikin heboh. Gegaranya, Gus Miftah berpidato di dalam gereja. Salib putih yang terpampang jelas di belakangnya, tampaknya, membuat panas sebagian kalangan. Maka hebohlah dunia maya.

Walaupun heboh-hebohnya di dunia maya, namun efeknya menyembur ke dunia nyata. Apa yang ditampilkan di dunia maya, akan membentuk paradigma dan mengarahkan tingkah laku manusia di dunia nyata. Tidak niscaya memang, tapi seringkali. Maka dunia maya, tak bisa sepenuhnya dianggap maya, lantas meremehkannya. Dunia maya adalah dunia nyata yang lain, dengan efek yang juga nyata.

Pun dengan pro-kontra masuk gereja yang menghebohkan jagad maya. Efeknya di dunia nyata, bukan hanya melanggengkan kebencian pada gereja, tapi juga meluaskan   wilayah kaderisasinya. Hingga, makin banyak saja para pembenci agama lain beserta segala simbol yang berkaitan dengannya. Ini, jika yang mendominasi jagad maya adalah pandangan yang kontra. Efeknya akan lain, jika yang memenangkan dominasi adalah pandangan yang pro.

By the way, bagaimana sih sebenarnya hukum masuk gereja? Untuk jawabannya, mari kita simak mukaddimah berikut.

Dalam setiap disiplin ilmu, terdapat dua jenis masalah. Yaitu, masalah badihi, dan masalah spekulatif. Masalah badihi adalah masalah yang kebenarannya niscaya diafirmasi oleh semua pihak. Karenanya, masalah badihi tidak akan melahirkan silang pendapat. Beda halnya dengan masalah spekulatif, yang karena kerumitannya, akan melahirkan perbedaan pandangan.

Sebagai misal, dalam filsafat, sebagian prinsipnya bersifat badihi. Katakanlah prinsip kausalitas, bahwa setiap akibat butuh pada sebab. Setiap yang berakal sehat, pastilah sepakat dengan prinsip ini. Sebab memang, ia termasuk masalah badihi dalam filsafat.

Lain halnya dengan masalah-masalah spekukatif, semisal prinsip keashilan wujud; bahwa yang memenuhi realitas, adalah wujud semata, bukan mahiah. Atau masalah gerak substansi; bahwa selain tampilan luarnya (aksiden), inti (substansi) sesuatu juga ikut bergerak. Semua ini adalah masalah spekulatif. Maka jangan heran, jika para filosof saling debat dan saling lempar argumentasi.

Contoh lain, dalam ilmu fiqh. Berkenaan dengan hukum wajibnya sholat yang lima, semua mazhab satu paham. Ini adalah masalah badihi dalam agama (min dhoruriyyatid dini). Namun tidak demikian dengan masalah tata cara sholat. Misalnya, apakah harus sedekap, atau tidak. Yang sedekap, apakah di atas perut, di atas dada, di samping, atau mungkin juga ada yang meyakini di atas jidat. Semua itu tidaklah masalah. Sebab masalahnya adalah masalah spekulatif. Setiap mazhab punya pandangan serta argumentasi (dalil) masing-masing.

Demikian mukaddimahnya. Lantas, bagaimana dengan hukum Muslim masuk gereja? Badihi, atau spekulatif? Laa roiba fihi, itu masuk kategori spekulatif. Artinya, jangan heran, jika para ulama berbeda pandangan. Beranda yutub saya hilir-mudik respon atas masalah ini. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Baik yang pro, maupun yang kontra, keduanya diwakili oleh ulama yang bukan kaleng-kaleng. Artinya, pandangan mereka, pastilah bersandar pada dalil.

Hukum masuk gereja, biarlah para ulama yang mencari tahunya. Hasil pencarian mereka, kita dapati, ada yang membolehkan, ada yang mengharamkan. Kita yang awam-awam (mukallidun) ini, tak perlu merepotkan diri. Sebab memang, kita tidak punya kompetensi di ranah itu. Biarlah masalah ulama, dibahas di meja ulama. Masalah awam, disuguhkan di meja awam. Menyajikan masalah di meja yang salah, adalah petaka.

