Mahasiswa Kini

“Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya,

tanpa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar.

Terimalah dan hadapilah”

 

“Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup.

Dia batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia,

batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia.

Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran”

—Soe Hok Gie—

 

Apa definisi mahasiswa? Sebuah tanya yang tak mudah kita menemukan jawaban yang pasti tentangnya. Kecuali jika mengacu pada jawaban normatif dari undang-undang bahwa ia adalah seseorang yang terdaftar di salah satu perguruan tinggi dan mengikuti semester berjalan. Mungkin kerumitan menemukan jawaban tentang apa itu mahasiswa saat ini, tidak lepas dari fenomena mahasiswa itu sendiri. Barangkali karena kita membandingkan mahasiswa sekarang dengan mahasiswa yang dulu semisal Tan Malaka, Syahrir, Hatta, dan Soekarno dll.

Kita tahu nama-nama di atas, sewaktu menjadi mahasiswa punya imajinasi tinggi tentang kemanusiaan. Mereka adalah tokoh-tokoh mahasiswa di eranya yang berani menempuh risiko panjang dalam hidup dalam memperjuangkan ide-idenya. Mahasiswa yang masih di usia belia sudah punya ide-ide besar tentang kebangsaan. Mereka punya blue print akan Indonesia yang ideal. Gagasan-gagasan yang mereka punya bukanlah given. Bukanlah sesuatu yang mereka miliki semenjak dalam rahim. Tapi mereka menemukannya dalam keakraban pada literasi. Dari pergulatan mereka dengan realitas sosial.  Memungutnya pada pertukaran gagasan di ruang diskusi. Sungguh mereka berpesta gagasan. Saling mengadu pikiran dalam praktik. Dan kita tahu, hasil dari pesta gagasan yang panjang itu, lahirlah Pancasila.

Kini, fenomena mahasiswa bisa dibilang kehilangan imajinasi ihwal hal ideal tentang tatanan masyarakat bangsa dan negara. Hilangnya imajinasi itu, sebab mahasiswa tak lagi akrab dengan literasi. Tak lagi riang dengan diskusi. Padahal aktivitas itu, mampu membangun pandangan hidup. Bisa membantu merangkai ide-ide ideal. Kebanyakan kesibukan mahasiswa yakni berburu gawai yang terbaru, pakaian yang terbaru, style yang lagi trend—intinya mengupayakan diri mereka menyerupai sedemikian rupa apa yang diiklankan oleh media. Mahasiswa banyak terbawa arus dan meyakini realitas semu yang dicipta media sebagai kenyataan sejati. Mahasiswa sebagai subyek menerima mentah-mentah yang simbolik sejatinya semu.

Mahasiswa sesarinya diharap mampu memiliki kesadaran “yang berbeda” dan mampu menjadi counter diskursus bagi wacana yang tidak memihak pada keadilan, namun kenyataannya remuk dalam lingkaran kesadaran palsu. Sehingga tidak sedikit mahasiswa menjadi bagian masalah masyarakat. Dan ironinya, yang mengaku aktivis banyak pula masuk dalam bingkai ini. Banyak yang mengaku aktivis punya cita-cita membela rakyat namun tak punya iman yang kuat. Idealismenya sangat mudah dipertukarkan dengan kepentingan sesaat. Sangat mudah remuk pada tekanan-tekanan senior yang punya kepentingan. Barangkali begitu memang bila tak dekat dengan tradisi literasi, inkonsistensi dilakukan tanpa harus merasa bersalah dan memperbaikinya.

Kita tahu, banyak mengaku aktivis dengan getol berteriak agar demokratisaasi berjalan dengan baik di tubuh pemerintahan, namun pada saat sama dalam roda organisasinya di kampus sungguh mereka mempraktikkan sikap-sikap yang tidak demokratis. Biasanya aktivis menyuarakan Indonesia harus bersih dari korupsi. Tapi tidak sedikit mengaku aktivis melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan menggunakan dana organisasinya untuk kepentingan pribadi. Biasanya mereka dengan semangat tinggi memperjuangkan penegakkan hukum. Tapi pada waktu yang sama, mereka banyak yang melanggar aturan organisasinya. Mengabaikan konstitusi lembaganya. Mereka selalu mendorong agar politik bersih dari money politik. Tapi di sisi lain tidak sedikit mereka “membeli” suara untuk meraih kekuasaan di organisasinya. Para aktivis biasanya mendorong agar anggota DPR tidak hanya mengatasnamakan rakyat tapi tidak berbuat untuk rakyat. Namun tidak sedikit aktivis berjuang atas nama rakyat tapi pada kenyataannya mereka menjual rakyat.

Sekali lagi, mungkin begitu memang kalau tak akrab dengan literasi, sehingga tak punya jeda untuk merenung. Tak punya ruang untuk memikirkan—mereflesikan idealisme yang dijalani—bahwa kadangkala ia runtuh bukan karena angin badai. Dengan ancaman atau intimidasi. Akan tetapi, ia biasanya luruh dan hancur karena angin sepoi-sepoi. Dengan harapan-harapan masa depan. Dengan iming-iming kesejahteraan. Tak punya ruang berhenti sejenak dan merefleksikan bahwa jalan aktivis adalah jalan sunyi. Jalan sepi yang memungkinkan hanya melihat diri kita yang berdiri tegak di sana—tak ada orang lain.

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221