Anne dan Getaran untuk Anak Bangsa

Nama Anne di Indonesia ini mungkin sudah banyak, tapi Anne dalam tulisan saya ini bukanlah Anne sebagaimana Anne yang biasa kita temui di tengah jalan, mal, pasar dan sekolah, tapi kemungkinan terdekatnya, sosoknya adalah imajinasi kita dan bagian dari diri kita yang terejawantahkan sebagai Anne. Saya pun tidak tahu seberapa banyak orang yang telah mengenal, berakrab-akrab dengannya, bahkan berasyik masyuk mengikuti perjalanan hidup dan sepak terjangnya. Sosok yang bagi saya agak misterius saat awal saya mencoba mengenalnya lebih dekat. Dialah Anne yang termaktub dalam Anne of Green Gables.

Anne of Green Gables disabdakan Lucy M.Montgomery sebagai novel yang mengangkat nilai-nilai kasih sayang, persahabatan, dan imajinasi. Anne dinobatkan sebagai aktor utama yang mengendalikan alur perjalanan Anne of Green Gables.Usianya yang masih sangat muda dengan pemikiran yang brilian dan karakter yang unik,  menjadi teka-teki bagi pembaca yang melahap kisahnya. Usianya yang masih sekitar 11 tahun dan pertemuan dengan orangtua angkatnya, menjadi awal kemekaran bunga-bunga kehidupannya yang memancar indah, walau sesekali harus diterpa badai.

Bagaimana tidak? Dia harus mengalami pertarungan batinnya, antara kegembiraannya menemukan orangtua yang mengangkatnya sebagai anak, dan memiliki rumah sendiri, dengan awal kehadirannya yang diam-diam tidak diinginkan oleh orangtua angkatnya, hanya karena keberadaan dirinya di rumah tersebut adalah hasil kesalahan. Anne menggantikan sosok anak lelaki dari panti asuhan yang menjadi awal pengharapan orantua angkatnya.

Anne dengan karakternya yang banyak bicara, memiliki pertanyaan ibarat “mata air”, semangat yang bergejolak, rasa penasaran yang membumbung pada hal-hal baru, dan imajinasi yang luas, awalnya menjadi kecemasan ibu angkatnya. Tapi siapa sangka, hanya dengan hitungan bulan, Anne bisa menarik simpati, dan memenangkan hati orangtua angkatnya. Pertanyaan-pertanyaan yang sering keluar dari bibirnya terkadang menjadi bom bagi dirinya sendiri, tetapi diam-diam kecerewetannya menjadi buah kerinduan orangtuanya.

Kalimat yang sering diutarakan adalah kalimat yang melampui bahasa umurnya. Kerap pula bahasanya dikatakan sebagai bahasa canggih bagi teman-temannya, bahkan oleh orang yang lebih dewasa dari dirinya. Kata apa, mengapa, kapan, dan bagaimana selalu menjadi makhkota dalam ucapan yang keluar dari mulutnya. Imajinasinya yang luas melabrak batas-batas kebiasaan orang di sekitarnya, berbincang dengan tumbuh-tumbuhan, hewan, air yang mengalir, dan benda mati di sekelilingnya membawa ia berselancar dengan riang tanpa batas.

Tapi bukankah ini suatu cara untuk menjalin kedekatan dengan alam? Tepatnya berdialog dengan alam, yang saat ini kerap diabaikan oleh orang dewasa dan orang-orang yang menggelari dirinya sebagai orang modern, di tengah pertumbuhan industri yang sangat pesat. Alam ditaklukkan dengan sedemikan rupa di bawah kekuasaan manusia.

Tapi Anne, sang gadis kecil Green Gables tidak hidup dalam lingkaran pemikiran manusia modern itu, mampu berdialog dengan alam di sekitarnya dengan penuh penghayatan. Ia begitu hidup dengan keragaman imajinasinya yang terus mengalir. Kegemarannya membaca buku, kesenangannya membantu, sikap tulus dan ketekunanya, serta kasih sayangnya, tidak hanya tercurah kepada orantuanya, tetapi kepada sahabat, rekan sekolahnya, dan orang-orang berjasa di sekitarnya, membuat ia menjadi anak yang dikagumi dan dihormati.

Hal yang dilakoni oleh Anne adalah hal yang saat ini jarang diperankan oleh anak era kiwari. Bahkan mungkin sebagian generasi digital saat ini menganggapnya sebagai peran yang aneh dan jauh dari kesan modern. Mereka begitu sesak diserbu perangkat digital. Orangtua, teman sebaya, dan orang-orang di sekitarnya selalu dilengkapi dengan gadget, akhirnya anak-anak pun tumbuh sebagai penikmat bahkan pecandu gadget.

Bagaimana tidak? Gadget begitu sangat memesona melalui kemudahannya dalam banyak hal, keseruannya melalui audio visual dan pengunaannya yang mudah, hanya gerakan jemari dan pandangan fokus tertuju pada layar gadget, maka di sanalah kesenangan dan kepuasan mereka temukan.

Ada hal menarik dan penting untuk diketahui melalui pertumbuhan anak di era modern ini, era di mana anak dilengkapi dengan kecanggihan teknologi. Salah satu analisa Yee-Jin Shin, seorang psikiater dan praktisi pendidikan anak terkemuka di Korea, yang mencengangkan bahwa kehadiran perangkat digital sangat potensial menyebabkan anak menjadi matang semu, mengalami gangguan kejiwaan, tidak bisa mengontrol emosi, dan terlihat antisosial.

Mereka tumbuh dengan jiwa yang hampa, yang mengenal kepuasaan sesaat bukan kebahagiaan. Hal yang sangat mengerikan bukan? Hal ini benar-benar menjadi tantangan berat bagi orang tua modern untuk mengendalikan kehadiran gadget di rumah dan di tangan buah hati, bukan justru sebaliknya. Beruntunglah Anne yang tidak berada di lingkungan demikian.

Lingkungan Anne adalah lingkungan yang begitu mengapresiasi keindahan dan kelestarian alam, lingkungan dengan didikan orangtua yang tidak serba instan, yang mengajarinya keterampilan, dan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan potensi yang dimilikinya. Kebijaksanaan orangtua angkatnya di antara detik-detik waktu yang berdetak, akhirnya mampu mendidik Anne untuk perlahan beradaptasi, mengelola kecerewetannya pada hal yang posistif dan mengenali karakternya serta memahami keadaan orang lain, sehingga ia tumbuh dengan sikap kepedulian sosial yang tinggi. Anne, sosok yang awalnya tidak diinginkan menjadi sosok yang begitu sangat disayangi dan dikagumi. Tidak hanya bagi orangtuanya, tetapi juga orang-orang di lingkungan sekitarnya.

Demikian, novel ini sangat memikat hati saya. saya merasa kesepian ketika buku keduanya ini selesai saya baca dan buku selanjutnya belum berada di tangan saya. Akhirnya dengan penuh pengharapan dan penantian, waktu sedang menagajari saya bersabar untuk melamar satu seri sebelumnya dan 6 seri berikutnya. Novel berkualitas yang tak akan membuat anda rugi untuk memilikinya.

 

  • Meniti dengan Sabar Sore ini tak ditemani senja merona saga, sebab kabut hitam pekat tak hentinya mengerubuti cerlangnya. Aku tertatih menapaki jalan-jalan setapak menuju puncak kebajikan yang masih jauh di pucuk angan-angan, terhalau ego membatu. Padahal, pelbagai cara telah kurajut menuju cahaya di balik kabut pekat itu. Namun langkahku masihlah tertatih terhalau berupa-rupa ranjau yang…

  • Kebisuan Kita Kebisuan kita dieja oleh kata-kata yang habis ditikam diam Direkam oleh senyap Diabadikan kenangan   Kebisuan kita dibaca oleh surat-surat tak sampai Cerita-cerita yang urung dan pertanyaan-pertanyaan yang selalu gagal melewati garis lintang lidah   Kebisuan kita ditulis dalam lembar-lembar hari Hariku dan harimu yang terpisah Didaras pada tengah malam buta oleh rindu…

  • Ini hanya peristiwa rutin, yang saya nyaris lakukan saban pagi, bila hendak pergi ke tempat kerja, berbekal sebotol kopi. Sekali waktu, saya menuangkan kopi dari panci bergagang ke dalam botol bekas sirup, dalam posisi ketinggian botol, hampir sejajar dengan dada saya. Kesulitanlah saya, sebab selain harus meninggikan posisi tangan, juga kerepotan dengan mulut botol yang…

  • Suatu pagi saya menyeruput secangkir kopi, saya larut dalam kenikmatan. Entah sejak kapan saya mulai menjadi penikmat kopi dan untuk apa meminumnya. Kopi racikan saya mungkin tidak akan pernah senikmat racikan seorang Ben yang diperankan Chicco Jerikho dalam film Filosofi Kopi. Sebuah film yang diangkat dari novel Dewi Lestari. Tapi satu hal yang sama, saya…

  • Kampus adalah medan perang, yakni memerangi kebodohan untuk mewujudkan mahasiswa yang cemerlang, dan generasi yang memiliki ciri intelektualitas tinggi. Jika sebagai prajurit di medan laga peperangan anggota militer, senjata yang digunakan adalah pistol, senapan, dan senjata api lainnya, untuk menegakkan keamanan rakyat, maka sudah selayaknya seorang mahasiswa menjadikan buku, pena, dan laptop sebagai senjata untuk…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221