Politik Identitas: #BlackLivesMatter dan Beberapa Ramalan Fukuyama

Tagar #BlackLivesMatter belakangan ini sedang gencar-gencarnya diutarakan oleh para warga net atau yang lebih sering disapa netizen. Hampir diseluruh platform media sosial khususnya platform komunikasi menampilkan hal yang sama. #BlackLivesMatter menjadi trending nomor satu di dunia. Hal demikian disebabkan oleh kematian George Floyd, seorang imigran dari Houston, Texas dan menetap di AS. Seperti yang dilansir oleh Liputan6 (1/6/2020), kasus tersebut bermula dari penangkapan Floyd karena diduga telah menggunakan uang palsu saat berbelanja. Akan tetapi Floyd menolak untuk ditangkap dan meyakini bahwa dia tidak berbelanja dengan menggunakan uang palsu. Singkat cerita, aparat keamanan tetap meringkuk Floyd dan hendak memasukkannya ke dalam mobil patroli. Usaha penolakan dari Floyd rupanya belum selesai. Floyd menolak dimasukkan ke dalam mobil hingga terjatuh di jalanan. Saat itu Chauvin—seorang polisi—menindih leher Floyd selama 30 menit hingga Floyd meninggal dunia.

Pembacaan terhadap kasus Floyd oleh orang banyak dianggap sebagai tindakan diskriminasi yang sarat akan unsur rasialisme. Setelah kasus itu, perhatian dan bela sungkawa dari khalayak mengahblur ibarat semut mengerubungi gula. Gula yang sama: penolakan atas tindakan diskriminasi yang dianggap sangat rasialis. Apa yang membuat perhatian khalayak terjadi seperti itu? Mengapa tagar #BlackLivesMatter menjadi trending nomor satu di dunia maya? Ini menjadi salah satu pembahasan khusus dari buku terbaru anggitan Francis Fukuyama, “Identitas: Tuntutan atas martabat dan politik kebencian”. Setelah melahirkan buku fenomenal The End of History and the Last Man, kini ia hadir dalam bentuk pembahasan baru yang dianggapnya sebagai tantangan baru atas proses demokratisasi di zaman digital: Politik Identitas.

Menurut Fukuyama, proses politisasi identitas atau demokratisasi martabat akan seseorang berangkat dari hal yang sederhana: Thymos, bagian dari jiwa yang sangat membutuhkan martabat; isothymia, tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain; megalothymia, keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul. Demokrasi liberal modern menjanjikan, sekaligus secara umum menghasilkan sikap penghormatan akan satu invidu dengan individu lainnya, kedudukan yang sama dalam supremasi hukum, dan hak untuk memilih.

Hal yang tidak dijamin oleh proses demokrasi adalah penghormatan atas individu yang satu dengan individu yang lain secara setara, juga di dalamnya kelompok yang memiliki sejarah panjang—juga singkat—termarginalkan. Seluruh entitas negara dapat merasa tidak dihargai oleh yang lain, kemudian menggerakkan sikap kesatuan agresif, seperti halnya kaum agamawan yang merasa iman mereka direndahkan. Oleh karenanya, isothymia akan menjadi dorongan untuk menuntut pengakuan secara setara yang sepertinya tidak akan pernah terpenuhi secara utuh. Masalah selanjutnya adalah perasaan individu yang merasa unggul dihadapan individu lain dan memaksa individu lain untuk mengakui keunggulannya, megalothymia.

Demokrasi liberal tidak dapat mengakomodir sikap ini secara keseluhuran. Meskipun dalam beberapa kasus sikap ini melahirkan tokoh-tokoh heroik seperti Lincoln atau Churcill atau Nelson Mandela. Akan tetapi pada kasus yang lain, sikap merasa unggul dibanding yang lain dapat melahirkan pemimpin tiran nan bertangan besi seperti Caesar di Romawi atau Hitler di Jerman atau Mao di Cina. Hal ini dianggap sebagai problematika baru bagi proses demokrasi liberal. Sikap menuntut kesetaraan terhadap yang lainnya juga muncul dari kaum feminis.

Teriakan persamaan hak dan menolak sistem patriarki dalam masyarakat umum pada awalnya mebuat demokrasi sedikit kelimpungan. Akan tetapi, kasus ini dengan cepat dapat disalurkan atau dimoderasi dengan adanya emansipasi kaum perempuan. Demikian adalah sedikit contoh atas thymos dan kawan-kawan membuat proses demokratisasi menjadi sedikit kewalahan. Pada dasarnya, demokrasi liberal hanya mengakui konsep universal dalam tindakan praktisnya dan dengan kemunculan beragam sekte, ras, etnis, orientasi seksual, gender dan lain-lain membuat demokrasi tertantang dalam membentuk budaya demokrasi yang baru yang dapat mengakomodir hal tersebut.

Dengan kata lain konsep pengakuan universal dari demokrasi liberal ditantang oleh bentuk pengakuan yang lebih sempit. Ketidakcakapan sistem demokrasi dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan kelompok kecil mengakibatkan munculnya populisme anti-imigran, kebangkitan Islam yang terpolitisasi, serta fraksi-fraksi yang terpecah belah. Sebut saja gelombang Musim Semi Arab atau Arab Spring: demontrasi terhadap pemerintah yang diangap sebagai perseteruan antar sekte; Kampanye “Make America Great Again” Donald Trump: kampanye mengangkat kembali martabat warga asli AS; Gerakan #MeToo: memperluas pemahaman populer terhadap kekerasan seksual hingga Gerakan #BlackLivesMatter: penolakan tindakan rasisme terhadap individu berkulit hitam.

Kasus pembunuhan George Floyd yang dianggap sebagai tindakan rasisme terhadap individu berkulit hitam menjadi sebuah swabukti dari populisme anti-imigran.

Kelabilan AS dalam menetapkan undang-undang imigran membuat kasus seperti ini seakan lumrah terjadi. Pun ketidakseriusan AS dalam mengasimilasi imigran membuat kasus ini semakin bertambah buruk. Pertengkaran antara kelompok kontra-imigran dan pro-imigran membuat teori vetocracy—pandangan minoritas dapat dengan mudah memblokir konsensus mayoritas—ala Fukuyama menjadi keniscayan. Lagi-lagi, Gerakan #BlackLivesMatter sebagai bentuk swabukti isothymia masyarakat AS menjadi problem baru bagi proses demokrasi.

Problem identitas yang diterangkan oleh Fukuyama terhadap demokrasi tidak hanya terjadi di AS, akan tetapi juga pada negara-negara Eropa, Rusia, Inggris, Dunia Arab juga termasuk Indonesia. Pada tahun 2019 lalu, kasus diskriminasi terhadap beberapa mahasiswa asal Papua di Surabaya menunjukkan peristiwa yang kurang lebih sama dengan kasus Floyd. Gerakan #KamiBukanMonyet diutarakan para warga net di Indonesia serupa dengan Gerakan #BlackLivesMatter yang sekarang ini booming.

Mengatasi problematika identitas ini, Fukuyama menganggap bahwa identitas nasional adalah solusi yang cukup solutif. Baginya identitas nasional dapat dalam empat cara sebagai berikut: a). perpidahan populasi melintasi batas-batas politik tertentu, b). pemindahan perbatasan sesuai dengan populasi berdasarkan aspek budaya dan linguistic, c). asimilasi populasi minoritas ke dalam budaya kelompok etnis atau bahasa yang ada dan d). pembentukan kembali identitas nasional untuk menyesuaikan karakteristik masyarakat tersebut.

Beberapa ramalan Fukuyama di atas, khususnya poin keempat, setidak-tidaknya telah terdapat di Indonesia. Slogan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai dasar negara dibuat oleh para Founding Fathers sebagai identitas nasional bangsa Indonesia. Hanya saja, dua “azimat” ini perlu dikaji secara ketat dan secermat mungkin agar kasus yang menyangkut identitas kecil tidak lagi menjadi penghambat terwujudnya identitas nasional. Dengan kata lain pengakuan terhadap bentuk yang lebih sempit tidak mengaburkan pengakuan universal dalam proses demokratisasi dan mengantarkan Indonesia menuju demokrasi yang lebih ideal lagi.

 


Sumber gambar: hannants.co.uk/product/CMF72326

One thought on “Politik Identitas: #BlackLivesMatter dan Beberapa Ramalan Fukuyama”

Tinggalkan Balasan ke Tuti Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *