Teknologi, Hoax dan Perlawanan Literasi

Kita tahu bersama, manusia telah berjalan melawati puluhan juta tahun untuk sampai di era sekarang. Sudah banyak yang pergi dan datang. Kita juga tahu bersama,bahwa pada puluhan juta tahun yang lalu, manusia pernah hidup dengan berkoloni dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Manusia kala itu, memiliki pengetahuan yang kompleks dan holistik tentang alam semesta. Literasinya tidak pada lembaran-lembaran buku. Tapi pada alam semesta yang penuh misteri. Manusia purba demikian para antropolog menamainya hidup damai bersama alam semesta. Mereka mengambil seadanya dari alam, sekadar untuk hidup. Nalar mereka adalah nalar kebutuhan bukan keserakahan.

Laju sejarah tak tertahan. Setelah ribuan tahun manusia menganut hidup seadanya dari alam dan tak bermukim pada satu tempat, sekitar 10.000 tahun yang silam, sebuah revolusi besar terjadi. Manusia mulai mencurahkan seluruh waktunya untuk memanipulasi kehidupan sepsis hewan dan tumbuhan. Mulai dari terbit hingga matahari terbenam manusia menabur biji, menyirami tanaman, mencabuti gulma dari ladang dan menggiring domba-domba ke padang subur. Pekerjaan itu, di pikir bisa menyediakan lebih banyak buah, padi-padian, dan daging. Di sinilah awal terjadi revolusi cara hidup manusia—Revolusi pertanian.[1]

Mungkin kita hampir semua berada pada pengetahuan yang sama bahwa revolusi pertanian yang ditemukan oleh manusia adalah sebuah kemajuan. Sebuah terobosan yang menghadirkan kebahagiaan pada manusia. Tapi faktanya, menurut Yuval Noah Harari, justru itu adalah kemunduran manusia. Di sana manusia mengalami ancaman gagal panen. Busung lapar menghinggapi manusia. Menjadi penyakit yang tercipta akibat perubahan itu. Tak hanya itu, manusia semakin mempersulit dirinya. Tenaga mereka keluar dua kali lipat dari pada  peradaban sebelumnya.

Waktu tak mungkin kembali, situasi alam telah berubah. Sudah banyak spesis hewan dan tumbuhan yang telah punah. Kini manusia semakin di ambang krisis. Dengan perjalanan waktu dengan segala lakon negatifnya, sepertinya pertanian tak lagi memadai hasrat manusia. Pada situasi seperti itu, manusia juga tak pernah berhenti. Tak pernah menyerah. Imajinasi tentang hidup yang simpel dan mudah menggerakanya untuk menemukan hal baru. Dan hal yang baru ditemukan selanjutnya adalah sains. Revolusi sains tercipta.

Sains bukanlah pengetahuan akan tetapi ketidaktahuan. Sains lahir dari pertanyaan-pertanyaan atas sisi misterius yang tersisa dari alam semesta. Lahir dari jawaban teks agama yang dianggap tidak memadai menjawab kosmos. Lalu berangkat dari pertanyaan-pertanyaan atas kosmos, sains modern berkembang hingga peradaban baru lahir mengubur peradaban sebelumnya. Peradaban modern—begitu kita semua menamainya. Di peradaban ini, sains menjadi agamanya. Kemajuan sains modern akhirnya memicu hadirnya teknologi. Kita semua menyambutnya secara suka cita seolah tanpa cacat.

Kehadiran teknologi telah menjadi budaya sebab ia berubah menjadi cara hidup. Secara tidak sadar menyetir cara kita merasa, berpikir dan berharap. [2] Saat ini, hampir seluruhnya teknologi menjadi pengelola hidup kita. Lewat teknologi, manusia diberi imajinasi bisa mengembangkan dirinya secara cepat dan tak terbatas secara kuantitatif. Manusia yang tenggelam dalam arus mencari yang lebih cepat, lebih canggih dan selalu lebih melimpah. Larut dalam keragaman tanpa fokus. Bukannya kita menemukan diri, arus yang serba cepat membuat kita tersesat di antara banyak hal yang melingkupi kita. Dan dalam hasrat merangkul semuanya, kita malah tak menjadi apa pun dan kehilangan diri sendiri. [3] Barangkali di sinilah kebenaran Heidegger bahwa era teknologi hanya membawa manusia pada nihilis. Teknologi diciptakan sebagai upaya untuk mengemansipasi diri justru berakibat pada kehilangan diri sendiri.

Teknologi sebagai wujud kemajuan dari peradaban justru tak hadir memberi kebahagiaan sepenuhnya. Di balik kecanggihan teknologi ternyata menyisahkan kecemasan. Dengan teknologi, eksistensi kita sebagai manusia terancam. Sebab bukan lagi kita yang mengontrol teknologi. Malah sebaliknya, teknologi yang telah mengontrol diri kita. Bukan lagi teknologi yang tergantung kepada diri kita, akan tetapi kitalah yang tergantung kepada teknologi. Kita pada akhirnya menjadi budak dari teknologi. Menjadi budak dari apa yang kita ciptakan sendiri. Dalam situasi kebudayaan teknologi saat ini, kita tidak seharusnya berdiri pada sisi menolak teknologi sebab ia sudah menjadi fakta sosial. Yang terpenting adalah menyadari kunci terdalam teknologi yakni manusia yang merdeka dan kreatif.

Budaya teknologi minus kreativitas, nihil independensi atau kemerdekaan akan berpuncak pada budaya copy paste. Tanpa kreativitas dan independensi melalui gawai (handphone) kita dengan gampangnya menyebarkan hoax. Menyebarkan berita bohong—tanpa fakta. Menyebarkan info yang direkayasa untuk tujuan tertentu secara masif guna mengubur info yang benar. Dengan menyebarkan hoax, kita akhirnya masuk dalam lingkaran kepentingan uang dan kekuasaan tanpa disadari. Kita akhirnya seperti robot-robot tanpa kesadaran dan daya kritis untuk memferivikasi kebenaran info yang hadir. Dengan wajah demikian, kita sebenarnya tak lebih baik dari manusia purba. Bisa jadi kita adalah evolusi kemunduran dari manusia-manusia sebelumnya. Manusia yang hidup puluhan juta tahun silam.

Akhirnya tak ada pilihan lain untuk melawan maraknya fenomena penyebaran hoax. Kita harus berdiri tegak dengan gagah berani digerakan literasi. Kita perlu bergerak bersama mendorong sebanyak mungkin orang untuk mencintai literasi. Saatnya kita bergandeng tangan—tanpa harus melihat, kita dari latar belakang mana untuk menyebarkan virus membaca dan menulis. Sebab dengan lakon literasi akal sehat dapat terjaga. Daya kritis akan tumbuh. Dengan literasi kita akan memiliki imun terhadap info-info yang tak benar. Kita akan mawas diri dari kebohongan yang sengaja disebar. Saatnya semua elemen berdiri bersama mengulurkan tangan. Menarik orang di sekitar untuk mulai membuka lembaran-lembaran papirus yang bernama buku untuk mengejanya. Kita harus mulai menghadirkan perpustakaan di rumah masing-masing dengan itu budaya literasi tumbuh dari rumah.

# Di sampaikan pada Orasi Ilmiah Palopo Festival Literasi 6 Maret 2018 di Taman Baca
[1] Yuval Noah Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: KPG. Hlm: 93-94
[2] Setyo Wibowo. Paideia: Filsafat Pendidikan Politik Platon. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 21
[3] Ibid, Hlm: 21

# Gambar bersumber Google

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221