Sungguh, sari dirinya, ia seorang ustaz. Artinya, sosok pendakwah, penganjur kebaikan. Oleh warga, ia amat disenangi. Pasalnya, sederet keperluan warga sering dipenuhinya. Utamanya, berkaitan dengan perkara keagamaan. Semisal, mengajar anak-anak baca Al-Qur’an, cekatan mengurus kematian-takziah, mengonsolidasi warga yang mau berkurban, dan menjadi imam salat-khatib.
Belakangan, muncul resistansi dalam bermasyarakat. Saya mulai mengingat pemicunya. Soal hajatan politik. Apalagi kalau bukan soal pilpres. Ia memilih pasangan Prabowo-Sandi. Dan, ia amat militan memperjuangkan pilihan politiknya.
Sekali waktu, saya terlibat percakapan dengannya. Tahulah saya kemudian, pilihan politiknya dilapikkan pada pertimbangan agama. Diyakininya, duet Prabowo-Sandi, lebih bisa memperjuangkan nasib umat Islam, tinimbang pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Sekumpulan alasan pendukung ia ajukan ke saya. Meskipun saya menilai, argumen-argumen itu lebih berbau hoax dan fake news, berenang di antara urita bohong dan berita palsu. Sama halnya dengan pendukung Jokowi-Ma’ruf yang menemui saya, nyaris sama saja. Sehingga, kala itu, saya sering membatin, inilah pertempuran yang bermuara pada hate speech, senyata ujar kebencian.
Hajatan politik usai. Jokowi-Ma’ruf menjadi presiden dan wakil presiden. Namun, ketidakrelaan sang ustaz, mulai menjangkitinya. Ia selalu menganggap pemerintahan hasil pilpres, sebagai rezim despotik anti-Islam, malah pro komunis. Keyakinannya pada hoax dan fake news tempo hari, semakin menguat. Berlakulah hukum, meskipun itu bohong bin palsu, jika diinjeksikan secara konsisten dan persisten, maka bisa menjadi benar dan asli.
Makin ke belakang, makin menjadi-jadi. Perkaranya, ketika pandemi Covid-19 menyerbu. Ia tidak pernah meyakini keberadaan virus ini. Dikatakannya, pandemi global sebagai rekayasa musuh-musuh Islam. Pemerintah pun setali tiga uang, terlibat konspirasi penghancuran umat Islam. Didedahkannya beberapa peristiwa sebagai bukti. Paling beken, penutupan masjid dan hari raya di rumah masing-masing.
Waima saat ini masjid sudah dibuka, tapi ia masih saja protes. Terutama saat salat pakai masker dan penjarakan saf. Menurutnya, ini adalah pekerjaan orang Yahudi. Bahkan, tegel masjid yang dipasangi tanda silang, sebagai penanda jarak saf, ia anggap sebagai tanda salib. Sehingga, jemaah masjid bersujud di salib.
Puncaknya, tatkala ada bom meledak di depan salah satu gereja, di Kota Makassar, ia menulis status di medsosnya, sebagai rekayasa polisi. Lalu menuding sebagai perbuatan PKI gaya milenial. Eh, hampir luput, beberapa waktu lalu, ia berceramah di salah satu masjid, ia diturunkan dari mimbar. Penyebabnya, ujar kebencian terlontar dari mulutnya, sehingga jemaah masjid bertindak di luar kewajaran.
Ia mulai pro aktif memprovokasi jemaah masjid. Baik di dunia nyata, terlebih di jagat maya. Grup WA pengurus masjid, tempat ia bergabung, unggahannya nyaris berisi provokasi. Khususnya, soal masker dan jarak saf. Anggota grup mulai resah. Semula jemaah masjid memakluminya. Beberapa orang mengingatkannya, termasuk pihak Kantibmas, memohon agar lebih guyub dalam bermedsos. Namun, ia tak mengindahkannya. Seolah-olah ia merasa pintar, tapi tidak pintar merasa. Pucuknya, ketua masjid bertindak tegas. Mengeluarkan dari grup. Jemaah grup mengamininya.
Sebagai jemaah masjid, saya amat prihatin. Bukan karena dikeluarkan dari grup, tetapi perubahan sang ustaz dari seorang pendakwah menjadi pendakwa. Ia mendakwa siapa saja yang tidak sejalan dengan pendapatnya, sebagai orang yang salah, cenderung mengikuti keinginan orang kafir. Singkatnya, mendakwa seseorang sebagai sesat dan mengikuti orang kafir, serupa jihad.
Bagai dihidu ilham, keprihatinan saya menemukan secercah argumen penjelas. Saya berjumpa dengan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A, lewat bukunya, berjudul Jihad Melawan Religious Hate Speech. Satu hal yang ingin saya dapatkan dari pendarasan buku ini, mengapa seseorang bisa jatuh pada ujar kebencian berlatar agama. Berubahnya seorang pendakwah menjadi pendakwa.
Lewat tarian kalamnya, Nasaruddin Umar menabalkan, hate speech (ujar kebencian) lebih banyak diartikan, sebagai ungkapan dan siar kebencian yang dialamatkan kepada orang perorangan, kelompok, atau lembaga berdasarkan agama, kepercayaan, aliran, etnis, ras, golongan, gender, orientasi seksual, dll., yang dapat memancing kemarahan publik. Bentuk-bentuk ujar kebencian itu, dapat berupa statement, tulisan, gambar, video, dan karikatur.
Lalu, dari hate speech ini, bisa bergeser lebih dalam menjadi religious hate speech, sejenis ungkapan kebencian berlatar belakang agama, kepercayaan, aliran, mazhab, sekte, dan atribut keagamaan lainnya. Perilaku ini, memungkinkan dilakukan oleh siapa pun dan kepada siapa pun.
Lebih khusyuk sang Imam Besar menegaskan, ujaran kebencian yang dilakukan sekelompok muslim kepada kelompok muslim lainnya, seringkali lebih berbahaya dibanding oleh sekelompok non-muslim. Mengapa? Posisi mayoritas muslim di negeri ini, meminimalkan non-muslim akan melakukan secara terbuka.
Namun, terkadang minoritas kelompok muslim, bisa saja lebih gencar menyerang kelompok mayoritas muslim, mainstream. Media penyebaran paling jitu, lewat perangkat digital, aneka media sosial. Bukan berarti medium lain tidak efektif, melainkan akan sangat efektif, manakala menemukan mimbar-mimbar masjid.
Apa yang dilakukan oleh sang ustaz, seperti di mula tulisan ini, boleh jadi sudah merupakan contoh nyata dari sosok pendakwah, tapi lebih berwajah pendakwa. Ia telah diterungku oleh religious hate speech, sejenis telikungan ujar kebencian berlapik agama. Menjadikan agama sebagai dasar membenci orang lain. Di mimbar masjid, ia jadikan mulut bak harimau. Di group medsos masjid, ia mainkan jejari bagai pisau.
Padahal, seperti ungkapan Nadirsah Hosen, punya semangat dakwah itu bagus, tapi dakwah itu bukan mendakwa. Tugas pendakwah itu hanya menyampaikan bukan menginvestigasi, dan menyelidiki, atau mengorek-ngorek yang ujung-ujungnya menghakimi. Pegangan dai itu ada dalam slogan: “Nahnu du’at wa lasna qudhat.” Maknanya, kami dai, bukan hakim.
Sungguh, sang ustaz seorang pendakwah, tapi jika jadi pendakwa: terlalu.
Ilustrasi: mediaindonesia.com