Memproduksi Tukang Teologi

Ilustrasi: kalatida.com

Mustahil mencari bursa kerja pada pelataran job fair yang mencantumkan pekerjaan menjadi tukang teologi. Pekerjaan dalam aggapan kebanyakan orang berhubungan dengan Tuhan itu tak layak membuka stand recruitment untuk berbagai lulusan.Perusahaan mana yang akan mencari? Karena tak ada perusahaan yang bekerja pada bidang konstruksi teologi. Itupun kalau ada mau digaji dengan apa? Sebab pekerjaan teologi berhubungan dengan Tuhan sebagai transenden tertinggi, maka sudah pasti gajinya tak bisa diukur dengan sekeping dua ikat kertas.

Namun, apakah pekerjaan seperti itu ada? Tentu saja ada, teologi sudah lama muncul semenjak manusia bertuhan. Tradisi kebertuhanan ini telah mengakar seiring dengan eksistensi manusia. Adapun ketika theos menjadi logos menyatu dalam teologi, adalah semenjak theos berada di dalam diri pemuka agama seperti syaman atau pandita, yang dalam berbagai kebudayaan berbeda penyebutannya. Tetapi tentang ketukangan teologi, hal ini baru disandarkan pada akhir milenium sesaat setelah memasuki era posmodernisme. Pada milenial ini, pengetahuan tentang keberadaan yang infiniti hanya menjadi komodifikasi yang terlepas dari sampul kesakralan dan orisinalitas. Semua kini bernilai ekonomi-kapitalistik, ilmu yang dapat dipelajari lantas dijual itulah ilmu yang akan dicari. Menghilangkan unsur komodifikasi di dalamnya, hanya akan menjadikan suatu ilmu itu tersingkir dan punah.

Akhirnya jika teologi tak ingin sirna dari sisi agama, ia harus memperbaharui diri. Menyesuaikan dengan keinginan pasar dan memangkas kredo-kredo yang sekiranya bertentangan dengan logika komoditas. Agama sampai hari ini tetap bertahan diterpa kehidupan eksodus modern yang membawa serta arus sekulerisme. Analisa Huxley ternyata meleset, sehingga ia harus kembali memperbaiki teorinya tentang agama yang akan tersingkir di masa mendatang. Maka kita dapati banyak teologi yang sarat dengan muatan developmentalisme, suatu upaya pembaharuan teologi yang berafiliasi dengan pandangan dunia. Ada teologi pembangunan, teologi antroposentris hingga ekoteologi yang kesemuanya hendak membenarkan pandangan dunia ideal manusia dan bukan Tuhan. Selama Tuhan tak bergeming, kredo bisa dirumuskan kapanpun sesuai kebutuhan zaman.

Mahasiswa yang mengenyam ilmu di fakultas teologi pun jika tak hanya segelintir orang pasti orang-orang buangan. Segelintir orang yang berada di kelas-kelas pada kampus swasta hanya diisi oleh 2-3 kepala. Betapa mahasiswa itu harus berjibaku dengan perkuliahan yang serba kultural hingga tak jarang sesuka hati dosen memperlakukan pengajarannya. Demikian pula dengan orang-orang yang mendaftar di kampus negeri tapi tidak diterima pada fakultas pilihan yang banyak peminatnya, secara otomatis oleh manajemen kampus akan dialihkan ke fakultas yang minim peminatnya, dan sudah tentu itu teologi. Manajemen distributif ini sudah lama tercium sebagai upaya komodifikasi kampus. Kampus tak mau tau apakah pendaftar itu berminat mempelajarinya atau tidak. Sepengatahuan kampus, pendaftar itu hanya ingin kuliah entah apapun jurusannya, karena kampus sudah bisa membaca, bahwa pasar hari ini menyediakan tempat sedikit lebih nyaman bagi buruh dengan kertas ijazah strata.

