Pelantang masjid memerdukan ayat-ayat suci. Disusul azan, penanda waktu salat Asar tiba. Setelah tunaikan kewajiban penghambaan, sebagai tanda syukur pada Yang Mahakasih, saya meninggalkan tempat membajak nafkah, menuju satu tempat persilatan pikiran, di kisaran Tamalanrea, Makassar. Persisnya di Sekala Kafe, Kompleks Perumahan BTN Asal Mula.
Oleh yang punya hajatan, saya diberi alamat lokasi, sebab saya baru tahu nama kafe itu. Lewat aplikasi pencarian lokasi yang dikirimkan, saya menyerahkan sepenuhnya pada tuntunan mesin produk kecerdasan buatan itu. Alamak, saya berputar-putar di sekitar lokasi, bahkan ada jalan yang dua kali saya jalani. Hingga akhirnya, sua juga tempat itu. Barulah saya tahu, kalau saja saya menempuh jalan tanpa campur tangan aplikasi, lebih mudah dapatnya.
Cukup di sini saja memperkarakan ketersesatan mencari lokasi. Lebih elok memperkarakan apa yang bakal dipercakapkan pada perbalahan ide. Tajuk acaranya terbilang menggoda, bagi yang suka menyambut kelahiran satu hasil persetubuhan jiwa. “Peluncuran dan Diskusi Buku Anti Demagog”, demikian bunyi undangannya ke publik.
Sawala buku tersebut digeledah oleh Aslan Abidin dan Idham Malik, selaku pembedah. Tentu tak lupa pula menghadirkan sang penulis, Asratillah Senge. Penyelenggaranya, sekaum anak muda dari penerbit Subaltern. Saya tiba di helatan, para pembicara sudah hadir. Saya pun tidak tergolong telat, meskipun tersesat. Basa-basi, sapa sana-sini, dan tebar senyum pada khayalak, mengantar situasi memasuki perbalahan buku.
Oleh moderator, seorang perempuan muda, Mardiana, menyapa sekotah penghadir. Pengantar singkat akan maksud acara pun didedahkan. Sedikit ulasan atas buku itu dikedepankan. Arkian, tibalah pembicara pertama, Aslan Abidin melantangkan pikirannya. Rupanya, Aslan juga bertindak sebagai penulis prolog di buku Anti Demagog, anggitan Asratillah ini. Sehingga, sajian pikirannya, kembali menajamkan apa yang dituliskan sebelumnya.
Tanpa tedeng aling-aling, Aslan langsung tancap gas dalam menohokkan argumennya. Diulaskannya, bahwa yang paling menentukan damai dan rusuhnya negeri ini, ada tiga kaum. Politisi, agamawan, dan siluman. Ditandaskannya tentang siluman, merupakan hasil gabungan bolak-balik dari politisi menyamar agamawan menyuruk politisi.
Lebih khusyuk Aslan menegaskan, ketiga kaum tersebut berkelindan secara rumit dalam nafsu kepentingan untuk berkuasa. Kelompok yang sudah berkuasa, akan sekuat tenaga mempertahankan kekuasaannya, dan pengincar kekuasaan menggunakan segala cara untuk merampas kekuasaan. Adapun proses berhasil atau gagal berkuasa, ditentukan oleh rakyat yang memilih.
Penggunaan segala cara beraneka bentuknya, terutama dalam soal berbicara. Mereka membujuk, membual, dan mencela. Tidak cukup sampai di situ, mereka pun memaki, berbohong, dan memfitnah. Lakunya juga tak tanggung-tanggung, mereka melakukan propaganda, berjanji, dan mengancam.
Bicara dan laku mereka, sepertinya belum lengkap. Sebab, mereka juga memelihara pendukung, begundal, dan antek-antek. Mereka ini, kadang lebih galak. Mereka bisa memfitnah dan memaki di media sosial, hingga bergerombol turun berteriak dan membuat kerusuhan di jalanan.
Sekotah karakter tersebut, yang melekat pada kaum banyak bicara dan bertingkah seenaknya, agar dianggap layak menjadi penguasa, Aslan menyebutnya sebagai bani demagog. Kata demagog berasal dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat, dan agogos merujuk pada penguasa yang lihai menghasut. Bani demagog, menggunakan segala kelicikan berbicara untuk mengendalikan rakyat, hingga kemudian memakai kekerasan untuk berkuasa.
Sajian selaksa ungkapan Aslan, bagai umpan yang langsung disambar oleh Idham Malik, sebagai pembicara berikutnya. Idham sendiri ikut mengulik isi buku secara keselurahan, dengan beragam tema yang disodorkan. Mulai dari politik, agama, budaya, sosial, hingga aspek bidang kehidupan lain. Tutur-tutur Idham pun, tidak bisa dilepaskan dari tulisannya, sebagai pengunci buku ini, sebab Idham tiada lain, ikut juga menorehkan epilognya untuk buku Asratillah.
