Saya selalu bertanya setiap kali memasuki bulan puasa, mengapa acara lawak menghiasi layar televisi kita setiap kali memasuki bulan puasa? Sebenarnya apa hubungan puasa dengan lawak? Apakah puasa melahirkan stres yang tinggi sehingga butuh hiburan yang menghibur? Sebab salah satu tujuan utama lawak adalah agar kita bisa tertawa riang gembira, sedangkan tujuan puasa adalah untuk sampai kepada ketakwaan. Jika demikian, apa ada hubungan antara tingkat ketakwaan dengan lawak dan kelucuan?
Suguhan lawak di layar televisi kita biasanya disiarkan menjelang buka puasa dan menjelang sahur. Saat menjelang buka puasa, kondisi tubuh kita semakin lemah. Kondisi seperti ini membuat setiap orang memilih menghabiskan waktu dengan caranya masing-masing. Dan sepertinya menyaksikan lawak di televisi masih tetap pilihan favorit. Jika tidak, tak kan marak menu perlawakan di acara pertelevisian kita.
Demikian halnya menjelang sahur, kesadaran yang belum pulih karena baru terbangun atau dibangunkan dari tidur membutuhkan suasana yang lebih segar agar kesadaran segera kembali seperti sedia kala. Dan suguhan lawakan tetap menjadi menu favorit bagi para pemirsa dalam menemukan kegaran.
Jadi sebenarnya seperti apa hubungan puasa dan lawak? Apakah lawak hanya tempat menghabiskan waktu menanti azan maghrib di bulan puasa atau sarana menyegarkan jiwa yang sedang kelelahan dalam berpuasa? Kita tak pernah tahu secara pasti bagaimana hubungan lawak dan puasa, tapi yang pasti lawak menjadi bagian menu hidangan utama di bulan ramadhan.
Hubungan antara lawak dan puasa dapat terlihat dari aspek kebiasaan yakni kebiasaan yang berubah secara drastis. Bulan ramadhan mampu mengubah kita terutama soal waktu dan kebiasaan-kebiasaan yang terbiasa kita lakukan di luar bulan ramadhan.
Waktu makan kita berubah, lebih cepat dari waktu yang biasa kita lakukan dan lebih lambat dari waktu sebelumnya yang kita lakukan. Sebelumnya kita tidak terbiasa bangun di tengah malam dan sekarang harus bangun di tengah malam. Waktu tidur kita berubah secara total. Kebiasaan-kebiasaan yang diperbolehkan untuk dilakukan di pagi, siang dan sore hari, mesti dilakukan di malam hari.
Mengubah kebiasaan bukan hal yang mudah sebab kebiasaan telah menjadi karakter di dalam diri kita. baik itu kebiasaan buruk atau pun juga kebiasaan baik. Bulan ramadhan hadir agar kebiasaan buruk kita berubah menjadi kebiasaan baik dan kebiasaan baik menjadi lebih baik lagi.
Di luar bulan puasa umumnya kita makan besar tiga kali sehari, di bulan ramadhan menjadi dua kali. Jika jarang baca Quran, di bulan ramadhan ini kita tergerak membaca Quran. Jika jarang solat tahajjud, di bulan ramadhan kita melaksanakan solat tahajjud.
Jika suka mengumpat di bulan ramadhan, kita berupaya untuk tidak mengumpat. Jika suka menghasud, di bulan ramadhan kita melatih menahan diri untuk tidak menghasud.
Jadi sangat mudah mengetahui apakah puasa yang kita jalankan di bulan ramadhan berhasil atau tidak? Cukup dengan melihat kebiasaan kita sebelum ramadhan. Jika kebiasaan-kebiasaan kita tidak berubah, berarti kita hanya memperoleh lapar dan dahaga.
Namun apakah lawak hadir di bulan puasa karena kita tidak terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang berubah secara total sehingga jiwa kita perlu dihibur dengan riang dan canda tawa setiap harinya? Apakah lawak hadir di bulan puasa karena ketidakmampuan kita mengattur kebiasaan yang baru? Intinya kehadiran lawak di bulan puasa tetap menjadi misteri sebab tidak ditemukan dengan pasti hubungan di antara keduanya.
Tapi yang paling menakutkan jika hubungan antara puasa dan lawak terjawab dengan relasi industrial bahwa, puasa-puasa yang kita jalani telah menjadi industri. Tentu akan sangat membahayakan jika puasa telah menjadi bagian dari industri karena segala hal yang terkait dengan puasa akan menjadi industri.
Tapi indikasi puasa menjadi industri nampak terlihat begitu gamblang saat ini, iklan makanan dan minuman menjelang buka puasa, datang lebih lebih dahulu daripada ucapan Marhaban Ya Ramadhan. Acara lawak mendapat porsi lebih dibandingkan dengan di luar bulan puasa.
Kata Maulana Rumi:
Saat mulut ini kau tutup, ada mulut lain yang terbuka,
Suapannya adalah suapan-suapan rahasia.
Jika mulut tertutup untuk makan dan minum,
Akan datang cahaya dari langit, makanan ruhaniah kita.
Jika kau kosongkan kantong di dalam dirimu dari makan dan minum,
Akan kau temukan dirimu terisi dari mutiara-mutiara makrifat dan yakin.
Lihatlah jiwa anak-anak!
Jiwa mereka terbebas dari tipuan setan, sehingga mereka begitu dekat malaikat.
Sudah berapa banyak kau makan makanan manis dan berlemak?
Ujilah beberapa hari dengan puasa!
Sudah berapa lama kamu terpenjara dengan tidur pulas?
Bangunlah di malam-malam ini dan raihlah singgasana!
Muhammad Nur Jabir, lahir di Makassar, 21 April 1975 Pendidikan terakhir: S2 ICAS – PARAMADINA. Jabatan saat ini: Direktur Rumi Institute Jakarta. Telah menulis buku berjudul, Wahdah Al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra.