Dari Rimba Fakfak hingga Mendirikan Media

“Sebuah mimpi takkan pernah jadi nyata karena sihir,

dibutuhkan keringat, tekad, dan kerja keras.”

Colin Powell.

Lelaki itu berbaring di kursi sofa kuning yang mulai lusuh. Matanya terpejam. Kaos oblong dan celana pendek membalut sebagian besar tubuhnya. Ia terbangun setelah tiga kali saya memanggilnya dari pintu utama rumah. Jarak pintu ke kursi sofa di pojok kiri ruangan panjang itu hanya satu langkah orang dewasa. Kami berdua duduk di kursi, berhadapan. Di atas meja meubelir yang membatasi kami, ada sepotong kue, kopi susu dalam gelas kaca kecil masih setengah, dan tisu. Seorang perempuan berbusana muslimah nampak sibuk. Di dalam tiga bilik, suara beberapa lak-laki terdengar jelas sedang melakukan sesuatu, dan sejurus kemudian mereka keluar. Seorang di antara mereka yang sudah tau takaran kopiku, ingin meraciknya. 

Tapi, teks dalam desain baliho merah yang terpampang di dinding menghadap pintu utama itu benar-benar menyita perhatianku. Di sana tertulis: “Media Brindo Grup, Meeting Room brindonews.com, potretmalut.com, jelajahmalut.com.” Munawir Yakub –akrab disapa Nawir, Koches, Ches yang kutemui malam itu (3/12/2021) hanya tersenyum membalas sanjunganku atas kesuksesannya mendirikan tiga media. Si perempuan berhijab meletakkan di depanku secangkir kopi hitam tak pahit yang ia buat sendiri. Dia sopan sekali, ceria pula. ”Wartawan baru di sini,”sahut Ches, sejurus kemudian mengajakku pindah ke ruang kerjanya yang baru selesai dipermak. Di atas meja sudut kanan, ada novel Simon Toyne, Sanctus;  Kelopak-kelopak Jiwa karya Kahlil Gibran; Buku Saku Wartawan dari Dewan Pers; dan buku Literary Journalism. 

Kurun waktu lima tahun mendirikan tiga media online, bagi saya bukan sesuatu yang mudah karena tak cukup hanya andalkan ide, uang, dan pengalaman. Melainkan pula tekad, keberanian, tahan rasa sakit,  manajemen, dan strategi. Cara Ches bereksistensi kini berebeda dengan dulu.

Sulung dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki itu, lahir pada 15 Januari 1988 di Desa Tawa, Kasiruta Timur, Halmahera Selatan. Ibundanya, Aia S. Basrah seorang ibu rumah tangga, ayahnya Yakub H. Hakim, bukan petani “berdasi” yang mengolah pohon sagu—orang Maluku Utara menyebutnya “bahalo sagu,” untuk mengasapi dapur. Ches belia diajari ayahnya bagimana menanam pohon pala, cengkeh, dan kelapa hingga tamat sekolah dasar. “Ayah saya menggali tanah, saya yang memasukkan tanaman-tanaman itu di dalamnya. Jadi saya punya kebun,”Ches tersenyum mengenang sembari menunjukkan kedua tangannya kepadaku. Kopi susu yang sudah setengah ia teguk lagi.

Sekalipun begitu kondisi orangtuanya, ia ingin terus sekolah. Dengan sedikit keberanian yang digenggam, anak “nakal” ini hijrah ke Ternate. Di Kota kecil ini, sekolah sambil menjadi buruh di Pasar Gamalama ia lakoni selama enam tahun. Tapi lembaran sekolahnya tidak menggembirakan. Terbuai dengan uang yang diperolehnya dari peluh di Pasar itu, alpanya menumpuk di  SMP Negeri 5, Ternate. Lalu pindah dan tamatkan pendidikan di SMP Negeri 2, Bacan, Halmahera Selatan. Kemudian, diterima di SMA Negeri 4, Ternate. Karena masih seperti di SMP, Ches menuntaskan pendidikan di SMA Alkhairaat, Siko, Ternate. Itupun ujian pertama tak lulus, beruntung ada kebijakan pemerintah ketika itu: siswa yang tak lulus ujian bisa mengulang. Ia pun selamat. “Saya sekolah di dua SMP, dan dua SMA…hahahah,”pembaca buku Friedrich Niestzsche, dan teori interpretasi Paul Ricouer ini menggelengkan kepala.

Keinginan untuk kuliah ia tangguhkan selama dua tahun setelah tamat SMA Alkhairaat. Ches mengembara di rimba Fakfak, Irian/Papua, mencari kayu Gaharu. Sayang, jelajahnya di rimba yang rawan ini tak berbuah manis. Tanpa pikir panjang, dia balik haluan, menjadi juru masak (koki) di kapal Ona Raya, rute Ternate-Gane Barat-Kayoa-Bacan. Hanya tujuh bulan ia di dapur ini.

Tahun 2007 Ches diterima di Jurusan Sosiologi UMMU. Di kampus ini, ia masih berusaha mencari uang sendiri. Jika hanya berharap kiriman orangtua, kebutuhan tak tercukupi. Kadang, salah seorang seniornya di kampus itu, Abdul Malik Sillia membantu kekurangannya. Di kampus itu pula, pengagum berat Najwah Shihab tersebut mulai mengenal dunia jurnalistik. Ia bergabung di Alkindi—media yang dikelola mahasiswa lintas jurusan, tapi bukan peliput berita. Tenaga periklanan. Jelang akhir studinya, Ches diterima sebagai wartawan di Posko Malut, media cetak yang didirikan jurnalis senior Burhan Ismail. Cukup lama ia berpeluh di sini, sempat dipercayakan menjadi fotografer, dan hampir tersayat pedang saat memotret adu jotos dua tetangga kelurahan. Begitu pula demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Teror dan ancaman sudah menjadi hal biasa dalam kariernya.

Sebelum memutuskan punya media sendiri, setelah pamit dari Posko, Ches menjadi kontributor MNCTV, Kepala Biro Sindo Raya, wartawan Mata Publik, dan Seputar Malut. Hal terpenting dari pengembaraannya di medan jurnalistik adalah belajar bagaimana mengelola sebuah media. Dan, tahun 2016, Ches mendirikan brindonews, potretmalut 2017, dan jelajahmalut, 2020. Jalan berdikari ini mengingatkan saya pesan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg: ”Mengambil keputusan pasti ada resiko, tapi tidak mengambil keputusan, resikonya jauh lebih besar.” Ketiga medianya itu, dikelola orang berbeda, dan 9 jurnalis Brindo Grup sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dari Dewan Pers.

Sedari belajar menanam, buruh pasar, mencari kayu Gaharu, juru masak kapal, jurnalis dan punya media sendiri yang berkembang menajdi sebuah grup, oleh Rhenald Kasali disebut self driving. Ches bukan seorang passenger (penumpang), melainkan driver. Ia men-driver hidupnya, bodoh amat—kata Mark Masson dengan penilaian atau persepsi orang lain terhadap dirinya, karena “we must not allow other people’s  limited perception to devine us,”tandas Stephen Hawking.

Kendati sudah punya media grup media, Ches merambah lagi bisnis lain—oleh Gary Keller dan Jay Papasan disebut the one thing (satu hal terpenting), seperti pribahasa Rusia: “kita tidak mungkin mengejar dua kelinci di waktu yang bersamaan.””Saya melakukan sesuatu secara bertahap karena ingin merasakan sakitnya,”ujar Ches, saya membisu.  

Penyuka lagu-lagu nostalgia terutama Tomy J Pisa itu berteguh dengan prinsip: memimpin tak boleh pelit, dan rajin bersedekah. Jika rezekinya pasang, beli makanan, dinikmati bersama karyawan di kantor. Kalau lagi surut, istrinya masak untuk dinikmati bersama pula. Kapital tak selamanya harus modal, melainkan pikiran dan tindakan, serta berbuat baik yang pada akhirnya tercipta suatu “ketergantungan.” Membangun kedisiplinan tidak dengan suara. Ia berkantor saat pasukannya masih berselimut. Seiring waktu, mereka “malu” sendiri, dan menyambut pagi lebih awal, agar “ayam tak mematok rezeki. J.Vance Cheney berkata,” jiwa tidak akan memiliki pelangi seandainya mata tidak dibasahi air mata.”

  • Baskara mulai tenggelam. Namun, turbulensi di alam akal mulai terbit, lantaran demonstrasi si ‘suntuk’ tak bisa kubungkam. Ia nyata beringas mengganggu akalku. Pukul empat lima puluh dua terdengar, “kriiingg…”, bunyi ponselku jua mengusik pergolakan di alam akalku. Aku buka pesan di WhatsApp. Rupanya Bung Andi mengirimkan sebuah pesan berupa pamflet perihal mengikuti kelas menulis di…

  • Belakangan ini, yang menduduki singgasana kerajaan adalah rating. Kritik dan masukan netizen bukanlah standarisasi bagus yang bisa mendongkrak popularitas. Suara netizen bak kicauan burung, sepintas merdu terdengar oleh kuping-kuping aparatur negara. Masuk di telinga kanan keluar di telinga kiri. Inilah Indonesia, makin ke sini, malah makin ke sana. Pementasan kasus dan fenomena liar dari Juli…

  • Ustaz yang membenamkan dirinya dalam tanah namun dengan akar yang kuat, suatu hari nanti muncul dengan pucuk yang indah dan kokoh di permukaan, ketimbang “ustaz“ yang tampil tidak dengan persiapan agama yang mapan. Penghujung Juli, tahun 2021. Saya, Daeng Syarif, Daeng Rizal Baji Areng, menyambangi acara yasinan dan zikiran malam Jumat bersama sekumpulan jemaah minoritas…

  • Awal muncul penuh cibiran, lambat laun dapat dukungan, pada akhirnya menjadi kenangan, karena Indonesia hanya senang dengan konten musiman Malam teramat sulit dijinakkan, mata susah berdamai dengan kantuk, saya dan Puang Lolong pun membuka ponsel masing-masing. Seperti biasa, Puang Lolong membuka aplikasi TikTok yang menjadi ritualnya sebelum ia mengakhiri malam lalu hanyut dalam mimpi. Ia…

  • Jika kita pernah mendengar lagu anak-anak “Di Mata Mama Ada Bintang” karya A.T. Mahmud,  maka kali ini saya ingin membalik syairnya menjadi di mata anak ada bintang. Tentu saya tidak ingin mengusik kepopuleran lagu ini, melainkan sekadar ingin menumbuhkan kesadaran dalam diri orang dewasa, untuk sering-sering menatap mata anak-anak kita. Pertanyaan sederhananya, seberapa sering dan dalam kita…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221