Semua tulisan dari Dwi Aulia Anggraini

Lahir di Kab. Kep. Selayar 22 Juli 1996, salah satu penggiat di Rumah Belajar Tanadoang. Karyanya pernah dibukukan pada beberapa antologi puisi. Antologi puisi “Bukan Kita” (2016), “101 Bait Kata Himpunan Doa” (2016), “Bayangan” (2016), “Religi” (2017), “Si Fulan” diikutsertakan pada ajang Literasi Mataram Islamic Book Writers dan Festival Sajak Islami (Mataram Islamic Lombok Writers) dengan judul buku “Merindukan Surgamu” (2017) “Fatamorgana” (2017) yang juga pernah dimuat di SKH Go Cakrawala Gowa.

Teman Pulang dan Puisi-Puisi Lainnya

Temu Ibu

Suatu waktu ketika Ibu datang

Doa-doa tergambar dari raut wajahnya

Beliau melangkah dari pusat kota

Meramaikan temu tanpa janji yang menjadi tamu

Ibu memuji sembari memotret

Sementara ruang-ruang foto tak ada dirinya

Ia khusyuk menciumi isak yang bersembunyi dibalik dada

Berkilat-kilat semacam perisai

Kemudian matanya penuh kalimat

Paham bahwa kenang menunggal dalam hening

Ibu pun pamit pulang dalam riuh hari

Meminta hari tak ada yang tertinggal dan tanggal

(2022)

Menapak Usia

Tak lagi merayakan umur yang berganti

Membiarkan seluruhnya berserakan di ruang tidur

Mengendap dibalik kaca jendela

Hingga tertimbun pada semak-semak waktu

Membekas oleh bisikan rahasia

Dan orang-orang menyebutnya fantasi lama

Tergambar jelas pada wajah yang kian menua

Potret-potret lama yang dihangati usia

Melewati jalan yang entah sudah berapa kali ditapaki

Bak lorong-lorong kecil dipelupuk sendiri

Menuju malam yang kian sunyi

Barangkali kau tinggal tidur lalu mendengkur

Menghibur diri yang sebentar lagi meringis sebab terlalu lelah

Membayangkan keesokan harinya membungkuk menahan waras

Dari mimpi yang justru malah memberi kantuk dan lupa

Lalu mengeluh “mengapa kita semakin patah oleh ambisi dan rasa?”

(2022)

Teman Pulang

Seperti sebuah jalinan asmaradana

Akhirnya meminta Oktober menjadi riuh dan bising di kepalaku

Fatamorgana  meninggalkan jejak pada malam-malam yang panjang

Apa kau ingat suara-suara ramah yang menyapamu?

Rasanya ia tak pernah gagal pulang lalu menangis

Untuk mendengarkan derainya sendiri menyelinap masuk

Dimana kelopaknya meredup hingga justru musim menghabisinya

Dan akhirnya tinggal lalu menetap sepanjang waktu

Ia diam-diam merangkai syair untuk tubuhmu yang hendak pulang

Namun sama sekali hatimu beku tak menyadari halaman-halaman buku

Sepanjang itu, kita mencari rumah terlampau lama

Yang kita tempuh hanya jam kerja dan alamat yang itu-itu saja

Agar sepi lekas mati dan menggantung di pintu rumah

Hingga setiap hari menjadi karangan yang menyala di atas meja

Rindu menampung segalanya seperti jatuh cinta pada kantuk

Ilusi diam-diam menemuimu melalui doa panjang

Lalu perlahan mendekat menjadi teman menuju rumah

Kepada teman pulang;

Kita dan beberapa hal yang hampir sama

Melihat dirimu seolah cermin yang tak pernah rampung kubaca

(2022)

Dini Hari

Di beranda rumah jam tiga pagi

Masih saja perempuan itu terjaga dari kantuk

Menunggu peristiwa-peristiwa kecil

Matanya berbinar lalu gagal untuk tidur lebih awal

Ia sibuk mencuri malam yang sebentar lagi hilang

Sudah beku kah hatinya dari lampu kamar tidur?

