Sehari sebelum peringatan hari jadi ke-766, Kabupaten Bantaeng, jatuh pada hari Senin, 7 Desember 2020, aku menjalani rutinitas pagi di akhir pekan, bersepeda, menyusuri beberapa sudut kota. Baru saja beberapa kayuh, ponselku berdering, penanda ada pesan masuk. Aku berhenti sejenak, membaca pesan itu.
Ternyata, satu rangkaian pesan dari Daeng Litere. Tulisan pesan itu, nyaris aku hafal, sebab sekadar mengirimkan satu puisi berjudul, “Bantaeng”, yang dicomotnya dari buku sehimpun puisiku, AirMataDarah, terbit 2017. Aku tarik napas panjang sejenak, sembari membatin, apa erona issede Daeng Litere?
Laju sepeda kukayuh ke arah Pantai Seruni Bantaeng. Namun, sebelum sampai di sana, kubelokkan dulu sepedaku ke pasar lama, mampir menemui langganan kue buroncong, sejenis peganan tradisional. Cukup membeli lima ribu rupiah, sudah memadai buat menemani santaiku di salah satu gazebo, yang langsung menghadap ke laut.
Setenteng pelabur, berupa kue buroncong, sebotol kopi nirgula, dan sebuah buku bergizi tinggi buat jiwa, aku mulai melarutkan diri dalam pusaran waktu. Hampir sejam kemudian, aku teringat kembali pada japri dari Daeng Litere. Aku tertegun kembali, tatkala mengeja puisiku itu. Tak mengapalah jika kutorehkan ulang.
Butta Toa julukanmu di masa silam // adamu sudah 759 tahun // tapi kemanakah kami melacak ketuaanmu? // sebagai alamat kematangan jiwa?
The New Bantaeng jargonmu // Bantaeng baru sloganmu di waktu kiwari // banyak yang baru // tapi apa guna kemasan baru // jikalau insan kerdil yang melata di atasnya?
Jujur, bait-bait yang kudedahkan beberapa waktu silam, tetap menggelisahkanku hingga kini. Semestinya, aku sudah lupa pada tanya-gugat itu. Namun, karena ulah Daeng Litere, seolah memanaskan kembali nasi yang sudah dingin, sehingga tetap enak disantap. Apatah lagi, manakala disantap dalam rangka peringatan hari jadi Bantaeng.
Kuputuskan mengajak Daeng Litere untuk mempercakapkan puisiku, reken-reken sebagai cara mudah dan murah menyayangi tanah tumpah darahku, negeri yang kucintai raga dan jiwanya. Olehnya, kujapri Daeng Litere, agar merapat ke Pantai Seruni saja. Kutanyakan maksud pesannya.
Dan, tidak lama kemudian ia balas, “Tungguma di situ, adaji kopi dan teman-temanna?”
“Sebaiknya, bawako kopi sendiri. Jangan lupa surang dumpinna”, begitu tulisan balasanku.
Sekira seperempat jam kemudian, Daeng Litere sudah menyata di depanku. Tak kurasa hadirnya, sebab ia berjalan dari area parkir kendaraan. Motornya ia parkir di tempat yang telah ditentukan. Pasalnya, di Pantai Seruni, cukup tertib, tak boleh parkir sembarangan, apalagi di dekat gazebo. Kecuali, kendaran semacam sepedaku, tak mengapa. Petugas dari Satpol PP menoleransi.
Berdepan-depanlah aku dengan Daeng Litere. Laiknya guru-murid, terkadang bertukar posisi. Kadang aku seperti gurunya, tapi dalam sekejap ia sudah mengguruiku. Orang-orang tertentu, cukup bingung menilai pola interaksi aku dan Daeng Litere. Definitnya, kami dua sejoli, bagai dua sisi mata uang. Nilainya ditentukan oleh sisi satu dan lainnya.
Persilatan pikiran pun dimulai. Daeng Litere lebih dulu mengajukan semacam tanya, tentang apa maksud bait-bait di paragraf pertama puisi itu? Aku pun langsung menimpali, bahwa tak elok seorang pensyair menafsirkan sendiri syairnya. Terlebih lagi kalau memutlakkan maksud syairnya.
“Berarti, kau setuju dengan Roland Barthes yang menyatakan seorang pengarang telah mati, setelah teks-teksnya dipublikasikan?” demikian Daeng Litere menohokkan jurusnya.
“Yoi, boleh ya boleh juga tidak”, aku menangkis serangannya. Sembari memberi tahu, sebaiknya ia mendaras satu buku berjudul, Pengarang tidak Mati, anggitan Maman S. Mahayana. Buku itu semacam tanggapan atas gagasan Barthes.
“Boleh dijelaskan lebih jauh isi buku Maman itu?” Daeng Litere memohon.
“Oh, no..no..no, bukan momennya kali ini. Lain waktu kita bersuntuk ria dengan pergulatan intelektual itu,” tuturku.
Daeng Litere terdiam. Entah apa yang melintas-lintas di pikirannya. Aku pun jeda sejenak tak bicara. Setelahnya, barulah saya mencoba memenuhi permintaannya. Bahwasanya, bait-bait puisi itu, bermaksud mengajukan serupa gugatan dalam bentuk tanya retorik. Mengapa? Sebab aku menilai, Bantaeng yang dijuluki Butta Toa, tanah yang sudah tua, tapi sulit menemukan kematangan jiwa di penghuni negerinya, ketika memandu peradaban negeri.
Bayangkan saja, negeri Butta Toa ini, sudah berusia 766 tahun. Itu jika rujukannya, ditaksir sekitar adanya konsepsi To Manurung, sebagai patokan mula adanya Kerajaan Bantaeng. Padahal, jejak-jejak peradaban di Bantaeng, jauh sebelum itu sudah ada, sekira 4700 tahun silam, Orang Toala, sudah menghuni Bantaeng, dan pergi karena terdesak oleh orang dari Ras Austronesia.
Dari Ras Austronesia inilah, kehidupan berlanjut hingga sekarang. Coba resapi, bagaimana panjangnya rentang waktu orang-orang Bantaeng mencicil budayanya, sehingga terakumulasi dalam peradabannya. Pelajaran penting bisa diselami tatkala Orang Toala menubuhkan pola hidupnya selama kurang lebih 2000 tahun, lalu terdesak, karena ada budaya baru. Aku hanya ingin merekomendasikan satu buku hasil riset dari Balar Sul-Sel, Butta Toa: Jejak Arkeologi Budaya Toala, Logam, dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng, untuk Daeng Litere eja.
Begitupun juga, warisan dari sejak terbentuknya Kerajaan Bantaeng, masuk era kolonialisme, masa kemerdekaan, dan ketika sudah menjadi kabupaten. Sungguh, sebongkah tabungan peradaban yang layak dirujuk untuk mematangkan jiwa anak negeri dalam mengawal negerinya. Aku kembali menyarankan, agar supaya Daeng Litere tidak penasaran, sebaiknya mendaras beberapa buku lagi.
Seolah Daeng Litere terpesona dengan ujar-ujarku. Dalam pesona itulah, aku sodorkan tanya padanya. Ia terkejut, padahal bukanlah semacam serangan balik. Aku hanya minta tolong, agar memberikan tanggapan terhadap bait-bait dari puisiku di paragraf kedua.
“Sebenarnya, aku termasuk orang yang tersinggung. Sepertinya saya tergolong orang melata yang kerdil jiwanya,” ucap Daeng Litere.
“Ah, sudahlah. Pokoknya apa tanggapanmu terhadap paragraf kedua itu,” aku setengah memaksa.
Daeng Litere kemudian mengarahkan pandangannya pada bibir pantai. Lalu menerawang ke Laut Flores. Tampaknya ia seperti berdendang, mengingatkanku pada tradisi tutur orang terdahulu, semacam royong. Aku diam saja, khusyuk sehening mungkin. Aku mulai merasakan keanehan, ombak yang mengecup pantai, berirama laiknya musik peneduh jiwa.
Aku membiarkan Daeng Litere mendedahkan tafsirannya. Aku tidak akan menyela. Ia pun bersenandung. Disebutnya satu persatu penanda kebaruan Bantaeng, sebagai bukti slogan The New Bantaeng, di era kepemimpinan Nurdin Abdullah sebagai Bupati Bantaeng dua periode. Ia memuji keberhasilan dalam membangun raganya Bantaeng. Pembangunan infrastruktur sebagai indikator pembangunan yang disukai penduduk negeri.
Setelah Daeng Litere menderetkan prestasi pembangunan infrastruktur, sebagai tanda adanya pembangunan di bidang raga, kayaknya, ia tercekat, pertanyaan insan kerdil yang melata itu, tetap menghantuinya. Dan, itu pula yang mengakhiri royong-nya. Aku juga ikut tersadar, tapi aku dan dia, jeda bercakap. Diam sediam-diamnya. Lamat-lamat hempasan ombak mereda. Ombak ikut juga tenang. Kopi nyaris tandas. Kue-kue tinggal dua biji.
Sebelum dua biji kue dan kopi habis, Daeng Litere menyahut, “Lalu bagaimana dengan kondisi kiwari Bantaeng?”
“Kiwari, Bantaeng dipandu oleh Ilham Azikin sebagai bupati. Baru jalan tahun kedua. Ia menancapkan satu jargon, ‘Bantaeng Baik’, apa pendapatmu?” aku balik bertanya.
“Di mana kebaikannya?” tanya Daeng Litere.
Posisi duduk yang semulanya bersila, aku ubah. Kaki kuselonjorkan, biar lebih santai memahami pertanyaan Daeng Litere. Aku tidak menjawab langsung pertanyaannya. Cuman aku membatin. Bahwa pilihan Ilham Azikin sebagai konsentrasi programnya, berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia. Satu orientasi program yang tergolong berani. Ini semacam perjudian. Sebab, mengukur keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia, tidak sama mudahnya mengukur pembangunan infrastruktur.
Dampak ideal dari pembangunan sumberdaya manusia, nanti bisa terlihat pada generasi berikutnya. Apatah lagi, jika ada yang secara serampangan memperbandingkan yang tidak searea. Ibaratnya, memperbandingkan prestasi juara Liga Spanyol dan Liga Inggris. Kedua liga itu, masing-masing punya dinamika. Klub yang juara di liga masing-masing, harus dinilai pada dinamika liga itu.
Demikian pula, tak elok mempertandingkan antara pilihan orientasi program yang ditawarkan secara berbeda, tapi dihukumi dengan seragam. Maksudku, tak adil menilai prestasi pembangunan infrastruktur, dengan menghakimi kualitas sumberdayanya. Begitupun sebaliknya, tidak tepat mengukur orientasi pembangunan sumberdaya manusia dengan menagih pembangunan infrastruktur. Raga ya raga, jiwa ya jiwa.
Sadarlah aku dari pembatinanku, sesudah Daeng Litere menepuk ujung kakiku. Lalu, ia bertanya, “Apa yang anda pikirkan?”
“Kamu kayak facebook saja cara bertanyamu,” aku menimpali.
Kalau pertanyaan yang sama kuajukan padamu, apa jawabmu?
“Aku masih memikirkan Butta Toa ini, Bantaeng yang aku cintai sepenuh jiwa ragaku, yang pengurus negerinya diterungku oleh pagebluk jahanam, pandemi Covid-19,” jawab Daeng Litere.
“Dan, pengurus negeri yang berjibaku menghadapi pagebluk, terutama dampaknya, pun merupakan kebaikan yang tiada tara,” kusambar ungkapan Daeng Litere.
Sambil jalan bersama, sepeda kutuntun bersama Daeng Litere, meninggalkan gazebo menuju tempat parkir motor. Kami membatin bersama, betapa sulitnya apa yang sementara dihadapi pengurus negeriku ini. Baru saja berbenah untuk mengurus sumberdaya manusianya, sudah dihantam pagebluk. Sekotah program direposisi pelaksanaannya. Dan, itu amat menyulitkan. Bagiku, ini semacam imunisasi buat pengurus negeriku. Mungkin Daeng Litere setuju dengan kata batinku.
Bahkan, lebih menyulitkan lagi. Sebab, saat peringatan hari jadi ke-766 Bantaeng, Bupati Bantaeng, Ilham Azikin dan beberapa aparatusnya, terkonfirmasi sebagai positif disinggahi Covid-19. Sehingga, harus isolasi mandiri. Kuatlah pengurus negeriku. Dan, sekotah penghuni negeriku, rawatlah negeri yang sudah cukup tua, pertahankan kebaruannya, dan tebarkanlah kebaikan buat sesama.