Maka masuklah segerombolan mahasiswa dengan tujuan pragmatis itu, beserta karakter hedonis dan impian mereka yang serba materialistis memenuhi kelas teologi. Ba, bi, bu, ba, cuap-cuap mereka tentang makanan, fashion dan pacar memenuhi dalam perbincangan esoterisme dan emanasi. Tak jarang lelucon jorok pun terlontar dari mulut-mulut yang tidak fasih mengeja nama Friedrich Wilhem Nietzsche. Para calon yang kelak menyandang gelar teolog atau filosof itu tak labih dari lakon sirkus. Nilai menjadi tumpuan dalam kuliah, tak ada nilai tak ada belajar. Dengan picik, ingin saja dirinya diredusir ke dalam angka-angka tanpa makna tersebut. Jangan tanyakan aktivisme membaca apalagi menulis kepada mereka, tugas yang sebenarnya ditujukan untuk itu sekarang bisa dicopy-paste dari kanjeng google. Terlebih lagi akses yang tersedia dibalik layar 6×3 smartphone berfitur 4G. Ujian jika tidak menyontek bisa matur ke google selama pengawas bukan sekelas KPU. Ruang kuliah tidak lagi tempat hingar bingar pertaruhan gagasan beradu, tapi hanya menjadi tempat kesunyian menderu. Jika sudah seperti ini, -universitas seperti apakah- yang akan memproduksi, -filosof teolog seperti apakah- itu?

Kredensial Para Tukang Cendekia

Dalam Cendekiawan dan Kekuasaan (2003) Daniel Dhakidae mengambil ilustrasi dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan untuk mengambarkan fenomena tukang dan kecendekiawanan. Diceritakan ketika tamat dari Fakultas Teknik, Si Doel tidak mengatakan “aku jadi cendekiawan” atau “aku jadi budayawan” atau “aku jadi ilmuan”. Malah ayahnya, “Babe” yang diperankan oleh Benyamin Suaeb, dengan begitu gembiranya sehingga berlari keliling kampung sambil berteriak-teriak di tengah kegirangan ibu dan saudara-saudaranya, mewartakan bahwa anaknya si Doel “jadi tukang insinyur”. Daniel Dhakidae kemudian menjelaskan ada dua hal yang menarik dalam sepenggal tayangan itu. Pertama, pemakaian kata tukang yang penuh dengan penekanan makna. Kedua, gabungan dua hal yang begitu menggemparkan, tukang dan insinyur: tukang yang rendah, sempit-pandang dan kasar, insinyur yang tinggi, cerdik dan cendekia.

Menggabungkan kedua perkara yang berbeda, tukang dan insinyur menurut Dhakidae sama halnya menggabungkan modal dan birokrasi. Lebih lanjut Dhakidae menguraikan bahwa pertukangan secara tidak langsung bukan hanya berhubungan dengan modal akan tetapi kekayaan. Namun karena formasi sosial berjalan sedemikian rupa sehingga pertukangan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan untuk menghasilkan kekayaan. Hingga saat itulah tukang, pertukangan dan ketukangan mulai dihubungkan dengan keuntungan dan akumulasi modal. Sedangkan insinyur adalah suatu produk birokrasi akademia yang kalau tidak dengan sendirinya maka dirancang untuk berhubungan dengan kapital. Dengan suatu jalan baru, keduanya, tukang dan insinyur bertemu ketika akumulasi keuntungan masuk ke dalam peta, bersama ke-efektif-an akumulasi pengetahuan dan kelak kekuasaan. Sehingga tukang insinyur telah menjadi makhluk lain yaitu “alat” itu sendiri dan bukan semata-mata “memperalat” suatu benda.

Sudah tak mengherankan lagi jika kondisi dunia akademik detik ini banyak melahirkan para tukang dibandingkan cendekiawan. Sebab pandangan dunia yang digunakan adalah pasar, percepatan kapitalisme yang tak dapat dibendung menyeret serta kaum inteligensia ke tengah pusaran komodifikasi yang mematikan, sehingga kredensial menjadi vital kedudukannya. Surat kepercayaan dari lembaga pendidikan, kredensi atau yang disebut ijazah,dahulu merupakan suatu tanda ketersambungan atau sanad dari guru ke murid sebagai keabsahan ilmu yang dituntutnya. Menurut Raghib As-sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia (2012), ijazah adalah ketetapan untuk para pengajar bahwa muridnya mempunyai kapasitas untuk mengajar di komunitas sendiri, pada bagian ilmu tertentu dari aneka macam ilmu. Di dalam ijazah, terdapat pengakuan pertanggungjawaban ilmiah serta tradisi orisinalitas yang menjadi pijakan ketika didapuk sebagai cendekiawan.

