Manakah yang Lebih Menakutkan antara Kesia-siaan dan Kejahilan?

Emang apa untungnya berpikir dan menenggelamkan diri di dalam tafakkur selain kesia-siaan? Tentu tafakkur tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar. Tafakkur hanya menyisakan derita. Meski demikian, ada hal yang perlu dipertimbangkan dalam esensi tafakkur atau berpikir sebab dalam tafakkur akan menyingkirkan kebodohan. Manusia yang memahami esensi tafakkur tidak akan terjebak dalam kejahilan.

Di sisi lain ada benarnya jika ada yang menganggap tafakkur adalah pekerjaan sia-sia, sebab tafakkur bukan pekerjaan. Tafakkur adalah keberanian untuk bertanya dan menggali pertanyaan, bukan keberanian dalam menyebarkan apa yang orang lain yakini dan pahami. Tafakkur memberikan kemerdekaan dalam memilih, sebab memilih tanpa bertanya dan tafakkur atasnya adalah kejahilan.

Kesia-siaan bagi sebagian orang seperti memancing ikan atau melakukan hal yang tak berguna. Tapi kita tak pernah menganggap kesia-siaan sebagai kejahilan. Jika kesia-siaan adalah kejahilan berarti saat menggaruk wajah kita tanpa sengaja adalah bentuk kejahilan. Dan juga saat kita memandang lautan tanpa pemaknaan adalah kejahilan. Jika seperti ini pemaknaan kita atas kejahilan berarti kita benar-benar tak pernah tafakkur.

Namun yang manakah yang lebih menakutkan antara kesia-siaan dan kejahilan? Orang-orang jahil tak pernah bermaksud melakukan penipuan sebab melakukan penipuan membutuhkan pengetahuan, demikian pula, orang-orang jahil tak pernah bermaksud melakukan perbuatan yang salah. Namun saat mereka tidak senang kepada sesuatu, solusi yang ada di kepala mereka hanya menghancurkan orang-orang yang mereka anggap salah. Kekerasan dan kejahilan adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Orang-orang jahil tak peduli dengan benar dan salah atau maslahat dan tidak maslahat. Orang-orang jahil yang dimaksud di sini tidak selamanya bermakna bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan, akan tetapi dapat juga diartikan sebagai orang-orang yang lemah dalam memahami kemaslahatan, kebenaran, dan hakikat. Bahkan terkadang mereka tidak meletakkan posisinya dengan benar.

Bahkan boleh jadi orang-orang itu -di dalam dunia politik- mendapatkan tempat dan pengaruh yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam situasi demokrasi di mana uang menjadi segala-galanya dalam meraih kursi kemenangan. Dan kematangan berpikir seseorang tidak menjadi parameter utama. Tak heran jika ada tokoh intelektual yang menjual nilai intelektualitasnya demi kursi politik atau demi kekuasaan.

Jadi kita tidak sedang membicarakan orang-orang jahil yang lugu dengan seluruh kepolosannya, seperti tokoh Dostoyevsky. Dostoyevsky selalu menunjukkan kebodohannya namun kebodohan yang menyenangkan. Kejahilan yang menunjukkan kejujurann apa adanya, berani, bebas, dan merdeka. Bukan kejahilan seperti ini yang sedang kita bicarakan.

Di dunia ini memang sudah seperti itu adanya, ada yang jahil dan ada yang memiliki kesadaran. Zaman yang menyenangkan adalah zaman ketika orang-orang jahil sedikit dan orang-orang yang sadar mendominasi orang-orang jahil. Sedangkan zaman kejumudan adalah zaman ketika orang-orang jahil lebih banyak dan mampu mendominasi orang-orang yang memiliki kesadaran.

Akhir-akhir ini sudah teramat sering kita menyaksikan orang-orang yang sebelumnya kita sangka memiliki kesadaran, namun setelah beriringnya waktu dan kesempatan yang diraihnya, akhirnya menunjukkan bahwa orang itu benar-benar jahil. Bukan karena mereka tidak berpengetahuan atau tidak mengenyam pendidikan, akan tetapi mereka tidak memiliki kesadaran. Begitu mudah mereka mengingkari fakta atau begitu cepat mereka menilai tanpa meneliti terlebih dahulu.

Orang-orang jahil masa kini adalah jutsru didominasi oleh orang-orang yang berpengetahuan namun sudah tak memahami mana yang maslahat dan mana yang tidak maslahat, mana ruang nyata dan mana ruang virtual dan digital, mana ruang kebenaran dan mana ruang keselamatan, mana ruang kebenaran penafsiran dan ruang kebenaran absolut, mana ruang ‘ada’ dan ruang ‘diadakan’. Bukankah kejahilan lebih menakutkan daripada kesia-siaan?!

Mungkin karena tafakkur tidak memberikan keuntungan sehingga dianggap sebagai ke-sia-sia-an. Umur pergi dan berlalu begitu saja tanpa menghasilkan apa-apa sebab kita sedang asyik bertafakkur. Walaupun satu sisi kita sangat memahami bahwa suatu peradaban tidak akan pernah maju jika tafakkur masih terpasung oleh egoisme kepentingan dan ideologi. Bukankah kejahilan lebih menakutkan daripada kesia-siaan?!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *