Dialah Ulama Bugis

Ahad subuh, tiga hari setelah Idulfitri, ada peristiwa biasa bagi orang lain, tapi luar biasa buat saya. Persisnya, kala salat Subuh di masjid dekat mukim saya. Imam rawatib berhalangan hadir memimpin salat Subuh, maka salah seorang jemaah tampil sebagai naib. Surah yang dibaca pada rakaat pertama sesudah Al-Fatihah, surah Al-‘Adiyat.  Dari 11 ayat yang dilantunkan, saya takjub pada ayat ke-6, innal-ingsaana lirobbihi lakanud. Artinya,“Sungguh manusia itu sangat ingkar, (tidak bersyukur) kepada Tuhannya.”

Ketakjuban saya pada makna ayat ini, dilatari oleh sajian seorang penceramah, sewaktu menghadiri acara penamatan siswa-siswi madrasah aliyah, Pesantren As’adiyah Ereng-Ereng Bantaeng, kira-kira sepuluh tahun lalu. Hajatan itu begitu istimewa bagi saya, selain sajian ceramah yang memuaskan dahaga spiritual, juga dirangkaikan dengan peluncuran buku dari para calon alumni, berjudul, Bunga-Bunga Kertas. Hadirnya buku tersebut, amat istimewa, sebab menjadi penanda awal moncernya gerakan literasi di Bantaeng.

Apa yang sangat berkesan dari sajian penceramah atas ayat ke-6 dari surah Al-‘Adiyat? Tertuju pada kata, lakanud. Sang penceramah dengan diksi yang unik, datar bergetar berujar, bilamana ada orang di antara kita, ingkar nikmat, tidak pandai bersyukur, panggil saja ia lakanude’. Ya, I Lakanude’. Serempak para penghadir, laki-perempuan, tua-muda, terkekeh bin tertawa mendengar ungkapan itu.

***

Lalu, siapa sang penceramah itu? Dialah AGH. Sanusi Baco. Ia mukim di Jalan Kelapa Tiga, Kota Makassar. Saya menemani  Ahmad Rusaidi, pembina Pesantren As’adiyah Ereng-Ereng sowan ke mukimnya, memohon agar sudi kiranya memberikan pencerahan, sekaligus nasehat pada acara penamatan. Sebagai orang yang menemani, saya tak ikut bicara. Apatah lagi, komunikasinya lebih banyak menggunakan bahasa Bugis. Maklum, di Kampung Ereng-Ereng dominan warganya berbahasa Bugis.

Kami diterima tidak diperlakukan sebagai tamu, melainkan seperti keluarga. Ada kelakar, pun humor-humor lantip. Suasana ruang tamunya begitu cair. Saya bagai disedot oleh pusaran spiritual dari aura beliau. Momentum tandang itulah pertama kalinya, saya menyata di mukimnya. Dan, saya kembali ke mukim itu, pada Ahad jelang siang, untuk kedua kalinya, tapi tidak untuk  memohon memenuhi hajatan. Saya datang sebagai salah seorang pelayat, atas wafatnya beliau, pada malam Ahad, Sabtu, 15 Mei 2021, sekitar pukul 20.00 wita. Almarhum lahir, 3 April 1937 di Talawe, Maros. Tuhan menggenapkan akumulasi umurnya, 84 tahun lebih sebulan.

Menyemut para pelayat, mengular segenap pengantar jenazah.  Saya hanya bisa mematung, tatkala keranda jenazahnya diusung oleh sekelompok Banser-Ansor ke ambulans, lewat di depan saya. Sebutir, dua butir, hingga tiga butir, bening kristal meleleh hangat di kelopak mata, membasahi pipi. Saya tidak sendirian berlaku demikian. Seorang pelayat di depan saya, berkaca-kaca matanya. Air matanya menetes, sembari menahan isak tangis. Beberapa pelayat berlakon sama. Bahkan, ada yang memanggil-manggilnya, secara samar-samar, gurutta-gurutta. Tanda duka mendalam.

