Dengan santai, mendaras Anging Mammiri-nya senior saya, Abdul Rasyid Idris, mata tertuju pada judul “Poppo’-Parakang” dalam buku tersebut. Berseliweranlah angan ke masa kecil, mengais memori yang hampir tertimbun rapi yang merapuh, cerita rakyat dari neneknya nenek ke ibunya dan neneknya dan juga ke ibuku dari nenek tentang Poppo’-Parakang. Angan juga melayang-melayang mencari tahu, sekalipun agak ragu, apakah Poppo-Parakang masih ada di zaman serba digital ini? Akal nakal menjawab: Ya! Akal yang sama dalam benakku malah balik bertanya dengan penuh keheranan:”Hah??! Betulkah?”
Berdasarkan paparan cerita kampung, Poppo’-Parakang adalah makhluk jadi-jadian namun bertubuh serupa manusia sesungguhnya. Poppo’ berjenis kelamin perempuan dan Parakang bergender laki-laki. Namun belum pernah terdengar tegas mereka adalah pasangan suami-istri. Karena, tidak pernah terdengar ada Parakang yang melamar Poppo’ atau sebaliknya. Lebih-lebih tidak pernah terjadi ada perhelatan yang megah atas pesta perkawinan antara Poppo’ dengan Parakang. Kalaupun memang ada, yang pasti tidak diketahui berapa besar uang panai’ dan penghulunya. Namun uniknya, makhluk jadi-jadian ini senantiasa hadir dalam kesadaran lama, mungkin juga kesadaran baru, sekalipun tidak pernah diketahui bagaimana mereka berkembang biak dan mati. Poppo’-Parakang hadir begitu saja dalam cerita rakyat, bahkan dipercaya memang hadir dalam masyarakat.
Poppo’ bertubuhkan perempuan yang cantik, berkulit putih, rambut panjang, berleher jenjang dan tinggi semampai. Parakang bertubuhkan lelaki biasa yang suka bertelanjang dada dan bermata merah. Pekerjaan mereka sama: mangiso’ pallo’(bugis: pello’) yang artinya menghisap dubur. Dengan menghisap dubur, diasosiasikan selanjutnya menghisap darah sehingga korbannya akan kehabisan darah dan meninggal. Begitulah cara Poppo’-Parakang mendapatkan dan mempertahankan hidup dengan cara menciptakan kematian bagi orang lain. Orang yang sesungguhnya. Sementara mereka adalah orang jadi-jadian. Jadi, orang jadi-jadian mencari hidup dengan cara menciptakan kematian bagi orang sesungguhnya. Itulah Poppo’-Parakang.
Sebelum beroperasi di malam hari, Poppo’ mengeluarkan isi perutnya di rakkeang atau bagian dalam bubungan rumah dengan mengucap: “Poppo…poppo…poppo…” berulang-ulang. Setelah ritual ini selesai, maka bergentayanganlah Poppo’ mencari mangsa. Jam kerja Parakang lebih sederhana, begitu masuk waktu Magrib berarti sudah masuk jam operasi. Parakang keliling kampung mencari anak-anak dan orang sakit atau siapa saja yang lalai untuk dihisap duburnya yang kemudian terhisap juga darahnya. Dalam kondisi genting yang merugikan, Poppo’ bisa menghilang begitu saja, sedangkan Parakang bisa tetiba menjadi kucing hitam pekat lincah. Sepertinya perangkat penyelamatan diri sudah built-in di dalam diri Poppo’-Parakang bila mereka menghadapi suasana berbahaya. Mungkin karena hal ini pula daya survive keduanya dipandang andal sehingga dapat hidup di segala zaman.
Karena dapat bertubuhkan pada siapa saja yang sesuai, maka Poppo’-Parakang adalah makhluk sifat. Dia merupakan sekumpulan sifat yang dapat hinggap pada siapa saja yang bersesuaian karakternya. Secara umum Poppo’-Parakang berpenampilan sebagaimana umumnya manusia. Namun sifat-sifatnyalah yang buruk. Secara luaran baik, namun dalamannya buruk bahkan sangat berbahaya, membunuh. Pada unsur sifat inilah Poppo’-Parakang punya kemampuan reinkarnasi yang luar biasa. Ia dapat menjelma menjadi berbagai personifikasi buruk—karena secara hakiki sifatnya memang buruk—dengan berbagai tampilan perwajahan tak berbatas jumlah.
Poppo’-Parakang bisa bertubuhkan pada pembunuh, pencuri, peneror, pembohong, dan segenap person negatif lainnya. Poppo’-Parakang menghisap darah korbannya adalah pembunuh sadis. Poppo’-Parakang mengambil rezeki orang lain dengan tidak semestinya adalah pencuri. Poppo’-Parakang yang menciptakan aroma ketakutan akan kejahatannya bagi orang lain adalah peneror kejam. Poppo’-Parakang berpenampilan baik namun bersifat buruk adalah pembohong dan munafik. Begitupun personifikasi buruk lainnya sangat berhimpitan dengan Poppo’-Parakang jika kita tidak ingin mengatakan bahwa mereka identik. Poppo’-Parakang adalah satu sosok yang dalam dirinya berisi multikejahatan.
Di antara sosok negatif yang sangat dekat dengan karakter Poppo’-Parakang zaman sekarang adalah koruptor. Sama-sama dalam satu sosok berisi multikejahatan. Koruptor melestarikan hidupnya dengan cara menggunting urat nadi ekonomi kehidupan. Koruptor bekerja dengan cara mencuri, mengambil sesuatu yang semestinya bukan haknya. Koruptor dengan sadar atau tidak, mengancam kestabilan kehidupan, menebarkan mesiu menakutkan, adalah teroris yang nyata. Koruptor senantiasa menampilkan kebaikan namun mengoperasikan rencana buruknya pada saat bersamaan adalah pembohong besar. Jika disimak dengan jeli berurai tajam, koruptor mengumpulkan segenap kejahatan dalam dirinya. Dengan berbagai predikat tersebut, maka sangat layak jika dikatakan koruptor adalah reinkarnasi definitif dan cukup sempurna dari Poppo’-Parakang untuk masa digital ini.
Bagaimanapun juga, karena sangat membahayakan, sepak terjang Poppo’-Parakang harus dihentikan. Secara tradisional ada berbagai cara untuk menangkal manuver-manuvernya. Misalnya, dengan menggunakan azimat bambu ketemu buku atau rajah-rajah tertentu yang dibungkus dengan kain hitam lalu dililitkan ke leher sebagai kalung atau di pinggang. Atau juga dengan cara menaburi garam di sekeliling rumah serta membaluri garam ke sekujur tubuh “tersangka” gangguan Poppo’-Parakang. Biasa juga dengan jampi-jampi untuk menangkal serangan makhluk berbahaya ini.
Dalam konteks reinkarnasi Poppo’-Parakang, koruptor, dibutuhkan kekuatan tertentu untuk memberantasnya, mungkin inilah wujud kehadiran KPK. KPK adalah azimat, garam atau jampi-jampi era digital untuk menangkal agresivitas Poppo’-Parakang zaman mutakhir, yaitu koruptor. Namun, dengan kelincahan yang luar biasa, karena Poppo’-Parakang itu adalah makhluk sifat sebagaimana koruptor, maka bebas mengambil tubuh mana saja yang bersesuai dengan sifatnya. Jadi bisa saja Pawang Poppo’-Parakang kemasukan Poppo’-Parakang, begitupun bisa terjadi relasi antara KPK dan Koruptor. Bila hal ini memang terjadi, benarlah kiranya Poppo’-Parakang masih eksis di era digital ini dengan multikejahatannya yang jauh lebih sadis.