Arsip Kategori: Puisi

Nausus dan Puisi Lainnya

I. Surat kecil untuk kawan-kawan di Sekolah Alam Manusak

Barangkali pandanganku kepada Manusak
adalah taman penuh tawa
anak-anak semesta

Juga cinta
yang melampaui sekat-sekat
identitas

Yang mengubah
rahim-rahim tandus desa Manusak
menjadi lukisan wajah perempuan
bermata oase.

2021

II. Nausus

Di bukit ini, dalam bisikan angin yang gigil, ujilah aku. Habisi aku dengan sabetan amarahmu.

Lalu tingalkan aku sendiri. Biarkan aku mengobati luka dengan kabut-kabut serupa kapas.

Sebab aku gagal menjadi batu penjuru
seperti sabda pemuda Nazaret
yang tak hanya dibuang tukang-tukang bangunan
tapi juga ditolak dari tanah kelahiran.

Maka di tengah ladang alang-alang yang menyerupai rambutmu. Juga, di tepi danau yang tercipta dari matamu. Aku pasrah menjelma golgota bagi generasimu.

2021

III. TKW

Maka pulanglah ia kerahim tandus
dengan isi dada yang kosong melompong
bagai buah alpukat yang digaruk
menggunakan  sendok

Ia tak tahu apa-apa
hanya terhanyut rayuan
yang datang silih berganti
seperti  banjir yang meluber kemana-mana

Hingga kini
Ia bahkan tak sadar
bahwa matahari telah tertidur
Langit hitam. Angin mati
Dan seorang ibu sedang menantinya
dengan tangisan yang paling pilu.

2021

IV. Mantra

Jutaan mantra
telah di sabdakan leluhur
pada setiap dada yang bergemuruh
untuk para Tuan yang tuli
dan Tuhan yang membisu

2021

V. Mata air

Aku masih terlelap membisu dalam selimut langit. Meski kau mencari aku pada kemarau. Padahal separuh diriku adalah air matamu. Yang setia membasuh pipimu yang jingga.

Tapi kau campakan diriku, rumahku, juga kenanganku.

Maka pada dada bocah-bocah busung
telah kutumpahkan seluruh deritaku.

Tak usah kau sesali. Cukup akui aku pada semesta dadamu. Maka aku akan kembali memelukmu. Seperti seorang ibu yang sedang menjemput anaknya.

2021

VI. Puncak

Kita berjalan menuju puncak
bukan ingin meniru para pendaki
atau sekedar mengambil gambar

Kita hanya ingin menghitung jarak 
dari bibir menuju tempat paling rahasia

Dari puncak kita menatap ke segala arah
Menikmati seluruhnya:

Angin, awan, lembah, hutan, bukit batu, kabut, dan pelangi.

Dan kau bertanya: Inikah tempat para pujangga menimba inspirasi?

Angin membisu

Kita berdiri disini. Berdua saja

Dan kau menatapku sambil membaca doa
berharap ular tak bersabda kepada adam.

Dari puncak dan pusar hutan. Kita turun mengejar senja yang perlahan redup. Berharap ada celah sebelum malam

Agar kita bisa keluar dari selimut mimpi,
atau kita akan menjelma anak-anak
yang diam-diam membangun semesta kita. Sendiri.

VII. Kau Harus Kembali Ke Nausus

Matahari terjatuh dengan ubun-ubun terluka. Ketika kitab-kitab tua para leluhur mulai di baca. Kau berdiri melingkari altar. Mengikuti ritual sakral para tetua adat.

Mantra suci membumbung ke langit, bagai asap dupa beraroma cendana. Leher seekor ayam putus tersambar pisau. Darah segar menetes membasuh altar, dan kau tiba-tiba menatapku penuh tanya:

Apakah ini bertanda baik?

Diatas langit terdengar seseorang mulai menabuh gong. Bertanda para leluhur mulai menimbang dosa dan cinta. Seketika pucuk- pucuk ampupu menunduk. Udara diam sejenak. Hening.

Kau menatapku untuk kedua kali, ketika seorang tetua adat bersuara parau memecah keheningan.

Lewat hati seekor ayam, Ia membaca pesan yang dikirimkan oleh para leluhur:

Kau harus pergi untuk kembali
sebab di Nausus ada rindu
yang selalu kambuh.