Hingga mencoba meminta maaf pada pagi

Lalu terdesak dibalik jam kerja yang tak lekas mati

Ia seringkali lupa bahwa terusir dan kalah

Bahkan untuk bermain dengan puisi sederhana

(2022)

Ilustrasi: deviantart.com

Rahasia Buruk dan Puisi-puisi Lainnya

Serupa Kemarau

Seperti menyaksikan burung burung melintas di udara

Sudah lama semenjak kita tak lagi bersua

Pada malam malam yang panjang

Dan doa yang tak lagi kita rapal

Diantara hari yang buruk

Aku sibuk mengulang percakapan kita

Menanti nanti lonceng berbunyi

Dalam ruangan yang menjemputmu pergi

Serupa kemarau membunuh dengan hati hati sekali

Menaruh dendam sembari diam diam

Membakar hangus beberapa dahan

Mematahkan ranting dalam dialog lebam

Mengapa pergi sebelum musim menanggalkan daun?

Ketika bunga bunga belum usai rekah

Ketika pelupuk mawar belum juga berkaca

Apa karena menurutmu seluruhnya adalah fana?

Juli; Dua Dua, Dua Delapan

Pada suatu malam, lampu lampu belum juga padam

Orang orang sibuk berdoa sembari menengadah

Menarik nafas panjang di tengah ramainya jalan

Namun ruang tetap kosong nyatanya

Selepas hujan, ada yang sibuk melangkah

menembus dingin yang Ia tak pernah tahu kenapa, lalu bertemu seseorang adalah sakral yang lupa ia sebut namanya

Barangkali cinta melulu gagal menuju tempat tinggalnya

Pukul tujuh malam dan minuman taro dingin adalah wajah wajah yang sama

Melambai seolah berpisah adalah ujungnya

Dari setiap drama yang bermain nantinya

Mengapa menerima adalah cemas yang tak kunjung berakhir?

Seperti barisan panjang yang rumit untuk menyediakan sesuatu yang manis

Ngeri menawarkan sesuatu, menolak lalu menaruh kedua sepatu

Berulang kali selamat malam

Berulang kali selamat berpisah

Namun entah kepada siapa.

(2021)

Hujan Tanpa Angin

Mengapa kita membahas hujan?

Pulanglah dengan payung di tangan

Jalanan basah dan mimpi yang meringkuk di balik meja

Barangkali tak akan ada artinya

Masih ada ?

Tenang ini tak panjang

Seluruhnya singkat kecuali kenangan.

(2021)

Rahasia Buruk

Kusebut namamu baik baik

Yang terbayang hanya surat surat kecilmu

Memanggil dari sebuah alamat kosong

Berlari menghendaki sisa sisa yang mati

Masih juga bercakap dalam diam

Sepi tiba tiba menyekap ribuan kata

Dari waktu yang begitu gelap

Dari langkah yang begitu tanda tanya

Kita berdua benar hanyalah rahasia

Diantara pesan pesan buruk

dan dunia yang maya

Tamu

Daun daun mulai basah

Ricik air turun di selokan

Lampu jalan padam

Anak anak berlari menuju rumahnya

Adakah kau bayangkan sebuah rahasia?

Dari dekat jendela

Yang basah oleh uap kopi pahitmu

Pada sore hari saat ibumu sibuk menyapu

Ah kalau saja sepatumu tak sobek saat main bola

Atau nasimu tak basi saat malam hari

Bisa jadi cemasmu tak kunjung berlebih

Membayangkan temanmu tak lagi menuju rumahmu

Di beranda, sekawanan kupu kupu tiba

Kau katakan akan ada tamu yang singgah

Sembari duduk ngobrol bercerita

Nyatanya, hujan terlebih dahulu menyapa