Idham mendaku amat dekat dengan sosok Asratillah. Karenanya ia berujar, “Hal menarik dari Asratillah, upaya dia mendamaikan narasi-narasi besar di kepalanya, dengan kondisi faktual praktik kehidupan di dunia, termasuk di dalamnya praktik politik dan kebudayaan.”
Lebih jauh Idham memandang Asratillah sebagai seorang teoretikus-akademisi, entah itu filsafat, sosial, budaya, dan ekonomi. Namun, ia tidak segan-segan untuk bermain-main di arena politik praktis. Kiprahnya sebagai pengurus inti dari satu partai politik, dan pernah mencalonkan diri sebagai caleg, menegaskan kediriannya.
Karenanya, menurut Idham, keterlibatan Asratillah pada tubuh politik, dapat memberi nuansa atau semacam pembelajaran dari dalam, sehingga dapat mengangkat politik praktis tidak semata-mata berburu kekuasaan, memperkaya diri, tapi juga mengorientasikan politik sebagai praktik untuk pengelolaan kekuasaan, buat mengangkat derajat kemanusiaan dan kesejahteraan bersama.
Sodoran dan paparan pikiran dari Aslan dan Idham, segera disambut oleh Asratillah, tatkala tiba giliran menjelaskan bukunya. Selain ia mendedahkan proses kreatif dari puluhan esai, yang kemudian diikat dalam satu buku berjudul, Anti Demagog, ia juga benderangkan maksud dari antidemagog.
Lahirnya tawaran gagasan antidemagog, sebagaimana Asratillah memastikan dalam salah satu esainya, sekaligus menjadi judul buku, berlatar pada perjumpaannya atas satu kata dalam Al-Quran, pada surah An-Nisa Ayat 60. Dalam ayat tersebut terdapat istilah Thogut. Inilah yang mengilhami Asratillah, menyepadankan dengan istilah demagog.
Bagi Asratillah, Thogut dipantaskan pada sosok tiran. Bagaimana bentuk kontemporernya? Para demagog, termasuk kaum oligarki. Lalu, seperti apa rupa demagog? Setiap orang, elit kekuasaan, dan kelompok yang menjadikan diskursus identitas primordial, terutama agama, sebagai instrumen dalam mencapai tujuan-tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang.
Dari lapik soal inilah, sesungguhnya Asratillah memperkarakan demagog dengan menawarkan satu gagasan “Fikih Anti Demagog”. Meskipun begitu, Asratillah segera menempatkan diri pada ketidakmampuan merumuskan fikih tersebut. Namun, ia tetap menawarkan fitur-fitur alas gagasan, sebagai pijakan bangunan konsepsi produk hukum Islam. Dan, ia cukup lantip menerangkan maksudnya, dalam satu esai di buku setebal 221 halaman ini.
Kendali perbalahan kembali pada moderator sawala buku. Ditawarkanlah kepada para penghadir agar memberikan respons terhadap percakapan lantip ini. Sebagai salah seorang penghadir, saya mengajukan diri untuk memberikan tanggapan. Saya hanya bermaksud mendefinitkan posisi Asratillah saja, dalam wacana demagog ke antidemagog.
Selaku seorang akademisi, politikus, dan agamawan, apakah tidak terganggu dengan istilah siluman atau demagog, tohokan Aslan? Kira-kira begitu ringkasan tanggapan saya pada panelis, khususnya Asratillah sebagai penganggit buku. Dengan santai dan elegan, Asratillah menegaskan, bahwa keterlibatannya dalam politik praktis, di samping punya harapan besar pada bergulirnya wacana antidemagog, paling tidak, ia juga bisa memengaruhi percakapan sehari-hari para politikus, agar tidak larut dalam terungku tema demagog.
Ah, senja makin ranum, sekira pukul 17.00 WITA, bertanggal 27 November 2020. Moderator menutup hajatan sawala buku. Suasana menjadi cair. Lanjut obrolan bebas. Rupanya, makin seru, seolah tiada ujungnya percakapan. Estafet waktu bergulir. Malam mulai merintis safarnya. Saya pamit pulang pada para panelis. Maklum, ada mata acara lain yang rencana saya ikuti.
Kala pulang ke mukim, saya tidak lagi melewati jalan menyesatkan itu. Aplikasi kecerdasan buatan sebagai pemandu arah saya tampik. Saya lebih percaya diri pada jalan pulang yang sudah saya kenali. Bagai jalan yang ditempuh Asratillah, dengan tawaran berpegang teguh pada mantra “Anti Demagog”. Demi tuntasnya perkara demagog.