Kala Literasi

Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar

Komunisme yang Patah, Tumbuh dan Hilang Berganti

Akhir- akhir ini narasi G30S/PKI kembali mencuat ke publik tanah air. Seperti lazimnya, tatkala bulan September tiba, ada saja pihak yang cekatan menggiring opini publik agar terjebak pada pembahasan perihal salah satu narasi sejarah kelam Indonesia tersebut. Pada dasarnya, sebuah narasi yang ‘menjual’ selalu melahirkan tiga kubu; kubu pro, kubu kontra dan kubu moderat. Untuk kubu moderat sendiri, mereka layaknya sang dialektikawan, berupaya mencari sintesis sebuah perkara dari hasil pergumulan pihak pro (tesis) dan pihak kontra (anti tesis).

Untuk periode September tahun ini, narasi G30S/PKI mengangkat topik seputar kelayakan pemutaran kembali film (pengkhiatan) G30S/PKI. Sebagaimana kita ketahui, pemutaran perdana film tersebut dirilis pada 1984 dan tiap tahunnya diwajibkan menonton bagi segenap kalangan masyarakat Indonesia. Sementara pasca rezim Orde Baru tumbang pada 1998, film yang digarap oleh sineas Arifin C Noer tersebut akhirnya berhenti ditayangkan oleh Menteri Penerangan Letjen (Purn.) Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu. Hal ini sekaligus menjawab permintaan pihak Angkatan Udara yang merasa tersudutkan oleh film tersebut.[1]

Wacana pemutaran kembali film (pengkhianatan) G30S/PKI pertama kali disuarakan oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. Ia memberikan instruksi (perintah) kepada seluruh prajurit TNI AD agar menggelar nonton bersama. Wacana ini kemudian diperkuat oleh pernyataan pemerintah Jokowi yang sepakat agar diadakan pemutaran kembali film G30S/PKI, namun dengan sedikit polesan untuk menyesuaikan karakter generasi millenials hari ini, mengingat film tersebut memakan durasi 3 jam setengah dengan kualitas video hitam putih. Tentunya ini akan mengundang kebosanan bagi generasi millenials hari ini yang terbiasa mengkonsumsi produksi High Digital.

Hingga wacana tersebut bergulir, ternyata mengundang keriuhan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Biang utama keriuhan tersebut adalah berseliwerannya berbagai fakta dan berita (hoax) yang terkadang sulit dibedakan kesahihannya oleh sejumlah kalangan masyarakat (awam dan sumbu pendek). Sesuatu yang opini (hoax) dianggap fakta dan sesuatu yang fakta hanya dipandang sebelah mata. Sehingga asumsi yang berkembang di tengah masyarakat bersifat oposisi biner, kalau anda tidak setuju terhadap film tersebut maka akan dicap antek-antek PKI dan begitupun sebaliknya.

Jika ditelusuri lebih jauh, tindakan penilaian hitam putih tersebut hadir disebabkan oleh sukarnya memisahkan unsur subjektifitas terhadap film tersebut. Subjektifitas mengacu kepada memori luka lama yang masih membekas yang kemudian diproduksi kembali agar generasi yang tidak mengalami peristiwa tersebut dapat meng-imajinasikan kejadiannya (verstehen ala Weberian). Sehingga dengan bergulirnya wacana ini, dendam lama yang telah terkubur bermuara kepada lahirnya konflik laten antara kubu tentara + kubu umat islam vis a vis kubu (keturunan) PKI. Lalu, siapakah yang paling diuntungkan dari polemik ini selain para elit yang hendak mendulang suara pada pesta demokrasi dalam waktu dekat ini (pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019).[2]

Jalan Panjang Komunisme di Indonesia

Ketika Uni Soviet runtuh di bawah kepemimpinan Gorbachev tahun 1991 yang juga diawali oleh runtuhnya tembok Berlin (bersatunya Jerman Tmur dan Jerman Barat), maka kedua peristiwa tersebut menjadi penanda resmi sebagai keruntuhan ideologi komunisme di permukaan bumi ini. Kendati kepemimpinan Negara Komunisme pertama di dunia ini – Uni Soviet –dianggap telah runtuh, tetapi ada beberapa rezim Marxis – Leninis (sebutan lain dari Komunis) yang masih mampu bertahan seperti Cina, Kuba, Laos dan Vietnam (Fakih, 2017).

Secara kelembagaan, komunisme memang dapat dihancurkan, tetapi secara ideologis ia sangat sulit bahkan mustahil dihilangkan. Melacak akar sebuah ideologi hanya mampu ditemukan dalam semesta ide individu saja sehingga untuk melawan atau menghilangkannya hanya dengan pertentangan ideologi pula (sering diistilahkan dengan perang pemikiran/gawzl fikr). Terlebih komunisme pernah mencatatkan namanya sebagai salah satu ideologi terbesar di dunia karena ia mampu berkembang biak di berbagai belahan bumi ini. Ketika Uni Soviet masih dibawah kepemimpinan Nikita Kruschev, embrio komunisme ini tumbuh kembang dengan pesat di berbagai benua seperti Amerika Latin (Kuba, Bolivia, El Salvador, Grenada, Nikaragua, Peru, dan Uruguay), Afrika (Benin, Kongo, Ethiopia, Zimbabwe dan Somalia), Asia (RRC, Vietnam, Laos, Kamboja, Philiphina dan Indonesia) (Fakih, 2017).

Di Indonesia sendiri, perkembangan komunisme terjadi di masa pergerakan nasional awal abad 20. Lebih jauh, embrio lahirnya komunisme di Indonesia adalah hasil “persetubuhan” antara organisasi sosialis ISDV dan organisasi dagang Sarekat Islam (SI). SI yang merupakan organisasi Islam pertama di Indonesia ini kemudian pecah pada 1923 menjadi 2 kubu yakni SI putih (CSI) yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto dan SI Merah (SI Semarang) yang dinahkodai oleh Haji Misbach. SI Merah inilah yang kemudian melebur kedalam tubuh PKI yang mana nantinya menjadi partai komunis terbesar di dunia diluar Uni Soviet. Bahkan dalam pemilu 1955, PKI masih mampu meraih posisi ke empat di bawah PNI, Masyumi dan NU.

Syahdan, jika PKI yang selama ini dipropagandakan sebagai ideologi yang anti tuhan (atheis), anti islam, maka kiranya perlu diluruskan kembali. Pasalnya, aktualisasi nilai-nilai komunisme bergantung di mana ia bersarang. Selama ini komunisme diidentikkan dengan ideologi anti Tuhan atau anti agama itu dikarenakan yang menjadi rujukan adalah komunisme Eropa. Sebagaimana jamak diketahui, karakter masyarakat Eropa dibangun di atas nilai – nilai sekulerisme sehingga wajar jika pandangan hidup seperti Atheis dan Agnostic tumbuh subur. Tetapi lain halnya tatkala komunisme berkembang di Indonesia, sebab ia berkelindan dengan karakter masyarakat indonesia yang dikenal akan sisi religiusitasnya.

Olehnya, hanya di Indonesia kita mendapati seorang komunis yang islami, seorang komunis yang haji bahkan seorang komunis yang menghafal Al-Qur’an. Datuk Tan Malaka adalah seorang komunis (tulen), tetapi ia juga adalah seorang hafidz Qur’an ketika muda. Haji Misbach adalah pemuka Islam (petinggi SI), tetapi ia juga adalah seorang komunis.[3] Pun jika ada yang tak sependapat atas pencampuran kedua ideologi tersebut, faktanya komunisme dan islam (isme) masih mampu bergandengan tangan di masa – masa awal pergerakan nasional demi satu tujuan bersama, yakni menumpas kolonialisme Belanda.

Akhirnya di tangan Soeharto lah komunisme dengan berbagai variannya menemui ajalnya. Pasca peristiwa G30S/PKI, ideologi tersebut akhirnya dikubur bersamaan dengan orang – orangnya yang dilegalkan melalui Tap MPRS XXV 1966. Kendati ia telah dikubur, tetapi kenyataannya komunisme tak jarang abstain untuk diperbincangkan bahkan setiap tahunnya terutama menjelang bulan September. Diperbincangkan bukan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan, lebih – lebih aktualisasi prinsip dalam kehidupan, namun diperdebatkan dalam kerangka propaganda kebencian. Demikianlah potret perlakuan rezim orde baru selama 32 tahun berkuasa.

Komunisme vis a vis Kapitalisme dan Islamisme

Kini kekhawatiran yang berlebihan akan bangkitnya hantu komunisme[4] beserta lembaganya (PKI) melanda sebagian masyarakat kita. Melalui analisis prematur, propaganda dan penyebaran hoax, kesadaran masyarakat dengan mudah digiring pada phobia yang berlebihan. Padahal ada kenyataan sosio – ideologis yang lebih utama untuk diwacanakan, sebab ia sedang berkembang biak menggerogoti negeri ini dan tentunya ialebih atau minimal setara bahayanya dengan komunisme jika dikonfrotasikan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Rupa dari ideologi tersebut adalah kapitalisme dan islamisme.

Andai pun hantu komunisme mampu bangkit kembali, maka ia harus berjibaku melawan kedua ideologi besar tersebut – kapitalisme dan islamisme yang tengah menguasai tatanan masyarakat global. Bahkan Negara sekelas China yang masih mempertahankan identitas sosialismenya, faktual telah berselingkuh dengan kapitalisme dalam praktik sistem ekonominya. Mungkin kita perlu mengaminkan ramalan Fukuyama tentang akhir dari sejarah ini yang mana dimenangkan oleh rezim kapitalisme.

Selain kapitalisme, Indonesia juga sedang berada dalam cengkraman islamisme. Sekali lagi, jika kita berbicara dalam kerangka Pancasila sebagai ideologi final bagi bangsa Indonesia maka islamisme atau jamak masyarakat menyebutnya dengan radikalisme Islam pun dianggap sebagai virus bagi NKRI harga mati (price dead). Meskipun salah satu prinsip perjuangan islamisme adalah menentang neoliberalisme/kapitalisme, tetapi hal itu belum mampu mendulang suara mayoritas masyarakat islam Indonesia yang mendaku diri menganut islam Nusantara. Untuk pembahasan lebih jauh tentang poin ini, akan dibahas pada tulisan lain.

Oleh karena itu, untuk mengurangi kekhawatiran tersebut dapat diobati dengan memperbanyak membaca sejarah dan mendiskusikannya, bukan dengan membubarkan diskusi yang di dalamnya terdapat proses mencari kebenaran dan reproduksi ilmu pengetahuan. Kalaupun pemerintah dan bala tentaranya berhasil merebut kesadaran masyarakat (awam) untuk menggelar nonton bersama film G30S/PKI yang dinilai oleh sejumlah kalangan sarat akan nuansa politis dan adegan kebohongan, maka propagandakan lah film Jagal “The Act of Killing” (2013) dan Senyap “The Look of Silence” (2014) karya besutan Sineas Amerika, Joshua Oppenheimer yang berhasil meraih nominasi piala Oscar (penghargaan film bergengsi) 2016.

Sumber gambar: https://patri0tuj.deviantart.com/

 

Bahan Bacaan :

Ali Fakih, Muhammad. 2017. Biografi Lengkap Karl Marx (Pemikiran dan Pengaruhnya). Labirin.

Majalah Tempo. 2010. Tan Malaka (Bapak Republik yang Dilupakan). Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.

Ritzer, George dan Douglas J.Goldman. 2016. Teori Marxis dan Beragam teori Neo-Marxian. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

 

Internet :

http://www.idsejarah.net/2014/11/pemilihan-umum-1955.html, akses 25 September 2017

http://wawasansejarah.com/sarekat-islam/, akses 25 September 2017

https://tirto.id/mohammad-misbach-sang-haji-merah-chBV, akses 26 September 2017

http://historia.id/film/orang-orang-di-balik-penghentian-penayangan-film-pengkhianatan-g30spki, akses 26 September 2017

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160510094659-21-129620/kapan-kambuhnya-bahaya-pki/, akses 26 September 2017

https://www.voaindonesia.com/a/reaksi-sutradara-the-act-of-killing-joshua-oppenheimer-masuk-nominasi-oscar/1851030.html, akses 27 September 2017

 

Catatan Kaki:

[1]Pihak TNI – AU merasa tersudutkan oleh adanya penanyangan film G30S//PKI sebab salah satu latar yang dijadikan tempat penggarapan film tersebut adalah bandar udara Halim Perdanakusuma yang notabenenya adalah markas TNI-AU sehingga beberapa mantan perwira tinggi seperti , yakni Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Sri Mulyono Herlambang dan Marsekal TNI (Purn.) Saleh Basarahmendesak agar penayangan film tersebut diberhentikan. Lihat, orang- orang dibalik pemberhentian penayangan Film G30S/PKI, http://historia.id/film/orang-orang-di-balik-penghentian-penayangan-film-pengkhianatan-g30spki

[2] Prof Ariel Heryanto menganalisis selain isu “china”,  isu “bahaya PKI” juga dipropagandakan oleh kalangan elit untuk mendulang suara pada pilkada 2017 kemarin. Bahkan pada pemilu 2014, isu “bahaya komunis” dijadikan kampanye hitam untuk menyerang salah satu capres pada saat itu yakni Jokowi. Lihat : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160510094659-21-129620/kapan-kambuhnya-bahaya-pki/

[3]Haji Misbach pernah menyatakan “Komunisme mengajarkan untuk menentang kapitalisme, itu tercakup di dalam Islam. Saya menerangkan hal itu sebagai (seorang) muslim dan komunis.” ia menuliskan kalimat itu dalam artikel yang tayang di surat kabar Soeara Moeslimin, 1926. Artikel itu ditulis ketika ia telah yakin pentingnya nilai-nilai pembebasan yang dinilai juga paralel dengan prinsip-prinsip komunisme. Lihat :https://tirto.id/mohammad-misbach-sang-haji-merah-chBV

[4] Dalam karyanya, “ The Manifesto of the Communist Party” Marx menyebut komunisme sebagi hantu yang akan menghantui Eropa. Lihat, Ritzer & Goldman. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori  Neo- Marxian (2016)