Mendengar kata “pemimpin”, alur pikiran saya selalu gagap jika berniat memahaminya secara kaffah. Mungkin itu akibat kasta otak saya yang terlalu sederhana sehingga tidak bisa menjangkau level keningratan dan kemewahan dari status pemimpin itu. Atau bisa jadi, gagap, karena bayangan sosok pemimpin selalu saya maknai sebagai seseorang yang luar biasa. Luar biasa hebat, luar biasa genius, dan luar biasa berani menyandang gelar pemimpin. Pemimpin bagi banyak orang. Pemimpin bagi banyak kepala, dengan aneka pikiran dan keinginan di dalamnya.
Bayangkan, seorang pemimpin itu “rela” memberikan waktu, tenaga, perhatian, bahkan hidupnya untuk membimbing orang-orang yang mencapai kemaslahatan hidup mereka. Belum lagi, para pemimpin itu berani dan tahu diri betul, bahwa statusnya berisiko terhadap masa depan akhiratnya. Risiko yang saya maksud bahwa “setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban akan apa dan siapa yang dipimpinnya”. Hanya orang hebat dan genius yang berani menghadapi pengadilan seperti ini.
Maka saya salut dan bertepuk tangan bagi para calon pemimpin yang dengan sekuat tenaga maju berkompetisi “mewakafkan” (begitu bahasa mereka) dirinya pada momen pilkada ini, demi kepentingan orang banyak. Inilah wakaf tertinggi melebihi harta benda. Diseleksi pula!
Saya mencoba ber-husnudzon menganggap para calon pemimpin itu pasti sudah mengerti hitung-hitungannya. Jika dia seorang pemimpin di sebuah kabupaten, misalnya, maka waktu, tenaga, dan perhatiannya harus senantiasa terkuras untuk masyarakat kabupatennya. Aturan-aturan, kebijakan-kebijakan, paraf dan tanda tangan yang menjadi produk darinya akan dihitung sebagai pertanggungjawaban: apakah membawa kebaikan hidup bagi masyarakatnya ataukah sebaliknya. Ini berlaku juga pada level kepemimpinan di atasnya, yang areanya lebih luas dan jumlah masyarakatnya lebih banyak: propinsi dan negara.
Para calon pemimpin itu pastinya sudah memiliki jurus jitu, guna menghindari kejadian, umpamanya, jika kelak paraf dan tanda tangannya malah menjadi asbab terkebirinya potensi-potensi manusiawi penduduknya. Ataukah hak-hak politik, ekonomi, sosial dan keagamaan masyarakatnya jadi terpenggal karenanya. Ataukah mungkin karena paraf dan tanda tangannya, menjadi gara-gara seorang anggota masyarakat jadi “saraf” dan “berputih tangan” karena kehilangan pekerjaan. Yang karena kehilangan pekerjaan sehingga kemungkinan untuk menafkahi keluarganya jadi tidak mungkin lagi. Yang karena tidak memeroleh nafkah, berakibat satu keluarga tersebut terintimidasi oleh desakan pemenuhan kebutuhan sandang-pangan-papan. Yang karena akumulasi derita ini, bisa saja berujung pada kematian.
Taruhlah, paraf dan tanda tangan itu adalah persetujuan “ketuk palu” berlakunya kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak), TDL (Tarif Dasar Listrik) dan produk kebutuhan dasar lainnya. “ Percikan api” macam ini seperti membakar jerami kering yang asapnya bisa kemana-mana. Asap yang bisa membuat nafas rumah tangga perusahaan megap-megap, dan membikin rumah tangga keluarga jadi sesak nafas. Betul-betul seperti ketukan palu pada kepala.
Saya yakin, di kepala para calon pemimpin itu, sudah ada tekad untuk mencegah kejadian di atas.
Saya pun berusaha yakin, para calon pemimpin itu akan mencoba berusaha untuk nantinya meniru, minimal mendekati, pola kepemimpinan Nabi dan para sahabatnya. Misalnya, keadilan hukum yang diterapkan Nabi, yang “ketajamannya” berlaku untuk semua: atas-bawah, luar-dalam. Hal ini tergambar dari maklumat beliau yang menggetarkan: “ Ketahuilah, jika misalnya Fatimah binti Muhammad, suatu saat mencuri, maka saya sendiri yang akan memotong tangannya!”. Atau dengarlah luapan cinta dan kasih sayangnya kepada rakyatnya: “ jika ada umatku yang berpotensi kelaparan, biarlah aku yang merasakan lebih dahulu kelaparan itu. Dan jika ada yang kenyang, biarlah aku yang belakangan merasakannya…”
Ataukah jika tidak bisa mencontoh nabi, setidaknya bisa bercermin kepada Umar bin Abdul Azis (salah seorang Khalifah Bani Umayyah), perihal menjaga diri dari hal-hal yang berbau koruptif. Konon ketika suatu malam beliau sedang sibuk di ruang kerjanya, bergelut dengan tugas kenegaraan, datanglah sang putera mengetuk pintu. Setelah beliau menanyakan keperluan anaknya, dipersilahkannya anaknya masuk dan duduk.Kemudian beliau beranjak mematikan lampu. Tak ayal, gelap gulitalah seisi ruangan.Sang anak bertanya keheranan.
“ Ayah, mengapa engkau mematikan lampu?”
“Anakku, bukankah yang ingin engkau bicarakan adalah urusan pribadi?”
“Betul, Ayah.”
“ Ketahuilah, Anakku. Lampu yang aku pakai ini dibiayai oleh negara. Peruntukannya adalah untuk urusan negara dan urusan umat. Tapi karena yang ingin engkau bicarakan adalah urusan pribadi, biarlah keadaannya gelap seperti ini”.
———-
Adakah “paras” pemimpin seperti ini saat sekarang? Setidaknya jika ini adalah sebuah mimpi, kita masih bisa berharap semoga segera menjadi nyata. Seperti harapan yang akan kita tenteng masuk ke bilik suara nantinya. Harapan, semoga pemimpin yang kita tusuk gambarnya kelak bisa menorehkan tinta kemaslahatan dan kebahagiaan bagi masyarakatnya. Bukan malah pemimpin yang balik “menusuk” hati dan menoreh tinta hitam di wajah kehidupan penduduknya.