***

Sepulang melayat, saya langsung ke ruang baca, serupa perpustakaan, pojok surga di rumah. Saya mencari buku, satu buku dari ribuan buku di deretan rak-rak. Ketemu jua bukunya, berjudul, Ulama Bugis, anggitan Abd. Kadir Ahmad.  Saya ingin mengeja kembali buku tersebut, sebab saya ingin membingkai sosok yang baru saja wafat. Mengapa? Sejak urita meninggalnya tersebar di media sosial, hingga menyemutnya pelayat dan mengularnya pengantar jenazah, saya dihidu oleh rasa penasaran.

Saya pun langsung membuka buku Ulama Bugis, menelisik daftar isi. Tertumbuklah saya pada halaman 416. Saya nukilkan saja, “Struktur ulama Bugis memperlihatkan adanya pemeringkatan. Gurutta adalah sebutan umum untuk ulama. Di bawah gurutta terdapat para ustaz dan di atas peringkat gurutta terdapat anregurutta atau to-panrita.”

Lebih elok lagi, didedahkan dalam simpaian kompetensi pembentuk ulama Bugis. Meliputi, kompotensi keilmuan (penguasaan ilmu agama), kompetensi sosial (aspek pengamalan agama), dan kompetensi akhlak (kepribadian).  Seorang anregurutta, berada pada puncak piramida yang menggambarkan bersatunya ketiga kompetensi tersebut.

***

Sepanjang jalan dari belokan Jalan Andi Pangeran Pettarani ke Jalan Kelapa Tiga, Makassar, ratusan ucapan belasungkawa atas wafatnya seorang yang amat istimewa. Pada setiap ucapan itu, termaktub nama, AGH. Sanusi Baco, Lc. Maksud dari dua huruf AG, tiada lain adalah Anregurutta. Gelar ulama paripurna dari puncak piramida keulamaan ini, dianugerahkan oleh masyarakat. Suku Bugis-Makassar yang dominan di Sulawesi Selatan, telah menobatkan panggilan kehormatan itu. Gelar anregurutta, sungguh sangat nyata adanya bagi almarhum.

Tatkala Abd. Kadir Ahmad, menuliskan hasil penelitiannya terhadap AGH. Sanusi Baco, ditulis dalam jurnal  Al-Qalam, Volume 18, Nomor 2, Juli – Desember 2012, membabarkan, AGH. Sanusi Baco, salah seorang ulama Sulawesi Selatan yang memiliki kompetensi keulamaan yang memadai. Selain tugas pokoknya sebagai pendidik, ia dikenal sebagai mubalig yang sulit dicari tandingannya. Ia dapat diterima oleh semua kalangan dan segmen masyarakat, karena kemampuannya untuk membawakan tema dan materi dakwah secara kontekstual. la merupakan perekat dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Ia tidak meledak-ledak dan selalu memilih kata-kata yang bijaksana dalam berucap, termasuk selalu prima dalam berpakaian walau dalam suasana duka sekalipun.

Penggalan kata lakanud yang dibaca oleh sang imam salat Subuh, langsung menubuhkan ingatan saya pada AGH. Sanusi Baco, yang wafat pada malam harinya,  dimakamkan keesokan harinya di Kabupaten Maros, setelah disalati di Masjid Raya Makassar. Sekali lagi, bagi saya, momentum itu menjadi kejadian luar biasa. Pasalnya, jiwa saya terbang ke masa silam, kala bertandang ke mukim anregurutta, berburu berkah. Meskipun tandangan berikutnya, hanya sebagai pelayat, tapi layatan ini semakin meneguhkan saya, AGH. Sanusi Baco, seorang ulama Bugis. Pada dialah ulama Bugis itu sunyata menyata.

Gambar: Upeks.

One thought on “Dialah Ulama Bugis”

  1. Ada juga pesan bliuau yg tdk bisa saya lupakan ketika menjadi khatib di.Mesjid Raya Makassat. kalo tdk.salah nulan Mei 1997, beliua nerucap “Ilmu pernah berkata bhw berikanlah semua apa yang engkau miliki kepadaku, dan aku.akan memberikan kepadamu hanya sedikit”
    maksudnya adalah menuntu ilmu itu mahal, butuh pengorbanan yang besar sementara kita hanya mampu merail ilmu yg sedikit dari Ilmu Allah yag tidak terbatas @@🙏🙏

Tinggalkan Balasan ke Muhammad Basri Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *