Arsip Kategori: Esai

Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut ke Pantai

Bermula dari cinta terlarang moyak di rongga dada Sawerigading. Lantaran cintanya ditepis We Tenriabeng saudara kembarnya. “Di negeri Cina, ada putri yang berparas serupa denganku. Berangkatlah dan jemput ia,” begitulah We Tenriabeng menohok keberatan. Usai itu, putera raja Luwu purba yang terlanjur mabuk asmara, geliat memerah darah para budak selama sembilan hari sembilan malam, sebagai tumbal dibayar untuk menumbangkan I La Welenreng. Pokok pohon raksasa, yang kini tergolek itu, oleh Sawerigading dipahat menjadi perahu yang mengantarnya ke Cina. Di sana, Sawerigading meminang We Cudai, calon istrinya.

Mungkin Sawerigading tak lagi menimbang, bahwa hasrat yang mendidih bakal menyisakan sejumlah malapetaka bagi para penghuni pohon. Seperti termaktub dalam epos I La Galigo, pada dahan-dahan I La Welenreng, ribuan burung menitipkan sarang dan telur. Dan tatkala pohon raksasa tumbang, ribuan butir telur rontok mengguncang bumi. Konon, tujuh kerajaan di sekitar pohon raksasa itu tenggelam banjir lendir telur. Sementara burung-burung yang tersisa meratap, kocar-kacir mencari tempat tinggal baru.

Kecerobohan Sawerigading membuat Si Buaja Tasi’e dan Sang Ula Balu naik pitam. “Kalau saja kau bukan anak dewa, sekali kukibaskan ekorku, kamu akan tenggelam di dasar laut,” cetus Buaja Tasi’e. “Seandainya kamu bukan keturunan darah putih, sekejap saja kutelan, kamu bisa binasa di dalam perutku yang gulita,” kata Ula Balue. 

Kisah penebangan (Ritumpanna Wélenrénngé) menyulut angkara ini, kita jumpai dalam epos I La Galigo atau Sureq Galigo. Wiracarita I La Galigo ini disampaikan sejak abad ke-14 dalam bentuk lisan. Di abad kiwari, kita memamah cerita ini melalui buku atau gawai.

***

Cerita penebangan pohon raksasa (Ritumpanna Wélenrénngé) wiracarita I La Galigo ini, saya pakai menelisik pola sebaran etnis Bugis-Makassar. Pertama, pokok I La Welenreng dipahat Sawerigading menjadi perahu, mewakili pola perantauan atau penjelajahan pelaut Bugis-Makassar melintasi samudra hingga ke Afrika. Pola sebaran ini disebut ‘Sompe’, yakni para pelakunya masih berniat untuk kembali ke kampung halaman. Kedua, burung-burung meratap kocar-kacir mencari tempat tinggal tatkala I La Welenreng tumbang, mewakili pola migrasi orang Bugis-Makassar ke seluruh Nusantara hingga semenanjung Malaysia. Pola migrasi ini dikenal sebagai ‘Mallekke Dapureng’, yang secara harfiah berarti ‘memindahkan dapur’ atau migrasi ke daerah lain yang tidak diniatkan untuk kembali. Dan sebagaimana yang kita tahu, Mallekke Dapureng sebetulnya, sebuah protes rakyat atas kesewenang-wenangan penguasa.

Sompe

Terkenanglah oleh kita akan petatah-petitih Bugis-Makassar yang masyhur: “Nenek moyangku seorang pelaut”. Itu lantaran, menurut banyak sumber,  orang Bugis-Makassar sejak dahulu telah dikenal sebagai salah satu suku penjelajah bahari yang melintasi samudra hingga ke Afrika (Dick-Read, 2008). Dalam tradisi Bugis, penjelajahan atau merantau disebut ‘sompe’ yang secara etimologis artinya berlayar (Hamid, 2004; Kesuma, 2004), tujuannya adalah untuk membangun penghidupan yang lebih baik di luar kampung halaman. Penjelajahan tersebut biasanya untuk berdagang.

Bagi orang Bugis-Makassar Sompe dipandang sebagai tanda kedewasaan dan keberanian seorang laki-laki Bugis-Makassar. Dan karena ihwal tersebut, tradisi merantau telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan orang Bugis-Makassar (Bandung, 2020), sehingga kita akan mudah menemukan berbagai komunitas keturunan Bugis dan Makassar di berbagai wilayah di Nusantara, khususnya pada wilayah pesisir. 

Jauh dari kampung halaman tentu meremukan tradisi dan memori kolektif tanah asal, ini adalah problem kerap dihadapi para perantau, termasuk pelancong Bugis-Makassar. Itu sebabnya, untuk merawat tradisi dan memori kolektif, orang Bugis-Makassar di  tanah rantau terlibat dalam proses asimilasi hingga integrasi sosial budaya dengan masyarakat lokal. Sementara kemampuan bertahan hidup, orang Bugis-Makassar melakukan penguatan ekonomi dengan mengembangkan berbagai bidang usaha. Strategi sosial juga dilakukan dengan melalui jalur diplomasi, perkawinan hingga peperangan (Hendraswati, Dalle, dan Jamalie, 2019). Ketiga cara tersebut berpangkal pada filosofi ‘tellu cappa’ atau tiga ujung, yaitu cappa lila (ujung lidah), cappa’ laso (ujung kemaluan) dan cappa vadi (ujung badik).

Mallekke Dapureng

Pascaperang Makassar pada 1669, terjadi gelombang migrasi orang Bugis-Makassar yang cukup massif ke seluruh kepulauan Nusantara hingga semenanjung Malaysia. Gelombang migrasi berkaitan dengan protes dan respons atas situasi sosial yang terjadi di Sulawesi Selatan—gejolak sosial di masa itu  berkenaan dengan pertarungan antarelit di kerajaan Bugis dan Makassar, serta adanya bencana yang menyebabkan kesulitan ekonomi atau akibat kekalahan perang yang menyebabkan terganggunya kedaulatan dan otonomi dalam bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi. 

Perang Makassar (1666-1667) yang berujung pada kekalahan Gowa atas VOC. Kekalahan ini menandai berakhirnya kekuatan dan kekuasaan Kesultanan Gowa sebagai salah satu negara maritim terkuat, jatuhnya Benteng Somba Opu, monopoli dagang oleh VOC di Pelabuhan Makassar dan ditandatanganinya perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 yang sangat merugikan Kesultanan Gowa dan sekutunya (Yani, 2018). Perjanjian Bongaya berdampak besar secara ekonomi dan menjadi pukulan telak bagi perdagangan orang-orang Bugis dan Makassar dan pedagang Nusantara lainnya (Parani 2015), akibat monopoli dagang VOC di Pelabuhan Makassar dan pembatasan pelayaran niaga. 

Usai perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi masyarakat Bugis dan Makassar mengalami perubahan. Jika sebelumnya pelaku migrasi dilakukan oleh masyarakat umum ke berbagai wilayah Nusantara guna mencari penghidupan yang lebih baik, pascaperjanjian Bongaya pelaku migrasi banyak dipelopori oleh kalangan bangsawan (Khusyairi, Latif, dan Samidi 2016). Sejumlah kalangan bangsawan beserta pengikutnya, utamanya dari Kesultanan Gowa dan sekutunya seperti Wajo dan Mandar melakukan perjalanan diaspora ke berbagai daerah di Nusantara. Migrasi rombongan Daeng Mangkona dari Wajo yang menyeberangi selat Makassar hingga masuk ke sungai Mahakam menjadi cikal-bakal berdirinya Kota Samarinda (Noor, Rasyid, dan Achmad 1986; Maharani, Hatta, dan Selvyani 2016). Rombongan migrasi lainnya ada yang berlabuh dan beranak-pinak di Bali (Khusyair et al. 2017). Lombok (Kesuma dan Murdi 2015) dan kepulauan Nusa Tenggara dan kepulauan Maluku. 

Migrasi orang Bugis-Makassar pascaperjanjian Bongaya ke arah barat berlabuh di sepanjang pantai utara Jawa. Sumatera hingga semenanjung Malaya. Karena itulah, hari ini kita akan menemukan sejumlah nama kampung Bugis dan Makassar di sejumlah daerah di Nusantara, bahkan hingga di Malaysia, Singapura dan Afrika. Tujuan mereka bermigrasi ada yang untuk membangun strategi melawan VOC dengan harapan keadaan di Sulawesi Selatan kembali pulih. Sekelompok lainnya melakukan migrasi guna membuka jalur pelayaran perniagaan yang baru di sejumlah wilayah (Andaya 2004), itulah sebabnya orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut dan pedagang yang ulung. Banyak yang melakukan migrasi meninggalkan tanah Sulawesi untuk kemudian bermukim secara menetap di daerah lain atau dalam istilah Bugis disebut mallekke dapureng. Pindah bermukim di daerah yang baru untuk membangun kehidupan yang baru dan mengusahakan penghidupan yang lebih baik dan merdeka.

Dalam perluasannya, migrasi orang Bugis-Makassar yang massif pascaperang Makassar pada 1669 dan pascaperjanjian Bongaya. Migrasi ini memaksa Christian Pelras mengulik pola kehidupan prakolonial orang Bugis-Makassar.

Itu sebabnya, bilamana kita teliti membaca buku “Manusia Bugis” Christian Pelras. Pada halaman-halaman pertama, Pelras mengajak seganap orang Bugis (Makassar) untuk kembali memeriksa petatah-petitih mereka yang masyhur itu: “Nenek moyangku seorang pelaut”. Sejauh ini, kata Pelras, masyarakat Bugis sering diidentikkan dengan peranan mereka di laut baik sebagai pedagang yang tak segan menyeberangi lautan dan, terutama, sebagai pelaut itu sendiri.

Sekonyong-konyong Pelras menohok satu gagasan: “Nenek moyangku seorang pelaut” itu “mitos”. Pelras berpenderian bahwa: Sebagian besar anggota masyarakat ini adalah petani, petani, dan petani (hal. 4). Dan kegiatan laut masyarakat Bugis baru dimulai di abad ke-18, atau seabad setelah armada laut Kesultanan Gowa dan Tallo dihancurkan oleh VOC. Demikian pula kapal Phinisi yang mulai dikenal luas ternyata baru dibuat paling cepat di akhir abad ke-19. atau lebih tepatnya di awal abad ke-20. 

Selanjutnya, Pelras mendaku, profesi awal dari orang Bugis-Makassar adalah petani, namun mengalami perubahan pada abad-abad berikutnya, karena terjadinya perubahan sosial maupun situasi politik di wilayah Sulawesi Selatan tempat asal suku tersebut. Pasca perjanjian Bongaya dan masa-masa selanjutnya menandai masifnya migrasi orang Bugis dan Makassar ke beberapa wilayah di Nusantara (Purba, Sri Murlianti, dan Nanang 2017). Migrasi orang Bugis dan Makassar keluar dari Sulawesi Selatan secara komunal juga berkaitan dengan sikap protes dan respons atas situasi sosial yang terjadi di Sulawesi Selatan (Zid dan Sjaf 2009). 

Syahdan, orang Bugis-Makassar pascaperang Makassar pada 1669 dan pascaperjanjian Bongaya, adalah amsal burung-burung terbang dari I La Welenreng pohon raksasa mencari hunian baru yang asing dan ganjil. Sebagaimana termaktub dalam epos I La Galigo. Maka terkenanglah oleh kita akan petatah-petitih mereka yang masyhur: “Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai”.

Generasi Stroberi dan Kesehatan Mental

Cempaka (nama samaran) bercerita tentang teman kuliahnya yang mengalami depresi dikarenakan putus cinta. “Dia menangis berhari-hari setelah putus, sering histeris. Pernah kabur dari kost, jalan kaki. Saya ikuti dari belakang, karena saya khawatir keadaannya” kata cempaka.

Tentunya ia sangat khawatir terhadap kondisi temannya tersebut. Mereka pernah tinggal satu kost namun kemudian terpisah dikarenakan temannya cenderung menarik diri setelah mengalami tekanan akibat putus cinta. Meski sekadar percintaan, hal semacam itu bukan persoalan sepele.

Menurut informasi dari salah satu dosen mahasiswa tersebut, korban mengatakan bahwa ia merasa sendiri dan juga merasa ingin bunuh diri. Dan dosen tersebut menyarankan untuk menemui psikolog profesional karena dia sadar tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk memberikan pendampingan.

Banyak kasus bunuh diri berawal dari depresi yang tidak menemukan jalan keluar, baik karena masalah asmara, keluarga, kuliah, ataupun pertemanan. Dikalangan mahasiswa saja, sepanjang setahun terakhir bisa ditemukan berita bunuh diri yang tersebar dibeberapa kota. Pada awal oktober 2023, dua kasus bunuh diri mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta dan Semarang, Jawa Tengah, terkuak di media disebabkan oleh depresi menurut sumber khusus.

Kasus bunuh diri juga terjadi di Kediri, Makassar dan Jambi karena tugas kuliah. Mahasiswa di Universitas Gadjah Mada akhir tahun lalu juga bunuh diri, begitu juga dengan mahasiswa universitas Indonesia yang mengakhiri hidupnya sebelum wisuda. Kasus bunuh diri juga terjadi pada siswa sekolah, baik di tingkat menengah pertama maupun menengah atas.

Di Asia Tenggara, Thailand menduduki rekor bunuh diri tertinggi, yaitu 12,9%, disusul Singapura 7,9%, Vietnam 7,0%, Malaysia 6,2%, Indonesia 3,7%, dan Philipina 3,7%.

Dari sinilah kita bisa melihat bahwa sangat besar persentase bunuh diri yang disebabkan oleh depresi. Maka dari itu sangatlah penting untuk mengenal lebih jauh tentang kesehatan mental. Apalagi untuk dikalangan generasi stroberi.

Istilah generasi stroberi ini diciptakan oleh Sosiolog Australia yaitu Paul Hirst pada tahun 1978. Istilah generasi stroberi juga pertama kali muncul pada buku “The Graying of the Greens: Demographic Change And Political Realignment In Australia”, sebagaimana dilansir dari laman Binus University.Pemilihan istilah stroberi di sini memiliki kesesuaian antara buah stroberi dengan karakteristik generasi yang terlihat kreatif namun memiliki jiwa yang rapuh. Pada buah stroberi, ini sesuai dengan buah yang terlihat indah dari luar namun mudah hancur karena teksturnya yang lembek.Sehingga dapat dipahami bahwa generasi stroberi adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tapi disisi lain mudah menyerah dan rapuh dalam hal mental apalagi jika dihadapkan dengan suatu masalah.

Jadi mari kita mengulas apa itu kesehatan mental. Kesehatan Mental atau Jiwa menurut Undang-undang No.18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa merupakan kondisi seseorang dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial hingga ia menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan dapat memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Hal itu berarti kesehatan mental mempunyai pengaruh terhadap fisik seseorang dan juga mengganggu produktivitasnya. Dan perlu diketahui, gangguan mental atau kejiwaan bisa dialami oleh siapa saja.

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengaitkan perilaku bunuh diri, baik itu ide, rencana, dan tindakan bunuh diri dengan berbagai gangguan jiwa seperti depresi dan memprediksi depresi akan menjadi masalah gangguan kesehatan utama.

Depresi adalah gangguan perasaan atau mood yang disertai komponen psikologi berupa sedih, bimbang, tidak ada harapan dan putus asa disertai komponen biologis atau fisik. Depresi dikatakan normal apabila terjadi dalam situasi tertentu, bersifat ringan dan dalam waktu yang singkat. Bila depresi tersebut terjadi diluar kewajaran dan berlanjut maka depresi tersebut dianggap abnormal. Depresi yang berlangsung lama atau berkurang dapat mengganggu kemampuan individu untuk beraktivitas di tempat kerja, sekolah dan menjalani kehidupan sehari-hari. Dampak dari depresi yang paling parah yaitu menyebabkan seseorang bunuh diri.

Depresi bisa terjadi dikarenakan individu mengatribusikan berbagai pengalaman negatif seperti kekecewaan, perbandingan yang tak adil, dua perasaan yang bertentangan, penyakit aktivitas mental yang berlebihan, penolakan dan tujuan yang tak tercapai dan minimnya komunikasi antar keluarga. Inilah beberapa penyebab terjadinya depresi yang dimana bisa saja disebabkan oleh orang terdekat maupun tidak.

Dari berbagai masalah tersebut dengan cara apa kita menyikapinya? Menurut seorang psikologi sekaligus penulis yang berasal dari Amerika, Daniel Goleman, mengatakan bahwa optimisme adalah sikap yang dapat menopang individu agar jangan sampai jatuh dalam kemasabodohan, keputusasaan, ataupun mengalami depresi saat dihadapkan pada kesulitan. Jadi dengan optimisme setiap individu dapat menanggapi dengan positif saat dihadapkan pada suatu keadaan yang dihadapinya, serta harapan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari berbagai situasi yang dihadapinya.

Menurut saya, berkaca dari berbagai peristiwa-peristiwa memilukan tersebut, menjaga kesehatan mental penting disadari setiap tahap kehidupan baik anak-anak, remaja maupun dewasa. Dan jika kita mempunyai sebuah masalah tidak salahya jika kita menceritkannya kepada orang terdekat atau orang yang kita percayai. Mungkin jika kita cerita kepad orang lain, tanggapan orang tersebut masih kurang bagi kita tetapi dengan bercerita kepada orang lain itu salah satu bentuk untuk meringankan beban masalah yang ada.

Pada akhirnya jika berfokus kepada sebuah langkah, maka kesehatan mental seharusnya menjadi pedoman pembelajaran atau edukasi sebagai langkah kesiapan kesehatan mental sebelum keadaan mental tersebut terganggu dan menjadi keadaan darurat karena sebuah aksesibilitas mengenai kesehatan mental merupakan hak asasi manusia dalam rangka mendapatkan kesejahteraan fisik dan mental seseorang menjadi utuh. Kesehatan mental dapat ditingkatkan dengan saling mendukung secara emosional, interaksi yang responsif dan memberikan energi yang positif antar sesama. Namun inti yang paling penting dari tulisan ini ialah mulai sadar atas pentingnya kesehatan mental, serta menghilangkan stigma negatif terhadap penderita kesehatan mental dan lebih terbuka terhadap informasi mengenai isu-isu kesehatan mental baik itu disekitar kita maupun di media sosial.

Semesta Manusia: Tribute to Nirwan Arsuka

Refleksi 100 hari wafatnya Nirwan Ahmad Arsuka

Bagi insan yang lebih dulu mencapai keabadian, hanya warisannya akan menjadi penanda jejak selaku pengabdi. Ia akan abadi karena abdinya. Dari pengabdian ke pengabadian. Baik di bentala, maupun di nirwana.

Begitulah sosok seorang pengabdi, Nirwan Ahmad Arsuka,  yang sementara diabadikan oleh para penerusnya. Nirwan lahir di Kampung Ulo, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 5 September 1967 dan wafat di Jakarta, 6 Agustus 2023. Lalu dimakamkan di tanah kelahirannya. Selain dikenal sebagai pejuang literasi, Nirwan pun diakrabi selakon seorang intelektual garda depan. Tulisan-tulisannya merambah dalam bidang sains, sosial, budaya, seni, sastra, dan agama.

Jelang hingga peringatan 100 hari wafatnya Nirwan, sang pendiri Pustaka Bergerak Indonesia (PBI), serangkaian helatan digelar. Ahad, 5 Nopember 2023, diadakan temu daring oleh keluarga besar Pustaka Bergerak Indonesia (PBI). Acara ini serupa persiapan menyambut peringatan 100 hari wafatnya Nirwan.

Selain itu, dibincangkan pula potret kelembagaan PBI dan mekanisme formalitasnya, serta korelasinya dengan sekotah simpul pustaka. Perbincangan ini dimediasi oleh Faiz Ahsoul, pelaksana tugas PBI. Simpai simpulan percakapan, bagaimana merawat warisan Nirwan yang semula bernuansa personal, diadaptasi dalam bentuk kelembagaan. Spiritnya, meneruskan kerja-kerja seorang pengabdi, Nirwan Arsuka, yang telah mengabadi.

Arkian, 18-26 Nopember 2023, hajatan sepekan Tribute to Semesta Manusia. Simpul-simpul PBI di seluruh Nusantara mengisi pekan peringatan 100 hari tersebut, beragam aktivitas. Didahului acara Prosesi Mattampung (penanaman batu nisan) di Barru oleh keluarga besar almarhum Nirwan Arsuka. Tepatnya, Sabtu-Ahad, 18-19 Nopember 2023. Prosesi Mattampung ini merupakan acara adat, sebentuk tradisi di kampung halaman Nirwan.

Berikutnya, sederet simpul pustaka mengadakan hajatan dengan caranya masing-masing. Sabtu, 18 Nopember, di Malioboro, Yogyakarta, Perpustakaan Gerak Girli Malioboro Bergerak, menyajikan acara Story Telling Mattampung dan Doa Bersama.

Lalu, Sabtu, 18 Nopember 2023,Ibuku dan Angkot Pustaka, mendedahkan acara Biblioterapi dan Doa Bersama, di Pesantren Sirojul Munir Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak ketinggalan simpul pustaka Rumba KIH, pada Ahad, 19 Nopember 2023, melakukan Penanaman Pohon dan Doa Bersama di Blitar, Jawa Timur.

Masih di hari Sabtu-Ahad, 18-19 Nopember 2023, simpul pustaka Sigupai Membaco dan Perpustakaan Rumah Teras Baca di Gorontalo, menghadirkan PakBukLing (Lapak Baca Buku Keliling) dan Doa Bersama. Pun dari RBCD, selain melakukan Lapak Buku, juga Baca Puisi dan Doa Bersama.

Dari Taman Kota Sumpiuh Banyumas, Jawa Tengah, simpul pustaka Lapak Baca Motor Pustaka Griya Baca Jelita (Jendela Literasi Tanah Air) melakukan Doa Bersama untuk Nirwan. Selanjutnya, Kamis, 23 Nopember 2023, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng, via Motor Literasi (Molit) Peradaban, mengusung “Percakapan Hilirisasi Budaya ala Nirwan”, dirangkai Pembacaan Puisi dan Esai, Pidato Kebudayaan, dan Doa Bersama.

Tentu, masih banyak lagi aktivitas simpul pustaka yang belum saya deretkan. Sekadar penegasan saja, ada ratusan simpul pustaka berkegiatan, guna didedikasikan buat Nirwan, baik yang terpublikasi maupun menempuh jalan senyap.

Kalakian, pucuk acara Sepekan Tribute to Semesta Manusia, dalam rangka 100 hari wafatnya Nirwan, berpuncak pada sawala dan dialog buku Semesta Manusia, anggitan Nirwan Ahmad Arsuka. Sawala dilaksanakan secara daring, Ahad 23 Nopember 2023. Pemantik sawala, Ulil Absar Abdalla, FX Rudy Gunawan, Ernawiyati, dan Nur Sybli.

Dipandu oleh Fathul Rakhman dari simpul pustaka  Sekolah Literasi Rinjani. Sebelumnya dibuka oleh MC, Syamsiah Lukman dari simpul pustaka Perahu Pustaka Laica Abbacang. Tak lupa menyilakan perwakilan keluarga besar Nirwan, diwakili ponakan, Muh. Iftikar Sahid, untuk memberi sambutan. Ia bertutur, ada cita dari pamannya yang belum terwujud, membikin lembaga pendidikan bagi orang-orang kurang beruntung.

Tema “Semesta Manusia” diambil dari judul buku karya Nirwan Ahmad  Arsuka. Sebuah buku putih setebal bantal balita, 808 halaman, Penerbit Ombak. Berisi kumpulan tulisan yang merangkum hampir seluruh ide, gagasan, dan isi kepala almarhum.

Sekotah tulisan yang terhimpun dalam buku putih Semesta Manusia, sebelumnya pernah dimuat media, khususnya media cetak, termasuk teks Pidato Kebudayaan, Dialog Semesta, dan beberapa tulisan sempat masuk media online.

Secara garis besar, ada 8 tema yang diusung dalam buku putih: Sains, Manusia, Seni, Sastra, Agama, Indonesia, Pustaka Bergerak, dan Kuda. Namun, dalam diskusi, sebagai alat bantu Dialog Semesta Manusia, dirangkum menjadi empat tema: Manusia, Sains, Budaya, dan Pustaka Bergerak.

FX Rudy Gunawan bertindak selaku pemantik awal. Bagi Rudy, Nirwan adalah manusia multidimensional. Pembelajar otodidak. Mampu menyederhanakan pemikiran rumit. Seorang penggerak, punya mimpi besar untuk kemajuan bangsa. Sejak mahasiswa, bersama Nirwan sudah terlibat gerakan penghentian ketidakadilan dan kediktatoran.

Rudy bertemu kembali dengan Nirwan di Jakarta, ketika media cetak Tempo, Editor, dan Detik, diberedel oleh rezim Soeharto. Ikut mendinamisir Aliansi Jurnalistik Independen dan berkumpul di Komunitas Utan Kayu Jakarta. Setelah berkonsentrasi pada aktivitas mutakhir masing-masing, Nirwan memilih wilayah literasi untuk mewujudkan mimpinya. Jejaring Nirwan mesti diteruskan.

Nur Sybli menguatkan penabalan Rudy. Ia menegaskan, PBI merupakan rumah kita bersama untuk berbagi energi kebaikan. Apatah lagi, di rumah bersama ini, kita berangkat dari keragaman lintas agama, budaya, suku, profesi, pendidikan, dan latar sosial lainnya.

Saatnya menguatkan warisan Nirwan dengan memperkuat kualitas sumber daya manusia para penggerak. Penguatan kapasitas itu bisa beragam bentuknya, sesuai tantangan masing-masing. Namun, perlu ada kapasistas bersama, sebagai standar sebagai seorang pegiat dan penggiat literasi. Dan, sepertinya dibutuhkan sesi lain untuk menindaklanjuti sodoran minda ini.

Setelahnya, giliran Ernawiyati memaparkan pikiran. Erna lebih banyak mengapresiasi tulisan terakhir dari Nirwan Arsuka di harian Kompas, berjudul “Hilirisasi Budaya”. Menurutnya, minda Nirwan ditulisan ini sangat bernilai tinggi, satu warisan intelektual yang harus diapresiasi bersama. Tawaran hilirisasi budaya ala Nirwan, bisa dijadikan semacam peta pemajuan budaya, sebagai lapik pembangunan bangsa Indonesia. Menariknya, peta ini bisa ditafsirkan secara mandiri, sesuai dengan konteks masing-masing.

Akhirnya, Ulil Absar Abdalla memungkasi percakapan. Ia memulai dengan bagaimana ia bertemu dengan Nirwan di Freedom Institute, sesama pendiri. Perkawanan di Freedom Institute cukup lama, sehingga ia amat mengenal pemikiran Nirwan. Ulil berpendapat, Nirwan adalah persona yang memenuhi seorang intelektual yang sangat komplit. Minatnya sangat luas terhadap berbagai macam isu.

Ciri khas generasi Nirwan, kemampuan menulis dengan baik. Keunggulannya terletak pada daya jelajah pada sains sangat dalam. Bukan saja sains popular, tetapi pada inti sains. Lebih dari itu, kelantipannya mengawinkan sains dengan sastra. Sosok langka, hampir mustahil negeri ini melahirkan seorang Nirwan.

Sesudah tidak bersama lagi di Freedom Institute, Ulil kaget dengan pilihan Nirwan, mendirikan PBI dan menghabiskan energinya untuk gerakan literasi. Ulil menilai, pilihan Nirwan merupakan kelanjutan dari aktivitas di Freedom Institute, mengingat Nirwan mengepalai perpustakaan lengkap, berisi buku-buku bergizi tinggi.

Nirwan percaya pada kekuatan buku yang mengubah seseorang, sebab buku menyebarkan tradisi berpikir saintifik. Berpikir ilmiah sewajah dengan fondasi penting dalam membangun masyarakat. Inilah yang menyemangati Nirwan, untuk memindahkan spirit perpustakaan di Freedom Institute ke seluruh penjuru mata angin di wilayah Nusantara, lewat PBI.

Simpulan Ulil memantapkan tentang warisan Nirwan. Tradisi menulis yang baik, berpikir saintifik, minatnya begitu luas meskipun tidak menarik bagi banyak orang. Di pucuk percakapan, Ulil mendakukan kesiapannya menjadi bagian dari PBI, sebagai bentuk perkawanan abadi dengan Nirwan.

Nirwan telah mengabadi dalam dua ruang. Di bentala karena ada warisan pengabdiannya. Di nirwana sebab itulah tujuan akhir sekotah insan. Ya, Nirwan nyata di bentala dan sunyata di nirwana.

Fatherless

Dewasa ini banyak istilah psikologis yang populer di kalangan masyarakat, seperti healing, toxic relationship, ansos, burn out, mindfulness, self diagnose dan masih banyak lagi. Kepopuleran istilah psikologis tersebut tidak jauh dari dampak bermedia sosial.

Individu yang saat ini tiap waktu memakai smartphone-nya untuk menjelajah dunia maya, kerap kali bertemu dengan istilah-istilah psikologis yang telah disebutkan. Tentu hal ini merupakan suatu kemajuan, di mana masyarakat sudah lebih aware dengan kesehatan mental mereka.

Di mata masyarakat, psikologi yang mempelajari mengenai ilmu kejiwaan dan perilaku merupakan suatu ilmu yang menarik. Terlebih jika ilmu tersebut menjelaskan mengenai kepribadian, hingga asal-usul mengapa seseorang berperilaku tertentu.

Salah satu istilah yang cukup menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah istilah fatherless. Fatherless merupakan kondisi di mana seseorang kehilangan sosok ayah dalam kehidupannya. Kehilangan sosok ayah dapat diartikan tidak adanya ayah secara fisik maupun psikis. Kondisi ini dapat terjadi dikarenakan ayah yang meninggal dunia, perceraian, hingga tidak berpartisipasinya ayah dalam tumbuh kembang anak.

Banyak orang tua yang belum menyadari bahwa peran ayah dalam keluarga bukan hanya mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Namun, juga untuk memberi contoh konsep maskulitinas terhadap sang anak, baik laki-laki maupun perempuan.

Pada anak laki-laki, sifat maskulin diharapkan bisa lebih dominan, dibanding dengan sifat feminim. Hal ini agar anak laki-laki dapat menjadi sosok berani, mandiri, dan tegas dalam kehidupannya. Sebagai sosok yang akan menjadi kepala keluarga, hal yang wajar jika laki-laki mesti memiliki sifat berani, mandiri dan tegas, agar dapat memberi rasa aman dan nyaman dalam keluarganya.

Manakala anak laki-laki tidak diberi contoh akan konsep maskulinitas pada dirinya sejak kecil, ia akan cenderung pasif, bergantung dengan orang lain, sulit membuat keputusan, bahkan bingung mengenai identitas gendernya.

Anak laki-laki yang tumbuh bersama sifat feminim dominan dari Ibu, ataupun kakak perempuannya, sulit untuk menentukan bagaimana sifat maskulin yang seharusnya dominan dari dalam dirinya. Anak laki-laki dengan sifat feminim yang lebih dominan, akan cenderung menunjukkan sifat dan sikap serupa.

Sehingga, tidak jarang jika anak laki-laki dengan sifat feminim yang dominan, akan mengikuti lingkungan dengan sifat yang dominannya pula, dalam hal ini bergaul dengan anak perempuan. Bergaul atau berteman dengan lawan jenis sebenarnya bukanlah hal yang mesti dijauhkan dari anak, akan tetapi anak mesti diperkenalkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan apa identitas gender mereka.

Bergaulnya dengan anak perempuan tentu membuatnya semakin tidak mengenal bagaimana sifat maskulin yang sebenarnya. Sifat maskulin yang semakin redup ini, tentu cukup meresahkan bagi tumbuh kembang anak, salah satu dampaknya ialah terjadinya krisis identitas atau anak sulit mengenali identitas gendernya.

Bahkan, anak yang tidak mempunyai kelekatan dengan ayah, akan cenderung mencari sosok yang dapat berperan menjadi ‘ayah’ di dalam hidupnya, di mana dapat memberikan rasa aman dan nyaman.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sundari, A. R., dan Herdajani, F pada tahun 2013, hilangnya sosok ayah pada perkembangan anak dapat menyebabkan anak mempunyai kepercayaan diri rendah, bersikap agresi, malu, kesepian, hingga rendahnya kontrol diri.

Tentu hal ini tidak diharapkan terjadi pada diri anak laki-laki maupun perempuan. Maka dari itu, peran ayah dalam keluarga sangatlah penting. Ayah yang dapat memberi contoh bagaiman konsep maskulinitas pada diri, dan memberi kelekatan pada anak, akan menjadikan individu menjadi sosok yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Laki-laki yang memiliki sifat maskulin dominan, dan perempuan yang memiliki sifat feminim dominan.

Akan tetapi, sifat maskulin tidak semestinya menguasai diri laki-laki seutuhnya, begitu pula dengan perempuan. Anak laki-laki juga mesti memiliki sifat feminim dalam dirinya, agar dapat berperilaku lembut, memiliki empati, sabar, merawat dan sifat ‘keperempuanan’ lainnya. Sederhananya, seorang laki-laki yang diibaratkan menggunakan logika, mesti mempunyai perasaan pula dalam menentukan jalan hidupnya.

Hal ini serupa dengan konsep anima, dan animus yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung, salah seorang tokoh psikoanalisis. Anima dan animus merupakan salah satu bagian dari arketipe dalam konteks collective unconscious  atau ketidaksadaran kolektif yang biasa dikenal juga sebagai alam bawah sadar.

Anima merupakan bagian feminim dari dalam diri laki-laki, sedangkan animus merupakan bagian maskulin dari dalam diri perempuan. Seorang laki-laki mesti mengenali dan mengendalikan sisi feminim dalam dirinya agar tidak lebih dominan. Hal ini pula yang dapat membuat seorang laki-laki dapat lebih memahami dan menghargai perempuan.

Maka dari itu, peran ayah dalam tumbuh kembang anak yang kerap kali dipandang sebelah mata, sebenarnya memiliki peran penting. Meskipun budaya di Indonesia masih terbelenggu dengan patriarki, sudah sewajarnya kita sebagai individu yang lebih sadar, mesti membebaskan dari lingkaran setan yang sudah dibangun secara turun menurun.

Mengubah Tragedi Menjadi Komedi

REFLEKSI ATAS PERTEMUAN DENGAN TEMAN DAN GURU KEHIDUPAN

Penderitaan dalam kajian filsafat didistingsikan dalam tiga perspektif. Perspektif pertama memandang penderitaan sebagai sebuah kondisi yang sebisa mungkin dihindari. Hal ini dapat ditemui dalam filsafat hedonisme oleh penjelasan Epikurus. Perspektif kedua memandang penderitaan sebagai hal yang harus dihindari dan berada di luar kendali manusia. Filsafat Stoikisme menerangkan jika seseorang menderita akibat persepsi kognitif yang ia bentuk sendiri. Agar bahagia, maka cukup dengan mengendalikan rasionalitas yang membentuk persepsi tadi. Perspektif ketiga memandang penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Nietzche melanjutkan perspektif kedua hanya saja pandangannya atas derita lebih optimis. Kebijaksanaan kelak berkembang kala didahului penderitaan (Nesa, 2023). Perspektif ini barangkali sejalan dengan pernyataan “mengubah tragedi menjadi komedi”.

Pernyataan “mengubah tragedi menjadi komedi” ini cukup menggilitik jika ditarik dalam ranah kehidupan. Galibnya, suatu kesepakatan jika tragedi itu tidak mengenakkan. Ia menggeliat sembari mengusik kenyamanan dan status quo. Ajaibnya, ada yang rela hidup berdampingan dengan tragedi. Potret itu barangkali yang memotivasi segelintir komedian untuk menjadikan sebagian tragedi menjadi komedi yang dikenal sebagai dark jokes. Entah karena gap ataupun konten yang usang hingga memuncaki gairah komedian beralih pada konten yang eksentrik, liar dan penuh kontra.

Dark jokes sendiri merupakan jenis komedi yang bersumber dari sisi gelap kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari itu terjadi di dunia olahraga, politik, agama, rasisme, terorisme hingga peperangan (Anastasya, 2021). Karenanya ia bersifat sensitif. Membicarakan komedi gelap ini dapat menjalar dalam ruang-ruang yang selama ini dinilai sakral, suci dan tabu. Pada ruang penghormatan dan martabat kemanusiaan. Ataupun pada mereka yang tergolong minoritas dan tereksklusi.

Penulis pernah berkunjung sembari berdiskusi dengan pasangan suami-istri difabel. Keduanya terbilang ramah dan akrab. Sang istri berujar “kami biasa bercanda sesama difabel mas hehehe. Jangan tersinggung yah. Kadang kami bercanda dan tertawa karena salah seorang teman kami pernah tabrak tiang listrik mas”. Pada kesempatan lain, ia bercanda “kalau sering berkunjung, nanti mas anterin saya ke pasar yah”.

Hal ini cukup berbeda pada kesempatan lain. Dark jokes yang dibawa dalam konten stand up comedy menuai kecaman. Kecaman ini datang dari LSM maupun aktivis disabilitas. Mereka menilai bahwa penertawaan atas tragedi disabilitas sebagai bentuk pencideraan atas apa yang selama ini mereka perjuangkan berupa penghormatan dan pemenuhan hak-hak disabilitas. sebagai contoh, salah seorang komika yang menuturkan jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) kebal dari covid-19. Hal ini lantas mengundang reaksi dari aktivis pemerhati ODGJ.

Kedua kondisi ini mengundang tanya. Bolehkah menertawakan tragedi disabilitas? sampai dimana batas penertawaan itu? Apakah ada tujuan dalam penertawaan disabilitas? Penulis mengklasifikasikan beberapa refleksi bahwa ada beberapa makna tersirat dalam pernyataan “mengubah tragedi menjadi komedi” khususnya mengenai disabilitas.

