Kala Literasi

Kelas Literasi Paradigma Institute Makassar

Kurban untuk Literasi

Beberapa hari yang lalu, hewan-hewan tertentu, semisal sapi dan kambing, banyak yang ditambatkan pada tanah-tanah kosong dekat pemukiman. Dan, mulai selepas tunaikan salat Idul Adha, Idul Kurban, hewan-hewan tersebut, nyawanya,  sisa menghitung menit. Mereka akan disembelih, sebagai simbol pengurbanan bagi sanak yang berkurban. Saya membatin, betapa bahagianya hewan-hewan tersebut, sebab menunjukkan bakti tertingginya, sebagaimana takdirnya, memang untuk dimanfaatkan oleh manusia. Sebuah bakti, yang entah apa imbalannya di kemudian hari, dan hari kemudian. Namun, bagi hewan, tugasnya telah purna di tangan tukang potong hewan.

Sehari sebelumnya, pada bagian lain di kota mukim saya, ada peristiwa penting. Pun, telah berakhir nasibnya. Berupa, bursa buku murah, yang selenggarakan oleh penerbit Gramedia, yang ditutup sehari sebelum lebaran Idul Kurban. Namanya juga bursa buku murah, maka buku-buku tersebut diratakan harganya, serba Rp.15.000. Padahal, buku-buku itu, harga aslinya, sekitar lima puluhan ribu ke atas. Berpestalah para pemburu buku. Berianglah para pegiat literasi. Dan, saya selaku pemburu buku, sekaligus pegiat literasi tak ketinggalan. Durasi waktu yang rentangnya cukup panjang itu, saya manfaatkan hingga beberapa kali ke sana. Puluhan buku saya bisa bawa pulang. Bayangkan saja, dengan membawa uang Rp. 750.000, berarti saya mendapatkan beberapa judul buku, persisnya 50 judul, yang nilai gizinya cukup tinggi.

***

Malam lebaran Idul Kurban, saya ditandangi oleh seorang karib. Berbincanglah saya dengannya hingga agak larut. Sahabat saya bilang, “sengaja aku datang malam ini, sebab, pastilah ketupat dan teman-temannya sudah matang. Dan, peluang aku untuk bersantap, sudah sembilan puluh sembilan, koma sembilan persen. Bukankah begitu Daeng?”  Langsung saja saya sambar inginnya itu. Yang penting bertahanlah sejenak.

Dalam pertahanan sejenak itulah, karib saya berujar sekaligus mengajak. Rupanya, ia ingin berkurban, tapi uangnya tidak cukup, Ia hanya punya sekira 1 jutaan. Nampaknya, saya salah tebak, mengira ia akan minta pinjaman, buat menambah kekuragannya. Saya sudah siapkan alasan pamungkas untuk tidak memenuhinya, bila ia meminta. Alasan pamungkas saya, bakal saya bilang, “sudah saya belikan buku, kurang lebih Rp.750.000.”  Jadi, dalam khusyuknya obrolan, saya dan ia, punya posisi sama, ada keinginan yang membuncah, buat tunaikan ibadah kurban, tapi punya nasib yang sama, orang pacce.

Perbincangan makin suntuk. Apatah lagi, sudah makan malam bersama. Ketupat dan teman-temannya, yang sejatinya disantap besok, sebagiannya sudah kami tuntaskan malam ini. Apalah arti besok, bagi perut yang lapar. Perkara besok, besok sajalah. Kalau perlu, tutup pintu, atawa pergi ke mukim kerabat. Pasti makan ketupat, yang lebih variatif. Sebab, status sebagai tamu. Begitu, kira-kira, angan yang melintas di sela-sela asyiknya perlagaan pikiran. Dan, dari pertukaran pikiran inilah, tidak sedikit gagasan baru yang membubul, hadir ke permukaan. Bahkan, pikiran nyeleneh sekalipun.

***

Nah, ide-ide inilah yang mungkin layak saya bagikan. Saya pun menggunakan metode cocoklogi. Sejenis metode berfikir yang andalannya pada mencocok-cocokkan suatu soal, agar ada alasan buat landasan berbuat. Tapi bukan juga Qiyas, yang memang diakui sebagai salah satu metode pengambilan hukum oleh kalangan Muslim Sunni. Bukan berarti metode cocoklogi ini dipakai oleh muslim lain, terlebih lagi menuding Muslim Syiah. Wow, amat jauhlah. Cocoklogi ini sejenis akal-akalan saja, agar pikiran yang padam, terbujuk untuk menyala kembali.

Saya pun ajukan duduk perkara ibadah kurban, secara esensial, seperti yang banyak diutarakan oleh para penceramah. Baik yang profesional, terlebih yang amatiran. Bahwasanya, tujuan berkurban itu adalah menyembelih sifat-sifat hewani pada diri. Lebih dari itu, menguji keikhlasan, yang bercermin pada keikhlasan Nabi Ibrahim, kala diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Ismail. Pun, yang tak kalah pentingnya, berbagai daging kurban buat sesama, yang diasumsikan jarang makan daging. Tepatnya, peningkatan gizi bagi yang menerima daging, dengan asumsi raga makin sehat.

***

Biar terkesan lebih berbobot penjelasan tentang ibadah kurban ini, saya nukilkan saja buah pikir dari Ali Syariati, seorang shoolar kelahiran Mazinan-Iran, dalam bukunya yang berjudul Hajj. Syariati bertanya,”Kini engkau akan berperan sebagai  Ibrahim. Ia membawa anaknya Ismail untuk dikurbankan. Siapa atau apa yang menjadi Ismailmu? Jabatan, kehormatan, atau profesimukah? Uang, rumah, ladang pertanian, mobil, cinta, keluarga, pengetahuan, kelas sosial, seni, pakaian, ataukah nama? Bagaimana aku mengetahuinya? Engkau sendiri  mengetahuinya. Siapa pun dan apa pun, engkau harus membawanya untuk dikurbankan. Aku tidak dapat memberi tahumu yang mana harus dikurbankan, tetapi aku dapat memberimu petunjuk”.

Lalu Syariati menjawab, “Yang harus kau korbankan adalah segala sesuatu yang melemahkan imanmu, yang menahanmu untuk melakukan  ‘perjalanan’, yang membuatmu enggan memikul tanggung jawab, yang menyebabkanmu bersikap egoistis, yang membuatmu dapat mendengarkan pesan dan mengakui kebenaran dari Tuhan, yang memaksamu untuk ‘melarikan diri’ dari kebenaran, yang menyebabkanmu berkilah demi kesenangan , yang membuatmu buta dan tuli. Engkau berada di maqam Ibrahim, dan yang menjadi kelemahan Ibrahim adalah perasaan cintanya kepada Ismail. Ia digoda setan”.

Berikutnya, Syariati mengunci ujarnya, “Bayangkanlah dirimu berada di puncak kehormatan, penuh dengan kebanggan dan hanya ada ‘satu hal’ yang demi hal itu engkau menyerahkan apa pun dan mengurbankan kecintaan lain demi meraih cintanya. Itulah Ismailmu! Ismailmu bisa berwujud manusia, obyek, pangkat, jabatan, atau bahkan ‘kelemahan’. Namun bagi Ibrahim maka kurban itu adalah anaknya”.

***

“Maukah saya ajak berkurban, secara esensial bung?” Begitu sodokan saya pada Sang Karib. Dengan uangmu yang satu juta itu, saya ajak untuk berkurban secara esensial. Mari ke toko buku, yang sehari sesudah lebaran sudah buka. Paling tidak, setahu saya ada dua toko buku yang menyelenggarakan bursa buku murah. Dengan uang satu juta itu, bisa mendapatkan buku lebih seratus judul. Nanti, buku-buku itu, pada tanggal 17 di setiap bulannya, bawa ke Kantor Pos, dengan kemasan paling berat 10 kg. Tulislah di paket kiriman itu, sebuah mantra, “Bergerak”, maka PT Pos Indonesia akan menggratiskan pengirimannya ke segenap komunitas literasi, di seluruh penjuru mata angin  wilayah NKRI. Asal terdaftar teregistrtasi di jaringan Pustaka Bergerak Indonesia, yang didirikan oleh Nirwan Arsuka.

Tahun depan, kita berkurban dengan cara yang lain, cara yang lebih substansial. Tapi, jangan bilang-bilang pada siapa pun. Cukup kita berdua saja, sembari mengajak kawan-kawan, yang mungkin saja tertarik jalan pikir yang kita obrolkan ini. Coba bayangkan, satu sapi untuk tujuh orang. Dan, setiap orangnya menyetor Rp 1.500.000. Berarti, ada uang yang terkumpul, sebanyak Rp 10.500.000/kelompok. Dan, bayangkanlah, jikalau ada ratusan, hingga ribuan orang memilih jalan pikir ini. Jumlah yang sebegitu, kita belikan buku-buku untuk disumbangkan pada segenap komunitas baca, boleh yang dekat dengan lingkungan sekitar, sampai pada daerah tapal batas, perbatasan yang terpencil.

Jadi, buku-buku itu, asumsikanlah sebagai daging kurban. Paket buku adalah “daging kurban”, yang semoga saja dapat meningkatkan kesehatan jiwa bagi yang membacanya. Terbayanglah sudah dalam imaji saya, para pembaca , yang menerima kiriman buku, berebut, beriang, bergembira, dan berbahagia. Persis, ketika seseorang mendapat daging kurban, karena memang butuh daging kurban. Bukankah di sekitar kita, ada yang dapat jatah daging kurban, padahal tidak membutuhkannya? Malah jadi bencana bagi dirinya? Sebab, tekanan darah tinggi dan rumpunnya, yang bisa berujung pada stroke, mengintainya?

 

 

Sumber gambar: https://cimahibelajar.files.wordpress.com/2011/09/189182.jpg?w=1400-