Lamuru: Riwayatmu Dulu, Riwayatmu Kini

Lamuru dapat saya katakan sebagai kerajaan yang tenggelam!

-Ahmadi, Juru Rawat Situs Kompleks Makam Raja-Raja Lamuru-

17 Oktober 2018, kala itu senja telah menyapa Kecamatan Lamuru—salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bone—keheningan sejenak mendekap tempat tersebut, angin berhembus pelan, sejauh mata memandang, hanya ada hamparan rerumputan hijau yang dinaungi sebatang pohon yang teramat besar. Tak jauh dari tempat tersebut, dengan jarak selemparan batu membentang makam yang menghadap dari arah utara ke selatan dan berjejer dari barat ke timur. Jejeran makam itulah yang dikenal sebagai kompleks pemakamam Raja-Raja Lamuru.

Di sana, saya bertemu dengan Bapak Ahmadi, juru rawat Situs Kompleks Makam Raja-Raja Lamuru. Beliau menceritakan tentang hikayat Kerajaan Lamuru dan makam Raja-Raja Lamuru itu sendiri.

Beliau mengisahkan, bahwa Kerajaan Lamuru sendiri diperkirakan berdiri sejak Abad XVI, angka tahun pastinya belum diketahui. Kerajaan Lamuru dahulunya adalah kerajaan yang berdaulat. Hingga pada satu masa kerajaan ini diinvasi oleh Kerajaan Gowa dan menjadi bagian vasal dari kerajaan tersebut. Memasuki abad ke XVII, wilayah Kerajaan Lamuru diserahkan ke Kerajaan Bone sebagai konsekuensi pemenang dari Perang Makassar. Oleh Aru Palakka Petta MelampeE GemmEna menyerahkan Kerajaan Lamuru ke Kerajaan Soppeng.

Memasuki fase abad ke XVIII, terjadi peristiwa pembunuhan Datu Lamuru oleh Datu Soppeng yang berkuasa kala itu. Peristiwa tersebut membuat hubungan antara Kerajaan Lamuru dan Kerajaan Soppeng menjadi renggang. Hingga pada akhirnya Kerajaan Lamuru memutuskan untuk menjadi bagian dari Kerajaan Bone. Olehnya itulah, di kemudian hari wilayah Lamuru menjadi salah satu bagian dari kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bone.

Informasi mengenai Kerajaan Lamuru dapat dikatakan sangat minim. Hal ini dikarenakan—hingga kini—tak ditemukannya bekas istana kerajaan atau keraton, tidak seperti di [bekas] Kerajaan Bone yang masih dapat ditemukan istana kerajaannya—kini menjadi Museum Lappawawoi Karaeng Sigeri—yang terletak di Kota Wattampone, atau di [bekas] Kerajaan Gowa yang istana kerajaannya masih dapat ditemukan—kini menjadi Museum Balla Lompoa—yang terletak di Kota Sungguminasa.

Kembali pada persoalan Kompleks Makam Raja-Raja Lamuru. Dalam kompleks ini kan ditemukan beberapa makam yang unik, makam tersebut tidak seperti makam yang biasa ditemukan. Makam tersebut berbentuk bangunan berundak-undak, menurut penuturan Bapak Ahmadi, juru rawat situs, bangunan berundak-undak tersebut berfungsi sebagai pembungkus dari pusara yang terdapat di bagian bawahnya. Tujuan dari dibungkusnya pusara tersebut selain untuk melindungi dari perbuatan tangan-tangan jahil dan gangguan binatang, juga memiliki suatu “makna simbolik”. Biasanya, makam yang memiliki pembungkus berusia sangat tua.

Lebih lanjut, Pak Ahmadi menjelaskan bahwa di kompleks makam Raja-Raja Lamuru juga ditemukan beberapa makam pembesar-pembesar Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Setidaknya ada dua nama yang dapat disebutkan, pertama Tobila Jennang Bone (ada beberapa sumber mengatakan Tobala Jennang Bone), dan Pabicara Butta Gowa.

Di dalam kompleks makam Raja-Raja Lamuru, terdapat satu makam yang sering dikunjungi oleh peziarah, makam tersebut merupakan Datu—sebutan untuk raja—Lamuru yang ke IX beranama Retna Kencana Arung Pancana Toa Colliq Pujie atau yang lebih dikenal dengan sebutan Colliq Pujie. Colliq Pujie inilah yang dikenal sebagai penghimpun naskah-naskah tua Lagaligo, bersama B.F.Matthes, Misionaris dan Oriantalis Belanda, mereka memasuki hutan, menyusuri lembah, dan mendaki perbukitan di daerah pedalaman untuk mencari dan menghimpun naskah tersebut.

Dapat dikatakan, Colliq Pujie berhasil merawat dan menyelamatkan ingatan kolektif dan warisan budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Untuk sekadar diketahui, Colliq Pujie adalah seorang perempuan yang menjadi penguasa di Tanete—salah satu kerajaan yang terdapat di daerah Barru sekarang.

Perlahan matahari mulai terbenam di ufuk barat, Pak Ahmadi mengakhiri penjelasannya tentang Kerajaan Lamuru, sedang saya sendiri dan rombongan pamit dengan membawa sebongkah pengetahuan tentang Kerajaan Lamuru—sebuah kerajaan kecil yang narasi sejarahnya tenggelam di antara kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan.

Lamuru 17 Oktober 2018
Makassar 22 Oktober 2018

  • Meniti dengan Sabar Sore ini tak ditemani senja merona saga, sebab kabut hitam pekat tak hentinya mengerubuti cerlangnya. Aku tertatih menapaki jalan-jalan setapak menuju puncak kebajikan yang masih jauh di pucuk angan-angan, terhalau ego membatu. Padahal, pelbagai cara telah kurajut menuju cahaya di balik kabut pekat itu. Namun langkahku masihlah tertatih terhalau berupa-rupa ranjau yang…

  • Kebisuan Kita Kebisuan kita dieja oleh kata-kata yang habis ditikam diam Direkam oleh senyap Diabadikan kenangan   Kebisuan kita dibaca oleh surat-surat tak sampai Cerita-cerita yang urung dan pertanyaan-pertanyaan yang selalu gagal melewati garis lintang lidah   Kebisuan kita ditulis dalam lembar-lembar hari Hariku dan harimu yang terpisah Didaras pada tengah malam buta oleh rindu…

  • Ini hanya peristiwa rutin, yang saya nyaris lakukan saban pagi, bila hendak pergi ke tempat kerja, berbekal sebotol kopi. Sekali waktu, saya menuangkan kopi dari panci bergagang ke dalam botol bekas sirup, dalam posisi ketinggian botol, hampir sejajar dengan dada saya. Kesulitanlah saya, sebab selain harus meninggikan posisi tangan, juga kerepotan dengan mulut botol yang…

  • Suatu pagi saya menyeruput secangkir kopi, saya larut dalam kenikmatan. Entah sejak kapan saya mulai menjadi penikmat kopi dan untuk apa meminumnya. Kopi racikan saya mungkin tidak akan pernah senikmat racikan seorang Ben yang diperankan Chicco Jerikho dalam film Filosofi Kopi. Sebuah film yang diangkat dari novel Dewi Lestari. Tapi satu hal yang sama, saya…

  • Kampus adalah medan perang, yakni memerangi kebodohan untuk mewujudkan mahasiswa yang cemerlang, dan generasi yang memiliki ciri intelektualitas tinggi. Jika sebagai prajurit di medan laga peperangan anggota militer, senjata yang digunakan adalah pistol, senapan, dan senjata api lainnya, untuk menegakkan keamanan rakyat, maka sudah selayaknya seorang mahasiswa menjadikan buku, pena, dan laptop sebagai senjata untuk…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221