Literasi Terasi dan Terasi Literasi

Tidak banyak insan yang mengisi hari libur dengan berbagi kepada sesama. Sebab, bagi kebanyakan orang, liburan adalah buat keluarga, atau setidaknya, menjadi ajang memanjakan diri, mengurus soal-soal pribadi. Tapi, bagi empat pembicara di Seminar Nasional yang bertajuk: “Narasi Kepustakawanan dalam Gerakan Literasi”, yang diselenggarakan oleh IKA Ilmu Perpustakaan dan HMJ Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, memilih menunda liburannya, dan mengada untuk berbagi, membagi apa yang tidak hilang kalau dibagi, ilmu dan pengalaman.

Tepat lima belas menit sebelum pukul 08.00 pagi, bersetuju dengan hari Kamis, 05 Mei 2016, sekena tanggal merah karena libur nasional, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, saya sudah tiba di gedung Training Centre UIN Alauddin Makassar. Sedianya, acara seminar itu dimulai pukul 08.00, namun karena ada sedikit “gangguan”, tertundalah beberapa saat. Di sela menunggu itulah, saya menyempatkan berbincang dengan Quraisy Mathar, Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, yang lebih dulu hadir di lokasi. Pada perbincangan itulah, soal kehebohan Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, yang melakukan penyiangan koleksi, khususnya skripsi mahasiswa, saya tahu duduk perkaranya.

Empat orang yang saya maksud selaku pembicara, masing-masing: Drs. Muh. Syarif Bando, MM. (Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Minat Baca), Muh Quraisy Mathar, S.Sos. M,Hum. (Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar), Andi Ibrahim S.Ag, SS,M.Pd (Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin Makassar) dan Sulhan Yusuf(Pegiat Literasi Sulawesi Selatan). Setiap pembicara, dengan sudut pandang yang berbeda, bahu membahu memprovokasi peserta seminar, yang didominasi oleh mahasiswa dan alumni Ilmu Perpustakaan.

Ada yang menarik dari Syarif Bando, ketika mendedahkan kondisi terkini peta dunia literasi. Menurutnya, kalau dulu, sebelum abad ke-21, dunia sering dibagi menjadi lima benua. Dan, dari patokan inilah kemudian dunia dipotret lebih rinci menjadi perbedaan berdasarkan ras, bahasa, bangsa, dan geografis. Setelah dunia memasuki era internet, hadirlah dunia maya yang mengubah tatanan. Pembagian dunia bergeser ke katagori sejauh mana persentuhannya dengan aspek literasi. Maka dunia pun dibagi menjadi pra literasi, literasi dan pascaliterasi.

Setelah pembicara pertama, giliran berikutnya adalah Quraisy Mathar, dengan topik yang perbincangan agak nyentrik, Terasi dan Literasi. Bagi Quraisy Mathar, dikarenakan oleh pelaksanaan acara ini bertepatan dengan liburan, maka suasana penyajian pun tidak perlu serius. Dan, bukti kesantaian itu, setidaknya tercermin dari judul yang ditabalkannya. Pun, ditambahkannya pula, bahwa kelak nanti di Padang Mahsyar, antara surga dan neraka, bakal ada perpustakaan terbesar, yang dikawal oleh dua sosok “pustakawan”, malaikat pencatat perbuatan baik dan buruk.

Selanjutnya, Andi Ibrahim, yang memberikan perspektif tentang pentingnya mempersiapkan diri, selaku mahasiswa jurusan perpustakaan untuk menjadi pustakawan. Dibutuhkan tenaga-tenaga profesional nantinya, guna mengawal perpustakaan, sebagai kaum profesional,mengingat begitu banyaknya perpustakaan yang membutuhkan tenaga-tenaga yang mumpuni di bidang pengelolaan perpustakaan.

Sebagai pembicara keempat, saya diminta untuk berbicara seputar geliat gerakan literasi di Sulawesi-Selatan. Pada sajian saya, lebih banyak membabarkan sisi-sisi pengalaman lapangan dalam mengampu gerakan literasi yang berbasis komunitas. Saya tegaskan di forum itu, bahwa gerakan literasi harus didefenisikan sebagai gerakan sosial, tepatnya sebagai bagian dari Gerakan Sosial Baru (GSB). Sehingga, pada konteks ini, gerakan literasi bisa bergandengan dengan entitas sosial manapun. Gerakan literasi, ibarat flashdisk yang bisa dicolokkan ke pelbagai perangkat pembaca program.

Pada sisi inilah menarik mempertajam gagasan nyentrik dari Quraisy Mathar, tentang Terasi dan Literasi. Saya menangkapnya, gagasan ini penuh dengan jamuan-jamuan ilustratif. Terasi, sebagaimana diungkapkan olehnya, adalah sejenis adonan yang terbuat dari bahan udang, ikan dan bumbu tertentu. Tidak ada kata sepakat mengenai bentuknya, mau bulat, segi empat, lonjong tergantung selera pembuatnya. Namun, ada satu hal yang identik pada diri terasi, baunya menyengat, khas. Kadang tidak disukai, walau tidak sedikit yang membutuhkannya untuk memperenak selera makan.

Begitupun juga dengan literasi, tidak ada defenisi yang baku tentangnya. Yang pasti, satu hal yang menjadi konvensi, yakni: baca-tulis. Literasi sendiri, berkembang mengikuti geliat zaman. Sehingga, di masa kiwari ini, seluruh aspek kehidupan, ditempeli oleh istilah literasi. Maka lahirlah istilah-istilah sebentuk: literasi media, literasi informasi, literasi ekonomi, literasi budaya, literasi politik, dll. Pun, tak ketinggalan tentunya, istilah literasi terasi.

Ketika saya menjadi tawanan ungkapan ilustratif dari Quraisy Mathar, akan Terasi dan Literasi ini, saya pun berspekulasi untuk membabarkan tohokan-tohokan gagasan, dengan mengelaborasi dua penggalan lema itu. Saya memaksudkannya dengan “Literasi Terasi”, bahwasanya terasi mesti dijelaskan secara tekstual, agar tersajikan pengertian baku akan benda itu. Ketika terasi itu diaktualkan fungsinya untuk memperenak selera makan, maka pada poin inilah, arti penting terasi menemukan bentuk fungsionalnya. Terasi dengan sengatan baunya, telah memasuki seluruh lapisan masyarakat. Tidak kenal dengan istilah masyarakat kelas atas, menengah dan bawah, semuanya telah bersetubuh dengan terasi. Terasi tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat tertentu, tapi sudah memondial, termasuk tempat mendapatkannya, tidak lagi di pasar tradisional, di pasar modern sekalipun terasi ikut nangkring menawarkan diri.

Bila sudah sebegini keliaran imajinasi saya, maka taklah menjadi masalah kemudian, tatkala saya ajukan istilah lain, “Terasi Literasi”, bahwa semestinya literasi meniru terasi dalam gerakan eksistensialnya, memformulasi diri sedemikian rupa, bermetamorfosis dalam bentuk sesuai lingkungan yang membutuhkannya. Sehingga, gerakan literasi — manakala sudah seperti terasi, sewujud terasi literasi– pun harus dijalankan dengan bentuk-bentuk, mulai dari yang paling awal hingga paling mutakhir. Dengan begitu, gerakan literasi akan menghidu segenap lapisan sosial, bergantung pada konteks adaptasinya. Jadi, literasi terasi dan terasi literasi, adalah dua sejoli gagasan ilustratif yang mesti dibumikan.

 

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221