Tempo hari di pelataran gedung kampus peradaban, dalam bangunan yang nyentrik dengan gaya arsitektur timur, sebuah perhelatan sederhana dilangsungkan oleh segelintir manusia-manusia baru. Manusia yang terlahir dari rahim pendidikan tinggi, diasuh oleh orangtua-orangtua dengan tingkat pengetahuan dan pengalaman yang lebih. Manusia-manusia baru yang dibekali banyak pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dengan pondasi akal budi. Kelak akan memasuki dunia realitas sosial kemasyarakatan yang majemuk dan kompleks.
Di sudut belakang panggung, sembari berjaga menjajakan makanan jiwa bagi janin-janin yang dikandung kampus peradaban, rasa haru tetiba menyengat batin saya. Ada dua pasal, pertama, dalam sepatah kata ketua panitia, saya melihat betapa indah gambaran dunia kampus yang mereka rasakan. Sehingga perpisahan menjadi hal yang sulit, karena enggan melepas kenangan kebersamaan dengan teman-teman. Walaupun kampus merupakan dunia yang dipandang skeptis oleh pelbagai orang, dicap sebagai dunia dengan masalah yang kompleks dan memiliki beban moril lebih dari kebanyakan jenjang pendidikan lainnya.
Oleh karena itu, ada kelompok mahasiswa yang menamai diri sebagai aktivis, memilih berjuang memikirkan banyak persoalan di luar dirinya, mulai dari skala kampus, nasional, sampai global. Sedang di sisi yang berbeda, ada mahasiswa memilih jalur perjuangan lain. Perbaikan kualitas pribadi dengan mengasah kompetensi bidang akademik sesuai disiplin ilmu masing-masing. Mereka hidup dalam alam pikiran tentang masalah yang berbeda, soal bagaimana menjadi mahasiswa. Entahlah, mereka semua berada pada titik kebenaran subjektifnya dengan pelbagai argumentasi pembenaran. Tapi setidaknya mereka masih bisa menikmati dunia kampus, mencicipi jenjang pendidikan demi masa depan yang lebih baik, saat segelintir orang tidak dapat merasakannya karena himpitan ekonomi.
Mahasiswa aktivis terus berjuang agar penguasa negeri yang bengkok-bengkok bisa diluruskan kembali. Agar para tengkulak-tengkulak yang kini memegang kuasa, tidak nakal dan menjual negeri ini. Dan mahasiswa yang memilih konsentrasi pada jalur akademik, terus mengukir prestasi. Terus belajar guna mengasah kecerdasan emosional, kecerdasan moralitas, dan kecerdasan spiritual. Untuk mahasiswa pendidikan seperti manusia-manusia baru diperhelatan itu, tumbuh menjadi pendidik-pendidik yang berjiwa besar adalah keniscayaan. Karena di tangan para pendidiklah masa depan negeri ini ditentukan.
Kedua, sepatah kata dari ketua jurusan yang sangat menyentuh. Beliau berdiri dan menyebarkan tutur bukan sebagai dosen semata, tapi sebagai orang tua yang mengasihi anak-anaknya. Karenanya perpisahan menjadi kian berat, walaupun beliau tahu perpisahan merupakan suatu keniscayaan. Dalam sebuah puisi berjudul Untukmu Ananda, cinta kasih Andi Halimah, ketua jurusan, dosen, sekaligus ibunda mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika dituang. Waktu terus berpacu, menggiring asa menepis keraguan, akankah kuraih satu kata “”wisuda” atau “sarjana”? Ketika saatnya tiba, justru kegamangan menghampiri, euforia kegembiraan hanya sesaat, disaat toga bertengger manis di atas kepala, ucapan selamat terus berdatangan. Setelah itu apa? Mau kemana? Ananda, perjuangan baru dimulai, kesuksesan harus diraih, entah bagaimana caranya. Tapi satu hal Ananda yang penting, jadilah orang yang bermanfaat, di manapun Ananda berada.
Dari puisi yang disampaikan bunda – begitulah saya menyapa ibu Andi Halimah – saya memahami bahwa pendidikan, nasihat, dan pengajaran yang diberikan oleh para guru dan dosen, merupakan bentuk kasih sayang mereka. Guru dan dosen merupakan orang tua kedua bagi peserta didik dan mahasiswa. Di samping orangtua biologis dalam lingkungan keluarga, guru memiliki peranan penting dalam memberikan pendidikan kepada anak didik. Oleh karena itu, relasi yang semestinya terbangun dalam dunia pendidikan negeri yang carut marut ini, seorang murid dan mahasiswa harus menghormati guru dan dosen sebagaimana mereka menghormati kedua orangtuanya. Agar kita bisa meredusir fenomena antagonis akhir zaman yang digambarkan Gus Mus bahwa belajar semakin mudah, guru semakin tidak dihargai.
Apa lacur, dalam realitas pendidikan bangsa kiwari ini, guru dan orangtua menjadi elemen yang berbeda. Perbedaan itu menjadi jelas dari beragam peristiwa-peristiwa “menggelikan” yang terjadi belakangan ini. Adagium guru dan dosen adalah orangtua kedua, tampaknya tidak berlaku lagi. “Perang” antara orangtua peserta didik dan guru menyebabkan ketimpangan dalam dunia pendidikan. Banyaknya kasus orangtua melaporkan guru kepihak berwajib sampai dipenjarakan, menjadi cacat tersendiri yang mesti dicatat oleh para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini.
Sejatinya orangtua dan guru merupakan faktor-faktor pendidikan yang semestinya bekerjasama dalam mencerdaskan anak-anak didik. Karena orangtua merupakan guru kita di rumah, dan guru adalah orangtua kita di sekolah. Lalu, apa yang menyebabkan seorang guru seperti Ibu Malayanti di kabupaten Wajo dan guru-guru lain di Indonesia harus berurusan dengan pihak berwajib? Apakah sistem pendidikan yang hanya berfokus pada pengembangan kognitif dan keterampilan yang menjadikan banyak peserta didik baperan? Sehingga ketika mendapatkan pola pendidikan yang menggunakan strategi punishment dan reward mereka mengadu kepada orangtua dan orangtua – barangkali borjuis dan pejabat – mengadu kepada penegak hukum yang “adil”. Maka jadilah masyarakat negeri ini masyarakat pengadu. Kemudian diaduk-aduk lagi oleh kepentingan-kepentingan pribadi yang mencari untung sendiri. Hukum akhirnya menjatuhkan hukuman kepada mereka yang tidak punya apa-apa. Keadilan dijajakan. Moralitas dikebiri. Rasa malu digadaikan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka bahkan malu memiliki rasa malu, tutur Yasraf Amir Piliang dalam buku anggitannya, Dunia Yang Dilipat. Malang nian nasib negeri ini.
Ataukah ironi itu disebabkan akhlak anak didik yang jauh hari sudah bobrok, sebelum mereka menjejaki sekolah formal? Jika demikian realitasnya, artinya terdapat indikasi kurangnya pendidikan akhlak di lingkungan keluarga dan masyarakat. Padahal pentingnya pendidikan keluarga dan menghormati orangtua telah dituliskan di dalam Al-Qur’an, melalui pengajaran keluarga Imran kepada anak-anaknya. Akan tetapi, kesalahan sepenuhnya dialamatkan ke lembaga formal pendidikan dan pemerintah. Bahkan seringkali lembaga pendidikan dicap sebagai instansi yang tidak lagi bertujuan melahirkan manusia-manusia nabi. Walaupun kita ketahui bersama bahwa pada tataran praksis pendidikan dewasa ini, belum sepenuhnya sempurna. Masih banyak lubang yang mesti ditambal di sana sini.
Kemajuan teknologi yang pesat juga menjadi salah satu faktor dekadensi moral peserta didik. Banyaknya informasi-informasi yang disajikan om google mempermudah akses belajar anak-anak. Hanya saja, ketika kemajuan ini tidak diimbangi pendidikan akhlak kepada anak didik, maka hanya akan melahirkan ironi antoagonis akhir zaman. Sebagaimana yang dituturkan KH. Mustafa Bisri bahwa ilmu semakin tersebar, adab dan akhlak semakin lenyap. Semua itu karena di dunia maya banyak informasi yang hanya berbau hoax, penuh ujar kebencian, dan pornografi. Oleh karena itu, orangtua, guru, dan masyarakat harus saling bekerjasama, membentuk harmoni dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak.