Di Pojok Jalan Ada Sudut Baca

Pagi sekira pukul sembilan, kami meninggalkan rumah di bilangan kompleks Bulurokeng Permai Makassar menuju Kabupaten Sengkang. Perjalanan kali ini, mengantar anak menemui mertuanya yang baru sekira sepekan saya nikahkan. Di Sengkang akan ada resepsi pernikahan yang diraya oleh keluarga besar besanku. Sebagai sebuah tatanan adat yang mesti direspon secara bijaksana. Sebab, substansi dari sebuah pernikahan adalah selain ijab kabulnya adalah mempersaksikan kepada kerabat, handaitoulan, dan masyarakat umum bahwa kedua orang muda berlainan jenis ini telah melakukan sebuah ikrar untuk hidup bersama dan saling mendukung dalam semua hal. Sepanjang perjalanan kami sua panorama indah hamparan sawah menguning yang seperti tak bertepi, dalam suasana jelang panen dan sedang panen. Beberapa kali kala menemukan spot indah dan super indah kami menghentikan kendaraan dan berfoto ria di sana. Mengabadikan ke indahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa dan Maha Indah tentulah sebuah momentum yang sangat mengasyikkan. Demikianlah sebuah perjalanan yang selalu menyimpan pesan dan kenang indah di lubuk hati manusia. Sudah lama aku tak bertandang ke kota kecil yang berjuluk Kota Sutra ini. Mungkin sekira hampir sepuluh tahun. Setelah melewati malam dengan berbagai aktivitas sebelum terlelap menemui mimpi-mimpi indah, seperti kebiasaanku bila berkunjung ke sebuah kota atawa tempat, maka sebelum matahari menyingsing aku mengelilinginya sembari menikmati suasana subuh dan menyerap aura tempatnya secara natural. Kota ini, bagi beberapa kota sekitarnya menjadi kota destinasi belanja selain kota Makassar yang tentu jaraknya lebih jauh. Maka, walaupun dari sana sini tidak banyak perubahan yang kulihat tapi tetaplah Ia nampak sebagai kota bisnis dengan berbagai pernak perniknya. Menyediakan sentra-sentra bisnis dengan variasi produk yang lumayan lengkap dengan jejeran Ruko (rumah Toko) yang menyeruak di banyak spot. Dan yang terbaru sebuah mall telah tegak berdiri di sana. Di samping trade mark-nya sebagai kota bisnis, yang baru bermunculan laiknya kota-kota di seantero negeri ini adalah cafeteria-cafetaria yang secara khas menjadikan kopi dengan berbagai racikannya sebagai menu utama. Sebagai penikmat kopi sangat memudahkan kala waktunya ngopi dan besosialisasi di mana saja di hampir semua kota di negeri ini termasuk kota Sutra yang sedang kunikmati saat ini. Setelah menikmati kota sutra ini di subuh hari, sekira pukul sepuluh pagi kami mengelilinginya kembali dengan harapan menemukan cafeteria yang meracik kopi sesuai selera kami. Sepertinya kami sedang melintas di jalan kota tua karena ruko-rukonya nampak lebih kecil dan tua juga berarsitektur “antik”  persis di perempatan jalan di depan sebuah kantor bank. Pandangku tertumbuk ke sebuah tembok atawa dinding cafeteria yang menjejer buku-buku. Di pojok jalan ada sudut baca, gumam kami hampir bersamaan. Cafeteria itu berada di pojok jalan sebuah ruko tua. Selintas kami melihat deretan buku di dindingnya, itulah yang seolah memanggil-manggil kami untuk mampir. Kopinya masih standar tak memenuhi kualifikasi selesra kami. Tapi dua hal yang menarik dari cafeteria nyaris mungil ini, yang pertama deretan buku-buku di dindingnya. Walau tak terlampau banyak tapi cukuplah sebagai upaya awal untuk memadukan cafeteria dan dan ruang baca. Yang kedua adalah di salah satu pojoknya ada pemusik akuistik tampil dengan elegan dan apik, yang ternyata pemusiknya adalah ownernya sendiri. Dalam perspektif sejarah, wajo yang beribu kota Sengkang ini adalah sebuah kerajaan yang unik tak seperti kerajaan lainnya. Ia berdiri tak seperti kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Berdiri tanpa diawali oleh datangnya To Manurung. Menurut lontara Sukkuna Wajo kerajaan ini berdiri dimulai dengan pembentukan komunitas di tepi Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puangnge Ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak. Mengetahui tanda-tanda alam dan tata cara bertani yang baik. ada pun penamaan Danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul. Dalam perkembangan kerajaan Wajo kemudian, mengalami perubahan struktural setelah Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional, dari sinilah kemudian falsafah orang yang Wajo menggaung di kenal sebagai orang merdeka “maradeka to wajo’e ade’nami napupuang” “merdekalah orang Wajo hanya tunduk pandak konstitusi.” Dan Wajo mengalami pase keemasan di masa pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellu Poccoe sebagai saudara tengah bersama Kerajaan Bone sebagai saudara tua dan Kerajaan Soppeng sebagai saudara bungsu. Perang Makassar (1660 -1669) dengan kekalahan Kerajaan Gowa juga berdampak pada Kerajaan Wajo. Kala Kerajaan Wajo dipimpin oleh Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin, sehingga kerajaan Wajo pun diserang oleh pasukan gabungan Belanda dan takluk. Kekalahan kerajaan Wajo oleh Belanda, banyak diantara warganya yang memiliki jiwa merdeka meninggalkan kampungnya pergi merantau dan membangun komunitas social ekonomi di daerah perantauannya. Salah satu yang sohor adalah, Lamohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Kerajaan Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kerajaan Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda. Sejarah panjang Kerajaan Wajo dan Kota Sengkang, mesti menjadi titik tolak inspiratif pemerintah dan warganya saat ini dalam membangun peradabannya. Semangat orang-orang merdeka mesti tetap patri di jiwa-jiwa pelaksana pemerintahan dan warganya. Saya mengkhayal, sekiranya cafeteria tempatku duduk menyesap kopi saat itu juga menginspirasi cafetraia lainnya dan pemerintah Kabupaten Wajo membangun sebuah taman baca atawa perpustakaan yang cukup representatif dengan semangat Matoa La taddampare Puangrimaggalatung, tentu sebuah langkah yang bijak dalam menyerap semangat “maradeka to wajo’e ade’nami napupuang.”

 

Illustrasi: Nabila Azzahra

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221