Soe, September 2021


Sumber gambar: www.idntimes.com/travel/destination/nona-ella/danau-nausus-pulau-timor-c1c2/3

Malam Hati dan Puisi Lainnya

Marga Berpeti

Suara tak kenal rupa

Bergema pada tiap tutur sapa

Namun mengusik tak apa

Hanya saja jangan berharap menyapa

Tak pernah kita meski kata berjumpa

Ketika kau tanamkan kenangan hampa

Sebut saja cerita kesakitan

Untuk tajamnya cacian

Meski abai adalah keinginan

Namun tuli tak kau sandangkan

Hanya gelar kau patrikan

Melekat bagai marga penolakan

Ketika rasa menyapa hati

Harapan terima tak lupa membuntuti

Namun sirna pada tatapan melucuti

Bahkan cinta tak berarti

Ketika rumah menggenggam belati

Untuk marga yang melekati

Dengar! Untuk kau yang menghadirkanku

Bolehlah kau siapkan petiku!

***

Pelayatmu

Mereka datang menyapa lelapmu

Seakan kau mengundangnya bertamu

Bertutur lembut, berbelas kasih

Padahal kau tak butuh

Kami saja yang meratapi

Kau acuhkan dan menyepi

Seolah senyum dan diam, menjamu

Terbujur kaku pilihanmu

***

Penjaja Nasi Santan

Keroncong panci memenuhi petak kecil

Bersautan bersama kokok ayam memanggil

Serta raungan pemilik kegelapan, berhasil

Jarum jam masih di sepertiga malam

Sosok ringkih sedang sibuk bersemayam

Di istana dapurnya mendekam

Harum bumbu memenuhi indra

Nasib penjaja nasi santan berbicara

Sekali lagi akan mengulang cerita

Fajar kembali menunggu berita

***

Bukan untuk Peduli

Kupejamkan mata dalam kegelapan

Meresapi dalamnya dingin malam merasukku

Saat mata buta, izinkan hati melihat

Logika benci keadaan namun jiwa tak menentang

Memaksakan senja saat hujan menyapa sore

Layaknya pengharapan tak kenal kenyataan

Berpikir salah pada sang mega

Nyatanya matahari turut andil meramaikan

Meneriakkan nama menjadi petaka

Lupa ada gema dalam ruang tak bercela

Menari tertawa dalam lekukan

Memaksa kerja setiap bagian tak bersalah

***

Dua Sisi Jalan

Terik sedang menguasai bentala

Kau duduk di batas jalan

Kurangmu kau jadikan perhatian

Seakan lemah bertumpuk pada jiwa

Matamu sayu yang disayukan

Rupamu sedang bertopeng kemalasan

Sedihmu tak lagi mampu digambarkan

Apatahlagi pikirmu yang melucutkan

Aku terpaku pada sisi terabaikan

Tubuh renta memikul perjuangan

Bulir lelah menyentuh sudut penglihatan

Sedang langkah tertatih masih berangan

Di manakah asa menemui tuannya?

Hadapku pada sisi permintaan

Bukan menarik keinginan

Hanya perih aku tujukan

Mengapa jalan aku di sepanjang kepedihan?

Telapak putih yang memalukan

***

Penikmat Baru

Tiap aku bersandang ke rumahmu

Kau suguhkan secangkir kopi hangat

Tapi mengapa?

Tak kau suguhkan pula

Senyum hangatmu yang meneduhkan rasa

Mungkinkah kau terpikat penikmat baru?

Bolehlah kau kenalkan padaku

Sang perebut cangkirku

***

Penarik Jalan

Kotak persegi beranyam bambu lusuh

Berjalan namun tak berkaki

Geraknya dari dia yang berpeluh

Tak luput pula langkah kecil mengikuti

Rongsokan yang tak tersyukuri

Menemani senyum bahagia sang dewi

Indahnya tidak pada paras biasa indurasmi

Namun pandangan yang mempermalukan keluh

***

Kemana Janjimu?

Ada nama pada secarik kertas lusuh

Berteman foto yang mulai memudar

Meramu kenangan menjadi luka

Bak racun berbingkai keindahan

Kata hanya sekadar pelipur lara

Es krim cokelat tak lagi semanis dulu

Lagu telah berubah menjadi tangis

Ketika gemuruh menggertak kejam

Langkahku tak seteguh pertemuan

Ku ketuk daun pintu cerita berasal

Namun yang ku temukan adalah undangan

***

IJABMU

Bintang tak menampakkan keindahannya

ketika hati sedang memanjakan perih

Sang bayupun bergerak sayu

seolah tahu lelah milik jiwa

Pohon berdaun kenangan

tak lagi sekokoh kesombongan

Janji tinggallah kata tak bernyawa

Bagaimana mungkin?

Teriknya sang penguasa siang

saksi bisu ijabmu

hanya saja,

tak kau peruntukkan untukku

Ketika rasa ku tempatkan

bertahta pada hati

Masihkah aku dapat pergi?

Cukup dengan utuh

***

Malam Hati

Mata nyalang memandang kesunyian

Jangan cari bintang yang enggan mempesona

Apatah lagi bulan yang bersembunyi

melenyapkan sinar megahnya

Kegelapan satu-satunya menemani

Layaknya hati yang sendiri

Berteman luka pada kepergian

Bersama cinta diatas nyaman

***

Kemelut Masa

Lembayung lagi meninggalkan cakrawala

Buih telah ribuan menyapa

Bak menenggelamkan sebagian cerita

Sedang jiwa dipenghujung asa

Langkah kaki melemahkan penungguan

Waktu mulai memupus pijakan

Namun bayangan bahkan tak menunjuk kehadiran

Bagai camar yang meninggalkan

Tak perlu menyebutnya

Tahta hati masih tetap meraja

Namun pertanyaan baik menghampiri rumah

Mengiringi kosakata teramat indah

Bagaimana aku menjawab?

Rahasia Buruk dan Puisi-puisi Lainnya

Serupa Kemarau

Seperti menyaksikan burung burung melintas di udara

Sudah lama semenjak kita tak lagi bersua

Pada malam malam yang panjang

Dan doa yang tak lagi kita rapal

Diantara hari yang buruk

Aku sibuk mengulang percakapan kita

Menanti nanti lonceng berbunyi

Dalam ruangan yang menjemputmu pergi

Serupa kemarau membunuh dengan hati hati sekali

Menaruh dendam sembari diam diam

Membakar hangus beberapa dahan

Mematahkan ranting dalam dialog lebam

Mengapa pergi sebelum musim menanggalkan daun?

Ketika bunga bunga belum usai rekah

Ketika pelupuk mawar belum juga berkaca

Apa karena menurutmu seluruhnya adalah fana?

Juli; Dua Dua, Dua Delapan

Pada suatu malam, lampu lampu belum juga padam

Orang orang sibuk berdoa sembari menengadah

Menarik nafas panjang di tengah ramainya jalan

Namun ruang tetap kosong nyatanya

Selepas hujan, ada yang sibuk melangkah

menembus dingin yang Ia tak pernah tahu kenapa, lalu bertemu seseorang adalah sakral yang lupa ia sebut namanya

Barangkali cinta melulu gagal menuju tempat tinggalnya

Pukul tujuh malam dan minuman taro dingin adalah wajah wajah yang sama

Melambai seolah berpisah adalah ujungnya

Dari setiap drama yang bermain nantinya

Mengapa menerima adalah cemas yang tak kunjung berakhir?

Seperti barisan panjang yang rumit untuk menyediakan sesuatu yang manis

Ngeri menawarkan sesuatu, menolak lalu menaruh kedua sepatu

Berulang kali selamat malam

Berulang kali selamat berpisah

Namun entah kepada siapa.

(2021)

Hujan Tanpa Angin

Mengapa kita membahas hujan?

Pulanglah dengan payung di tangan

Jalanan basah dan mimpi yang meringkuk di balik meja

Barangkali tak akan ada artinya

Masih ada ?

Tenang ini tak panjang

Seluruhnya singkat kecuali kenangan.

(2021)

Rahasia Buruk

Kusebut namamu baik baik

Yang terbayang hanya surat surat kecilmu

Memanggil dari sebuah alamat kosong

Berlari menghendaki sisa sisa yang mati

Masih juga bercakap dalam diam

Sepi tiba tiba menyekap ribuan kata

Dari waktu yang begitu gelap

Dari langkah yang begitu tanda tanya

Kita berdua benar hanyalah rahasia

Diantara pesan pesan buruk

dan dunia yang maya

Tamu

Daun daun mulai basah

Ricik air turun di selokan

Lampu jalan padam

Anak anak berlari menuju rumahnya

Adakah kau bayangkan sebuah rahasia?

Dari dekat jendela

Yang basah oleh uap kopi pahitmu

Pada sore hari saat ibumu sibuk menyapu

Ah kalau saja sepatumu tak sobek saat main bola

Atau nasimu tak basi saat malam hari

Bisa jadi cemasmu tak kunjung berlebih

Membayangkan temanmu tak lagi menuju rumahmu

Di beranda, sekawanan kupu kupu tiba

Kau katakan akan ada tamu yang singgah

Sembari duduk ngobrol bercerita

Nyatanya, hujan terlebih dahulu menyapa

Segelas Lupa dan Puisi Lainnya

Sunyi di Seluruh Tubuhku

Telah menjalar

Kekosongan di kota ini

Menggeledah hingga bumbungan rumah

Tempat para ayah mengibarkan marwah keluarga

Telah merambat

Gelap di kota ini

Mengisi teko dan cangkir kosong

Tempat para ibu menyembunyikan penyesalan

Di pintu telah menunggu sebuah perahu

Yang akan membawamu

Meninggalkan kota ini

Di jalan-jalan orang memejamkan matanya

Mencari yang taka da di hidup yang nyata

Menggapai yang tak bisa digapai

Telah menular

Sunyi ke seluruh tubuhmu

Yatim di tepi danau waktu

Di sepotong rembulan dan perahu

***

Selai

Dari mana selai ini berasal

Katamu ia dibuat dari ragu yang dikentalkan

Di atas wajan waktu

Dan tungku yang pernah memanggang leluhurmu

Manisnya selai ini

Diserut dari tebu yang tumbuh di ladang pembantaian

Disaring pada malam paling gelap

Saat hantu-hantu menyilang namamu

Hiduplah dari menjual selai ini

Dan toko-toko yang menolaknya akan binasa

Dituang dari cawan paling panas

Di jagat raya

***

Segelas Lupa

Berbaris-baris kecemasan

Dan kesedihanku tak lagi berfungsi

Segelas lupa telah kutenggak

Gugup dan gundah bergantian

Jatah koperku berisi duri di jendela

Dari jembatan yang jauh api menjilat-jilat

Kujinjing pergi

Menjinakkan jiwaku

Betapa jitu bidikanmu

Di jantungku

Jaring-jaringmu pun sudah

Menjeratku di jalan ini

***

Orang-orang Itu

Orang-orang yang membosankan

Memelukku berulang kali

Sudah waktunya aku berjalan-jalan

Melupakan ribuan pelukan

Saku bajuku telah kosong akan namamu

Orang-orang yang kebingungan

Memelukku mala mini

Aku bertanya-tanya

Kenapa aku membiarkannya

Rupanya aku telah lama kesepian

Di sampingmu

Selama ini

Aku sendirian

Mengantongi bayanganmu


Sumber gembar: Pinterest

Kedai Pahe dan Puisi-Puisi Lainnya

Kedai Pahe

begitulah bahaya ciuman

bibir secangkir kopi

dengan gigitan manis

insomnia, hingga kita

jadi pelupa

pada selembar foto

tergolek di dompet

yang mimpi suntuk

begitulah bahaya ciuman

sekali seruput,

dua tiga bekas bibir

terhapus.

2021

— buat MU dan SA

/1/

bapakku

pedagang kain

bianglala

menikahi ibuku

penjahit langit sobek

ledak kembang api

melahirkan aku mantel

lusuh yang mencintai kaki

hujan

/2/

ibuku

sebatang buluh

digergaji waktu

saban kemarau,

lalu diraut bapak

jadi aku layang-

layang

mencintai angin

/3/

aku

nelayan payah

bermimpi

jadi ikan kecil

berenang

di dada MU dan SA

yang perahu

2021

Alfamart Dekat Kios Kecil

alfamart dekat kios kecil

biasanya ibu bon kopi,

aku beli sampo

antiketombe

amatlah senang,

sebab seekor kutu

merajut mimpi

rontok

dari keriting rambut

yang nasib dan maut

ditambat

entah bagaimana keriangan

berumur pendek?

saat kurogoh receh di saku

yang adalah beling kaca rongga

dada si nona kasir,

yang memberiku selembar

struk belanja:

1 pack kematian

aku, ibu, dan bapak.

2021

—buat M

perhiasan gadis siapa

yang kau rampok?

kau jadikanya neon kelap-

kelip selagi bintang malam

tanggal

di sebuah toko roti dan seorang

koki kalut menabur mesisi

di adonan donat

kembang gadis siapa

yang kau pingit?

dengan cerdiknya kau

sembunyikan kesedihannya

dari balik ketebalan

bedak dan warna

gencu

lidah pemuda siapa

yangkau potong?

kau jadikan paving block di

trotoar,

ranjang bagi seorang pengemis

meniduri mimpi dan lupa

mencuci kaki atau berdoa

adakah kau dengar suara itu?

malam mencekam salak anjing

dan riuh meriam adalah jerit

mardikus:

aku bukan budak,

aku foresaler

penunjuk jalan

adakah kau dengar suara itu?

di sisi benteng Nosa Senhara

de Anumciadi seorang nona

tersedu-seduh:

aku diculik

aku diperkosa!

aku mestico!

siapa bapakku?

kesedihan bukan nyanyian,

kata seorang penyair

tapi kau

masih suka bernyanyi

di kota yang saban waktu

orang-orang hobi menjiplak,

termasuk seni mengukir luka

dan airmata.

2020