Akan tetapi pada perjalanannya, kini kredensial mengalami peyorasi fungsi. Dari fungsi otentifikasi ke fungsi pragmatis. Ada upaya pengerdilan akademik. Karena produksi cendekiawan adalah berkoheren dengan jasa, maka sedalam apapun ilmu yang dimiliki, ia tak ubahnya seperti kulkas yang harus mempunyai standar fungsi, ke-alat-an-guna dan kesiapan pakai kapanpun, berdasarkan kredensi yang sudah diperoleh. Karena itu tak ada pertanyaan yang lebih sarkas digunakan lembaga kerja daripada “apakah seseorang itu sudah siap pakai?” Lembaga pendidikan, birokrasi akademik, cendekiawan dan arus kapitalisme berkelindan membentuk suatu paradoks di dalam dunia pendidikan yang harus dipecahkan. Karena proses hibridasi sudah terjalin, menyebabkan terbentuknya determinasi hingga dependensi pada dunia kampus yang tak lebih dari sekadar kehendak untuk bekerja.

Teolog Bertukang dan Teologi Tukang

Jika dunia akademisi tempat para peneliti, ilmuwan dan sosiolog berada sudah sedemikian krisis, bagaimana dengan para teolog dan filosof yang disinyalir takkan mungkin terpengaruh dengan dromologi zaman? Jawabannya ada dua, pertama, berafiliasi dengan pasar. Jika hendak terjun ke dalam arus ini maka harus mendiseminasikan paradigma pasar, sistem distributif komoditas dan logika konsumtif. Para teolog tak mungkin berkonfrontir melakukan segregasi dan berada pada kubu yang berlawanan. Jikalaupun tetap menghendaki, maka akan masuk pada jawaban kedua, yaitu memarginal atau menjadi eksklusif. Yaitu lingkaran minoritas yang terdiri dari segelintir orang yang memiliki tekad, tujuan dan sungguh-sungguh disiapkan untuk memperbaharui dunia atau setidaknya merekonstruksinya. Dengan berani mendongkakkan kepala vas a vis berhadapan dengan kapitalisme global guna menyelamatkan manusia dari kemerosotan hidup.

Teologi yang sesuai dengan permintaan pasar memang cenderung inklusif bahkan sampai pada aras yang paling fundamental adalah liberal. Memilih mengakomodir kepentingan manusia di atas kepentingan Tuhan, merelativiskan kredo dengan historisitas dan mendekonstruksi epistem teologi dengan jalan interpretatif. Intinya adalah agama harus ditundukkan, patuh pada tirani positivistik yang memusatkan manusia sebagai titik episentrum dunia. Hanya dengan begitu teologi akan dibutuhkan. Jika di Barat agama telah sampai pada tapal batasnya dan mulai ditinggalkan, maka di Timur, meninggalkan agama sama halnya dengan siap ditinggalkan karena teologi parsial yang berasal dari adat istiadat keluarga. Alternatifnya adalah mengakomodasi dengan jalan ditundukkan di bawah roda kapitalisme. Tampak teologi seperti ini inklusif dan sesuai dengan zaman, namun semua itu hanyalah ilusi. Teologi seperti itu hanya akan membunuh Tuhan secara perlahan-lahan dari dalam teologi.

Apakah hari ini para tukang, seniman, buruh, guru dan berbagai profesi lainnya tidak membutuhkan teologi lagi? Apakah cukup dengan teologi artifisial rekaan pasar? Ataukah sudah cukup dengan teologi parsial sebagai identitas timur menjadi pegangan? Tentu saja para tukang harus berteologi. Namun teologi yang lepas dari produksi-produksi pasar, terutama yang dibuat oleh para tukang teologi dengat sangat tendensius. Sebab jika teologi sebagai aspek fundamental dalam manusia mampu dikreasi sedemikian rupa bagaimana dengan moral, hukum, dan identitas? Apakah kapitalisme benar-benar telah memenangkan peperangan? Semua itu akibat pola pikir yang serba bipolar-dikotomis.

