Suatu sore menjelang magrib. Dua orang pengendara motor yang berboncengan berbelok masuk ke halaman rumah kami yang sekaligus merangkap sebagai toko bernama Paradigma Ilmu. Saya perlu menebalkan tulisan nama tersebut karena dari sinilah pangkal cerita bermula. Keduanya lalu memarkir kendaraan tersebut di halaman yang sedang saja luasnya. Saya yang saat itu lagi rajin-rajinnya, sementara menyapu daun-daun kering setengah basah sisa hujan siang tadi. Salah seorang di antaranya menyapa dengan bertanya, “Bisa masuk?” Pertanyaan yang wajar, karena pintu toko memang dalam kondisi tertutup. “Oh, iya. Silakan, masuk saja.” Sedikit bergegas saya meletakkan sapu lidi kembali ke tempatnya. Menunda melanjutkan rencana menyapu. Demi menghargai kedatangan calon pembeli.
Ketika sudah berada di dalam area toko, sambil memegang ponselnya si pengendara yang tadi sudah menyapa sebelumnya, bertanya kembali.
“Ada ji bukunya Karen Armstrong yang saya tanyakan tadi di IG?”
“Oh, chat yang mana ya? Setahuku tidak ada pesan menanyakan buku itu di IGnya Paradigma.” Dalam hati saya mulai menebak kalau toko yang ia maksud bukan Paradigma Ilmu. Tetapi saya biarkan saja sesaat ia memeriksa ulang dan memastikan nama toko yang ia maksud sesuai atau tidak. Sementara itu, temannya yang membonceng sudah tampak hanyut dalam jelajahnya meneliti judul demi judul yang terpajang memenuhi keseluruhan dinding-dinding toko. Ia tampaknya tidak terlalu peduli apakah mereka memasuki toko yang sama dengan dunia maya seperti yang dimaksud oleh temannya tadi.
“Bukan ini akunnya Paradigma Ilmu?” Tokoh pertama masih sibuk mencocokkan kebenaran yang ia pikirkan dengan realitas di depan matanya. Ia tampak mendekat beberapa langkah, hendak menunjukkan akun yang ia maksud pada ponselnya. Tetapi sebelum itu saya sudah menyambungnya dengan sebuah permakluman.
“Oh, ada memang satu akun itu yang namanya sama, Paradigma Buku namanya.” Saya tersenyum menjelaskan. Dalam hati saya membatin, ia bukan orang pertama yang salah sangka. Banyak sebelumnya yang seperti ini, hanya saja mereka umumnya bertanya lewat chat whatsapp. Tidak berkunjung langsung.
“Alamatnya di mana, kalau boleh tahu?”
“Tidak ada tercantum di sini.”
“Ohhh….”
“Saya biasa pesan online.”
“Ohhh….”
“Berarti saya salah selama ini. Saya betul-betul mengira, Paradigma Ilmulah toko Paradigma Buku itu.” Ia masih larut dalam keterbengongannya.
“Hehehe…. iya, banyak yang menyangka begitu.”
Pada waktu yang sama, temannya yang membonceng motor tampak mulai meletakkan beberapa buku pilihannya ke atas meja rendah di tengah ruangan. Meja multi fungsi itu, selain sebagai meja tempat anak-anak belajar setiap hari, akhir-akhir ini sering saya jadikan sebagai meja kasir. Saya merasa aman beraktivitas di belakang meja tersebut. Posisinya cukup jauh dari pintu masuk toko, tetapi sangat dekat dengan pintu penghubung dapur. Sehingga saya mudah menyelamatkan diri, segera mengambil langkah cepat bergerak ke dalam rumah bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Beberapa kejadian kriminalitas yang kerap terjadi di area jalan di sekitar pemukiman, bahkan beberapa kali menimpa rumah dan toko, cukup menjadi pelajaran agar senantiasa waspada dan bersikap antisipatif pada setiap kemungkinan. Untuk lebih menjaga diri lagi, pintu toko seringkali dalam keadaan tutup. Dan sebagai gantinya saya menggantungkan tulisan BUKA pada pintunya sebagai penanda toko bisa menerima kunjungan calon pembeli dan orang-orang yang sekadar ingin mampir bertemu.
Buku-buku hasil pilihan itu pun bertambah satu demi satu. Ketebalannya pun tak tanggung-tanggung. Ada Sejarah Filsafat Barat pesanan orang yang sudah sangat lama tidak memberi kabar, malah berjodoh dengannya. Lalu Surat-Surat John Lennon pun ikut berpindah dari tempatnya nangkring sekian waktu di bawah kipas angin, bergabung dengan buku-buku terpilih lainnya. Terakhir tiga jilid buku bantal Nagabumi semakin menambah tinggi tumpukan tersebut.
Tuhan sungguh Mahabaik. Seringkali Ia menunjukkan Kemurahan dan Kuasa-Nya di tengah hamparan sikap pasrah dan berserah diri seorang hamba pada semua ketentuan-Nya. Ia yang telah menetapkan kejayaan, Ia pula yang menentukan kemunduran. Toko kami sudah tidak seramai dulu lagi. Belasan tahun silam, kala kami mampu mempekerjakan pegawai hingga 2 – 3 orang. Yang mengawasi lalu lintas pembeli mulai ujung pintu masuk sampai ujung pintu belakang, dekat sumur.
Tuhan pun sesungguhnya Mahatahu, peran-peran yang sementara kami lakoni belakangan ini. Kegiatan seisi rumah lebih banyak tersalurkan pada kerja-kerja pemberdayaan, daripada penjualan buku. Suami, lebih banyak menghabiskan waktu di Bantaeng, menggelar kegiatan-kegiatan literasi dan menggalang kerja-kerja kolaborasi dengan berbagai pihak. Anak sulung kami sudah masuk tahun ke-4 ia dipercaya mengelola cabang sebuah yayasan pendidikan swasta dari Yogyakarta. Kesibukannya sudah berlapis-lapis. Anak ke-2 sementara ini menekuni bidang yang sama di Kota Denpasar. Menjajal kemampuannya di dunia desain grafis. Yang ke-3 dan ke-4 masih dalam proses bersekolah di perguruan tinggi negeri dan tingkat SMU. Saya sendiri, sehari-hari mengajar anak-anak yang datang ke rumah, untuk mengaji dan les privat mata pelajaran.
Di tengah ragam aktivitas tersebut, tentu kami tidak bisa sepenuhnya berharap dari bisnis toko sebagaimana dulu lagi. Karena keterbatasan tenaga dan waktu yang kami miliki. Sebagaimana kata pepatah, ke mana Anda memberikan perhatian, di sanalah terbit hasil. Maka akan sangat tidak adil jika kami mengharapkan hasil dari sesuatu yang hanya diberi perhatian setengah-setengah. Meskipun begitu, keajaiban tetap akan muncul di sela-sela doa dan harapan yang tak pernah putus. Ia kadangkala hadir justru dari arah yang tidak logis. Tetaplah bergerak dan lakukan hal-hal baik, agar Tuhan punya alasan mengalirkan rezeki-Nya.