Beberapa bulan lalu tepatnya 17 Agustus 2018 buku ini tiba di tangan kami. Betapa bahagianya bisa menimang-nimang kumpulan hasil karya sendiri. Sayangnya tidak segera bisa dibuatkan acara khusus sebagaimana umumnya karya penulis-penulis lain. Hal ini dikarenakan belum menyatunya waktu serta kesiapan personil-personil yang akan menyelenggarakan kegiatan tersebut. Launchingnya justru diadakan di sebuah pelosok desa kecil di pedalaman Bantaeng. Meskipun nyatanya bukan sebenar-benarnya peluncuran karena banyak hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya terjadi pada saat sebuah buku diluncurkan.
Lebih tepat jika disebut diskusi parenting. Apalagi ia mendompleng acara Peringatan Tahun Baru Hijriyah yang diselenggarakan oleh kepala desa dan warga sekitar. Jadilah keramaian pada kegiatan ini dipenuhi selain oleh kaum perempuan juga dihadiri segelintir laki-laki. Keseimbangan yang patut diacungi jempol. Antusiasme hadirin yang dibuktikan dengan kemauan mereka untuk memberikan umpan balik berupa pertanyaan menunjukkan hal ini. Selesai acara kami segera kembali ke Makassar.
Setelahnya tak ada lagi acara khusus yang terkait buku saya ini. Yang rutin bergulir adalah diskusi yang membahas pengasuhan. Dan di sela-sela waktu itulah saya tak lupa menyertakan informasi soal buku Metamorfosis Ibu. Bahkan pernah sekali waktu saya membawakan materi di sebuah sekolah setingkat SMU tetapi tidak mempersiapkan cadangan buku jika sekiranya ada di antara hadirin yang berminat untuk membacanya. Seorang bapak separuh baya menghampiri dan menanyakan di mana bisa mendapatkan buku tersebut.
Kemarin, tepat pada tanggal 22 Desember 2018, hari yang telah disepakati sebagai Hari Ibu buku ini didiskusikan di Cafe Perintis, depan Balai Depsos, Tamalanrea. Pengagas dan penyelenggara tentu saja teman-teman dari Paradigma Institute dan Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI). Sementara pembedahnya adalah orang-orang pilihan dengan pelbagai pertimbangan.
Sayangnya acara tidak dimulai tepat waktu. Sedianya pukul 13.30 wita, yang terjadi mundur setengah jam. Baru dimulai pada pukul 14.00 wita. Saya berangkat dari rumah pukul 12.00, tetapi berhubung kemacetan terjadi di mana-mana, karena bertepatan pada hari itu Presiden Jokowi melakukan kunjungan perjalanan ke Makassar, maka alhasil waktu tempuh menjadi lebih lama. Sangat di luar perkiraan saya. Tetapi rupanya teman-teman panitia memang sengaja memberikan toleransi keterlambatan sampai setengah jam karena peserta yang terhalang selain oleh kemacetan, juga hujan deras yang mengguyur jelang siang hari itu.
Walaupun cuaca di luar pengharapan, tetapi jumlah peserta yang hadir cukup memuaskan—50 orang—di tengah kondisi hujan deras. Dua pembicara berbagi pengalaman dan kiat bagaimana mereka mengasuh anak yang meskipun banyak hal yang berbeda bahkan berbenturan dengan pandangan orang banyak, namun mereka tetap yakin dengan jalan yang mereka pilih. Harnita Rahman yang akrab disapa dengan Nhita (owner Kedai Buku Jenny), ibu muda dengan dua orang anak, sedari mula sudah menjadikan rumahnya sebagai ruang terbuka bagi tamu dan teman-temannya. Tindakan yang kerap dipertanyakan oleh keluarganya sebagai sebuah pilihan yang aneh dan langka.
Olle Hamid seorang guru di Rumah Sekolah Cendekia dan ibu dari dua anak remaja yang menghadapi tantangan yang berbeda, juga mengisahkan serunya berjuang demi menegakkan prinsip-prinsip pengasuhan yang belum banyak orang terapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Anak pertamanya mampu membaca pada usia dua tahunan tentulah sebuah pencapaian yang luar biasa. Tak heran jika saat ini ia mampu melahirkan kreasi alat peraga baca untuk usia balita ke atas. Kepadanya saya khusus berterima kasih karena telah diperkenalkan dengan sebuah model pelatihan Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) pada tahun 2010 silam. Selama ini saya lebih banyak membaca buku-buku karya Dr. Thomas Gordon yang ternyata banyak memiliki kecocokan dengan metode yang dikembangkan di pelatihan ini.
Alwy Rachman tak diragukan lagi analisanya. Ia yang selalu curiga dengan kata-kata, tak pernah sederhana dalam menjelaskan sebuah istilah. Kata keluarga yang dalam bahasa Inggris berarti family rupanya bermakna pembantu rumah tangga. Jadi semua anggota keluarga adalah pembantu. Harus melayani minimal diri sendiri, bukan justru menjadi pihak yang dilayani. Pemikiran yang selama ini menyisakan pertanyaan besar pula buat saya pribadi. Bersyukur jumlah peserta diskusi berimbang, bukan hanya didominasi oleh peserta perempuan sebagaimana umumnya disukusi parenting, melainkan peserta laki-laki pun lumayan jumlahnya. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan mengapa kami menghadirkan seorang pembicara laki-laki, agar dapat menarik banyak peserta dari kaum yang sejenis. Apalagi nama kondang seorang budayawan Alwy Rachman sudah tersohor di mana-mana.
Sebagai penulis buku Metamorfosis Ibu saya merasa sangat terharu dan berterima kasih dengan penggeledahan yang dilakukan oleh ketiga narasumber. Tulisan-tulisan yang berbentuk story namun mampu diulas dengan sangat apik oleh Alwy Rachman dari sebuah sudut pandang yang tidak terpikirkan sebelumnya. Para penggeledah memiliki keterhubungan dalam ide dan mewujud dalam praktik keseharian mereka. Mereka memiliki integritas yang tak diragukan lagi dalam dunia pendidikan dan keluarga serta kerja-kerja altruisme lainnya. Bekerja dan mengabdi karena landasan cinta pada dunia anak, buku, dan kemanusiaan.
Di akhir acara ada yang bertanya mengapa dalam tulisan-tulisan saya tidak ada judul yang berkisah tentang sosok ibu saya. Yang ditemukan justru tulisan kenangan tentang ayah. Sebenarnya saya beberapa kali menulis tentang ibu, tetapi tidak sempat termuat dalam buku ini. Maklumlah melakukan pengarsipan tulisan-tulisan sekian tahun tentu butuh ketekunan. Ada risiko tercecer entah di mana. Walaupun begitu, bagi kami, ibu adalah sosok yang istimewa dalam ingatan. Beliau tentu saja berperan besar dalam sejarah kehidupan kanak-kanak kami. Untuk itu tampaknya butuh ruang khusus untuk menceritakan ibu saya. Mungkin dalam buku berikutnya. Doakan saja.