Sikap kita, cukup dengar pandangan ulama yang dikiblati, lalu patuhi. Jika ulama yang kita kiblati mengharamkan, maka jangan masuk gereja. Jika membolehkan, maka masuklah. Tidak perlu mengotori hati, dengan menuding pandangan kelompok lain tak sejalan dengan ajaran Tuhan. Apatah lagi, sampai tega mengkafirkan, memurtadkan hingga menghalalkan darah mereka. Seolah-olah, Tuhan telah mengkonfirmasi kebenaran pandangan kita, dan kesalahan pandangan mereka.

Padahal faktanya, untuk masalah yang spekulatif seperti ini, tidak ada satu pandangan pun yang telah dikonfirmasi/dinegasi Tuhan. Ulama-ulama kita, dengan dalilnya masing-masing, berupaya menerka-nerka “pikiran Tuhan”.

Dengan ini, setiap pandangan, memiliki potensi yang sama untuk benar atau salah. Kendatipun secara subjektif, setiap kita meyakini kebenaran pandangan ulama kita masing-masing. Namun objektifnya, Ada kemungkinan, pandangan ulama kita yang salah. Sebagaimana mungkinnya, pandangan ulama mereka yang benar.

Maka saling menghormatilah. Hargai kerja-kerja ulama kita dalam menyibak maksud Tuhan. Jangan katakan, mereka tak sejalan dengan quran dan hadis. Sebab sekali lagi, mereka juga berdalilkan quran dan hadis. Katakanlah, mereka tak sejalan dengan pandangan kita/ulama kita. Dan, menyelisih pandangan ulama kita-kita yang tidak maksum ini, bukanlah keharaman.

Jangan bertingkah seperti mereka yang memborong slogan “kembali pada quran dan hadis”. Sebab, itu akan membangun opini, bahwa yang berbeda dengan mereka, tidak kembali pada quran dan hadis. Persis seperti seruan “bela Islam”, yang seolah-olah menegaskan bahwa mereka yang tidak ikut aksi, berarti tidak ikut bela Islam. Padahal sekali lagi, ini adalah masalah perbedaan pandangan, sebagai implikasi niscaya dari masalah yang spekulatif.


Sumber gambar: https://simakterus.com/

  • Bagaimana kita mengenang lembaran peristiwa? Lalu mengenalkannya kepada generasi berikutnya? Bagaimana pula agar ia mengabadi, tak lapuk karena hujan, tak lekang oleh panas? Jika kita hidup ribuan tahun lalu, jawabannya mungkin sudah temukan di kekinian. Sayangnya, batok kepala manusia bukanlah dinding gua yang bisa dipahat dan dicorat-coret semau-maunya. Pikiran bukanlah tangan yang bisa digenggam. Manusia…

  • “Tidak satu pun milik kita, tidak juga tubuh kita. Kita selalu menyewa, tak pernah memiliki.” Kalimat ini berhasil mencuri perhatian saya, mengambil jeda sesaat untuk menyunggingkan senyum. Benar, Epictetus telah menampar saya dengan gagasannya yang memang masuk akal namun sebenarnya kurang realistis, atau mungkin tepatnya tidak berprikemanusiaan dan prikebinatangan (karena binatang pun tidak ingin kehilangan).…

  • Sembilan puluh tiga tahun yang lalu, di gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Dihelatlah forum Kongres Perempuan Indonesia pertama, digelar 22—25 Desember 1928. Kongres ini menjadi awal kebangkitan perempuan Indonesia. Kita tahu, saat itu adalah masa-masa kelam kolonialisme. Juga zaman di mana patriarki masih mencengkram kuat wajah pilu ibu pertiwi. Laki-laki berjuang melawan teror, sedang dunia perempuan…

  • Sampai hari ini saya masih menyimpan pertanyaan berapa total jarak tempuh seorang ibu saat bekerja di dalam rumah. Membereskan kamar tidur, memotong tomat, merapikan sudut-sudut kursi, menyapu, menyiram tanaman, atau beranjak ke pasar, yang semuanya merupakan titik-titik saling terhubung, bekelindan, tumpang tindih, dan silang menyilang, yang satu sama lain dikerjakan melalui kekuatan kedua kakinya. Semuanya…

  • “Untuk sukses sangatlah tidak nyaman. Maka kau harus nyaman dengan ketikdanyamanan itu, jika kau ingin sukses.” –Less Brown. Di senja yang teduh, a million dreams—soundtrack film The Greatest Showman yang dilantunkan Ziv Zaifman dan Hugh Jackman, memecah sepi. Never enough, soundtrack untuk opera film itu yang keluar dari suara emas Loren Allred benar-benar menyentuh hati,…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221