Mengubah tragedi menjadi komedi: Bentuk Perdamaian dan Penerimaan diri Yang Tuntas

Pandangan ini berada dalam tataran individu. Masing-masing pihak memiliki sikap berbeda saat mengalami disabilitas. Karenanya pandangan ini bersifat subyektif. Ada yang sepenuhnya berdamai dengan kondisi ini. Di sisi lain, ada yang menolak dan tidak sepenuhnya menerima kondisi disabilitas. Kisah suami istri tadi adalah contoh sikap penerimaan diri atas kondisi mereka. Baik kesengsaraan maupun kesenangan adalah dua kondisi yang senantiasa mewarnai kehidupan di dunia. Kehampaan seakan sirna karena diisi optimisme dan keyakinan. Kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Tertawa atas apa yang bisa ditertawakan. Mengalah pada batasan dan di luar kewajaran. Paling tidak bermanfaat bagi diri terlebih dahulu. “cuci piring sendiri sehabis makan itu luar biasa mas” imbuh seorang teman difabel. Karena hal-hal besar bermula dari hal-hal kecil.

Namun ada kisah bagaimana seorang individu yang baru saja kehilangan anggota tubuh dan hampir merenggang nyawanya sendiri (bunuh diri). Perlu bertahun-tahun untuk menerima kondisi disabilitasnya. Adapula kisah tentang seorang pejabat yang malu kemudian menyembunyikan anaknya yang menderita disabilitas. Pandangan-pandangan ini bukanlah pandangan arus utama. Hal itu membutuhkan kebijaksanaan pada diri individu difabel beserta keluarganya. Tentu penyuaraannya dari individu yang mengalami disabilitas itu sendiri.

Mengubah Tragedi menjadi komedi: Bentuk Kritik Sosial

Pandangan ini datang dari individu difabel yang kreatif. Ia mampu mengarahkan pengalaman menjadi konten kritik sosial. Ia meneropong jauh kedepan. Pengalaman adalah guru terbaik kilahnya. Kisah ini datang dari individu disabilitas yang menempuh pendidikan kemudian mengalami hal tidak mengenakkan karena bangunan yang tidak ramah disabilitas. Alhasil, ia menjadikan pengalaman tersebut sebagai video parodi. Selang beberapa waktu kemudian, instansi tadi melakukan rekonstruksi bangunan dengan menambahkan guiding block. Pandangan ini juga bukan pandangan arus utama. Ini hanya dimiliki oleh individu-individu yang kreatif, cerdas dan kritis. Mampu mengubah sesuatu menjadi bernilai.

Blindman Jaka, seorang komika disabilitas menerangkan bahwa membawa materi disabilitas menjadi konten humor sah-sah saja namun perlu mempertimbangkan banyak hal. Termasuk stigmatisasi terhadap difabel kala konten humor disabilitas menjadi viral dan perjuangan aktivis mencapai inklusivitas. Ia menjelaskan bahwa penyampaian humor disabilitasnya dilandasi konteks sebagai kritik atas perlakuan orang-orang sekitar dan pemerintah terhadap difabel (Tempo, 2021).

Mengubah Tragedi menjadi komedi: Menyentuh Sensitivitas

Pandangan ini datang dari aktivis dan pemerhati hak-hak difabel. Menurut mereka, ada beragam hak-hak difabel yang belum terpenuhi. Hal ini ditambah stigma terhadap orang cacat sebagai orang yang kasihan, sakit dan tidak mampu. Implikasinya pada peminggiran mereka dalam aktivitas masyarakat dengan dalih normal. Apa dan siapa yang tidak mengikuti kenormalan dianggap menyimpang (deviance). Alih-alih mengembalikan harmonisasi namun berujung pada degradasi. Intervensi jauh dari assesmen dan lebih banyak mengedepankan asistensi. Potensi kian redup dan majal padahal akan ada kontribusi jika potensi itu terus diasah dan diasuh. Hal ini didokumentasikan dengan baik bagaimana individu difabel mengguncang tanah air karena prestasinya menembus babak final kompetensi musik bergengsi.

Sebagaimana karakter komedi gelap tadi yang eksentrik dan tidak biasa, barangkali kekhawatiran itulah melandasi pandangan ini karena menyentuh sensitivitas dan keintiman individu. Kuswandi (2022) dalam penelitian menunjukkan jika komedi gelap dipersepsikan positif dan negatif oleh informannya. Walaupun demikian, informan tetap terbuka dalam menanggapi konten komedi gelap yang murni sebagai lelucon. Hanya saja, ada batasan seperti; ruang lingkup, cara penyampaian dan kapasitas diri yang perlu mendapat perhatian. Ruang lingkup inilah yang seakan luput dari komunikator maupun komunikan komedi gelap. Kemudian diperparah media sosial dan cancel culture yang melihat konten secara sekilas dan tidak utuh.

Bukan Pandangan Arus Utama

Mengubah tragedi menjadi komedi bukan merupakan pandangan arus utama. Ini lahir  setelah merasakan asam garam kehidupan. Bukan tidak mungkin pula dengan cepat tersingkap tabir oleh individu-individu tertentu yang mampu menyibak hikmah dibalik tragedi. Masih sedikit pemahaman masyarakat mengenai disabilitas dan partisipasi difabel di dalamnya. Tulisan ini mengapresiasi pandangan individu-individu difabel yang menerima kondisi diri dan mengubah sesuatu menjadi bernilai. kemudian mendukung pandangan terakhir untuk mengangkat posisi kelompok difabel berikut dengan hak-hak mereka yang selama ini masih belum terpenuhi.