Tukang hanya dimaknai sebagai seorang yang memiliki keahlian mengubah sesuatu mempergunakan alat. Ia seakan terlepas dari spiritualitas. Seperti yang diungkapkan oleh Amin Abdullah dalam Islamic Studies di Perguruan Tinggi (2012), ilmu-ilmu umum yang terpisah dan berjalan sendiri sedang terjangkiti krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan serta penuh dengan bias-bias kepentingan. Seakan spiritualitas harus dienyahkan dari dalam diri tukang, karena dianggap akan mengganggu kestabilan objektivikasi. Semakin spiritual seseorang, semakin naif. Demikianlah persoalan yang perlu dipecahkan bukan dengan mengubah konteks teologinya melainkan mengaktualisasikannya. Sampai di mana kira-kira teologi akan mempengaruhi pencapaian peradaban manusia, bukan sebaliknya, sampai di mana teologi akan menyusul peradaban manusia.

Para tukang teologi ini terlahir dari sistem pendidikan paradoks. Mereka dibekali kemahiran berteologi untuk menghasilkan kekayaan, dilatih berfilsafat untuk menjinakan Tuhan. Menawarkan keliling kota kredo-kredo palsu atas nama kebebasan manusia namun terjebak dalam nafsu kebendaan. Maka semenjak awal sudahilah keinginan bekerja dengan jalan kuliah, apalagi pada jurusan teologi. Mulailah bekerja, mulailah berwirausaha. Biarkan mekanisme pasar yang akan mengajari apa itu bisnis dan kesuksesan. Sebab teolog adalah mereka dengan kehidupan pribadi yang asketis dan kehidupan sosial yang filantropis. Sudikah para tukang teolog itu menjalaninya?

  • Baskara mulai tenggelam. Namun, turbulensi di alam akal mulai terbit, lantaran demonstrasi si ‘suntuk’ tak bisa kubungkam. Ia nyata beringas mengganggu akalku. Pukul empat lima puluh dua terdengar, “kriiingg…”, bunyi ponselku jua mengusik pergolakan di alam akalku. Aku buka pesan di WhatsApp. Rupanya Bung Andi mengirimkan sebuah pesan berupa pamflet perihal mengikuti kelas menulis di…

  • Belakangan ini, yang menduduki singgasana kerajaan adalah rating. Kritik dan masukan netizen bukanlah standarisasi bagus yang bisa mendongkrak popularitas. Suara netizen bak kicauan burung, sepintas merdu terdengar oleh kuping-kuping aparatur negara. Masuk di telinga kanan keluar di telinga kiri. Inilah Indonesia, makin ke sini, malah makin ke sana. Pementasan kasus dan fenomena liar dari Juli…

  • Ustaz yang membenamkan dirinya dalam tanah namun dengan akar yang kuat, suatu hari nanti muncul dengan pucuk yang indah dan kokoh di permukaan, ketimbang “ustaz“ yang tampil tidak dengan persiapan agama yang mapan. Penghujung Juli, tahun 2021. Saya, Daeng Syarif, Daeng Rizal Baji Areng, menyambangi acara yasinan dan zikiran malam Jumat bersama sekumpulan jemaah minoritas…

  • Awal muncul penuh cibiran, lambat laun dapat dukungan, pada akhirnya menjadi kenangan, karena Indonesia hanya senang dengan konten musiman Malam teramat sulit dijinakkan, mata susah berdamai dengan kantuk, saya dan Puang Lolong pun membuka ponsel masing-masing. Seperti biasa, Puang Lolong membuka aplikasi TikTok yang menjadi ritualnya sebelum ia mengakhiri malam lalu hanyut dalam mimpi. Ia…

  • Jika kita pernah mendengar lagu anak-anak “Di Mata Mama Ada Bintang” karya A.T. Mahmud,  maka kali ini saya ingin membalik syairnya menjadi di mata anak ada bintang. Tentu saya tidak ingin mengusik kepopuleran lagu ini, melainkan sekadar ingin menumbuhkan kesadaran dalam diri orang dewasa, untuk sering-sering menatap mata anak-anak kita. Pertanyaan sederhananya, seberapa sering dan dalam kita…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221